“HAURA, apa yang akan kamu lakukan ketika
ada seorang yang tidak terlalu kamu kenal tiba-tiba bilang, ‘boleh tahu alamat rumahnya? Saya berniat mau
melamar.’”
Haura
mengernyitkan kening ketika tiba-tiba saja Dila bertanya seperti itu. Ketika
itu mereka sedang sibuk mengerjakan tugasnya masing-masing di sekretariat UKM
Lembaga Dakwah Kampus, project
Seminar Hari Kartini yang tinggal beberapa hari lagi membuat beberapa anggota
LDK sibuk. Tak terkecuali mereka.
“Kenapa
tanyanya gitu? Tumben,” kata Haura. Ia seolah tak memusingkan pertanyaan Dila.
Hanya saja sedikit aneh mendengar Dila—yang anti membicarakan perihal menikah— tiba-tiba tertarik
menanyakannya pada Haura.
Dila
tersenyum, nyaris kebingungan mencari alasan. “Yah, enggak,” katanya. “Aku cuma
penasaran aja sama jawabanmu.” Dila yang tadinya berharap mendapat sedikit penjelasan dari Haura kini harus
mengurungkan niatnya. Sepertinya, Haura tidak tertarik dengan topik ini. “Kan
sepertinya kamu itu sudah jauh lebih siap daripada aku. Barangkali ketika ada
seorang yang tak dikenal tiba-tiba melamar, bisa mempersiapkan jawabannya.
Yah... minimal punya referensi supaya tidak terlihat kebingungan,” sambung
Dila.
Tangan
Haura yang tadinya sibuk memberi stempel pada proposal kini berhenti. Matanya beralih
fokus ke Dila. “Ada yang bilang ke kamu gitu, ya?”
“Eh—eng...
gak, kok.” Dila terlihat salah
tingkah. Sepertinya Dila memang tipe perempuan yang mudah dibaca gerak-geriknya.
“Bohong
dosa, lho....” Haura tersenyum.
Merasa lucu dengan ekspresi Dila yang wajahnya kini memerah; tanda bahwa
tebakan Haura benar.
“Siapa?”
tanya Haura jahil. “Cerita, dong!”
Dila
tersenyum malu. Lebih tepatnya kini ia jadi salah tingkah. Pasalnya, ini kali
pertama ia berurusan dengan laki-laki. Apalagi perihal menikah. Belum pernah ia
memikirkan hal ini sebelumnya. Memang, topik pernikahan menjadi topik yang ia hindari. Ia merasa, masa depannya masih
jauh. Ia ingin menamatkan kuliahnya terlebih dahulu. Namun ternyata Allah
memang maha cepat dalam membolak-balikkan hati. Kini, ia merasa bahwa kejadian
ini adalah cambuknya untuk tidak menunda dalam mempersiapkan diri.
“Dila
nggak mau cerita? Ya udah. Aku jadi nggak bisa ngasih jawaban atas pertanyaan
kamu.” Haura pura-pura kembali melanjutkan tugasnya.
“Iya,
aku cerita. Tapi jangan bilang-bilang, ya?” Haura pun mengangguk, tersenyum.
“Sebenernya
aku udah kenal sama orang ini, Ra,” kata Dila mulai bercerita. “Dia temen aku
pas SMA. Ya... tapi sebelumnya kami memang tidak dekat. Bahkan saling sapa aja
jarang. Tapi... beberapa bulan ini kami sering ketemu.”
“Di
mana?”
“Di
beberapa tempat. Kadang di jalan, kadang toko supermarket, pernah juga di
pertemuan reuni sekolah. Terakhir ketemu di pameran buku. Lalu... dia bilang
kayak gitu, Ra. Aku harus gimana nih? Kemarin saking bingungnya aku malah kayak
orang dungu. Diem doang.”
Haura
nyaris tertawa mendengar pernyataan Dila. Memang wajar kalau Dila bereaksi
sedemikian bingungnya. Haura sendiri sebenarnya tidak bisa membayangkan kalau
berada di posisi Dila saat itu.
“Jadi
kamu cuma diem aja? Lalu sekarang gimana? Udah ketemu dia lagi?”
Dila
menggeleng. “Belum. Dan sampai sekarang aku masih kepikiran, Ra.”
Haura
diam; berpikir. Sepertinya, kali ini Dila memiliki masalah yang cukup serius.
“Kamu
tadi bilang dia temen SMA kamu, kan?” tanya Haura. Dila pun mengangguk. “Kalau
gini aja gimana?” Dila menyimak. “Kamu tunggu sampai besok. Kalau sampai besok
kalian belum ketemu lagi, kamu ikhtiar tanya temen kamu yang kenal sama dia.
Tanya lebih rinci tentang laki-laki itu. Kalau ada informasi positif yang
mengindikasikan bahwa dia serius sama kamu, kemungkinan besar saat ini dia
sedang berusaha nyari alamat kamu. Tapi kalau enggak....” Haura berhati-hati,
“mungkin dia hanya sekedar bertanya.”
Dila
mengangguk. Sebenarnya hal terakhir yang dikatakan Haura lah yang paling ia
takuti. Jujur saja, ia belum siap patah hati.
***
Apa
yang disarankan oleh Haura sudah Dila laksanakan. Namun sampai sekarang, belum
ada informasi lanjut dari teman-temannya mengenai laki-laki itu. Dila cemas,
hatinya tidak tenang memikirkan laki-laki itu. Atas saran Haura kembali, Dila
akhirnya memutuskan untuk memikirkan hal-hal yang positif saja. Ia mulai
berikhtiar dengan cara lain. Sholat istikharah, rajin mengunjungi majelis ilmu
dan mulai menyibukkan diri di LDK.
Meski
begitu, ada sedikit harapan akan informasi tentang laki-laki itu. Bagaimanapun,
ia adalah tipe perempuan yang tidak mudah melupakan masalahnya. Baginya, permasalahan
apapun harus ada kejelasan ending-nya.
Tidak boleh menggantung pada satu titik saja.
Sampai
suatu hari, ia bertemu dengan laki-laki itu lagi. Di tempat tak terduga.
“Assalamu’alaikum,
Dila,” sapa seorang laki-laki.
“Wa’alaikumsalam....”
Dila terkejut. Tiba-tiba saja jantungnya berdegub kencang. Ia nyaris kehilangan
keseimbangan saking gugupnya.
“Akhirnya
kita ketemu lagi,” katanya lagi. “Saya sudah menunggu momen ini.”
Dila
menunduk malu, ia berusaha tidak menunjukkan seluruh ekspresi yang diakibatkan
oleh hatinya.
“Saya
ingin mengatakan sesuatu yang cukup penting. Mungkin kamu juga sudah menunggu
ini sejak lama.” Laki-laki itu tersenyum. Meski begitu, ia berusaha tetap
menjaga jarak di antara keduanya.
Di
tengah suasana yang cukup ramai, ia berusaha untuk mengatakannya secara cepat
sehingga tidak terjadi salah persepsi orang lain terhadap pertemuan mereka.
Laki-laki itu tahu betul batasan-batasan yang harus ia jaga.
“Untuk
pertanyaanku beberapa waktu lalu, saya serius. Saya sudah pernah mengunjungi
rumahmu tiga hari setelah kita bertemu terakhir kali.”
Dila
mengernyitkan keningnya.
“Iya...
tapi kamu tidak ada di rumah. Kata Ayahmu, kamu sedang menginap di rumah
sahabatmu untuk mengerjakan tugas. Jadi waktu itu saya langsung menyampaikan maksudku
kepada Ayahmu tanpa kamu di sana,” sambungnya.
“Ayahmu...
menyetujuinya.” Laki-laki itu tersenyum. “Lamaranku diterima.”
“Tapi
Ayah tidak mengatakan apapun kepadaku.” Dila menanggapi. “Bahkan sampai
sekarang.”
Laki-laki
itu tersenyum. “Afwan, itu keinginan
saya. Karena saya sedang sibuk mempersiapkan pernikah saya.”
Dila
kembali mengernyitkan keningnya. Sekarang, Dila merasa gagal memahami maksud
laki-laki ini. Dia mengatakan bahwa dia melamar Dila, namun dia sedang sibuk
mempersiapkan pernikahan? Bukankah, harus ada persetujuan atau musyawarah
terkait hal ini dengan dirinya? Sebenarnya... yang menikah siapa?
“Pesta
pernikahan yang sedang kamu hadiri ini adalah pesta pernikahan saya, Dila.”
Tubuh
Dila seketika melemas. Rasa kebingungan tadi tergantikan oleh perasaan sakit
yang tiba-tiba. Matanya memanas. Sejujurnya, saat itu juga ia ingin menangis,
entah mengapa.
***
Beberapa
hari Dila masih memikirkan perkataan laki-laki itu. Namun entah mengapa yang
menjadi fokus utamanya adalah tentang pernikahan laki-laki itu. Ia masih belum
bisa menghubungkan kepingan-kepingan cerita yang –bagi Dila— masih belum jelas.
Pertanyaan-pertanyaan
besar kini berputar di otaknya. Ia menduga-duga, sebenarnya yang dilamar siapa?
Kenapa laki-laki itu justru menikah dengan orang lain? Sejujurnya rasionalnya
tidak menerima. Ia sudah terlanjur menaruh harapan kepada laki-laki itu. Ia terlanjur jatuh cinta.
Dila
mencoba mengurangi pikiran-pikiran itu dengan membaca buku di kamar. Tiba-tiba
seseorang menyembul dari balik pintu, ia tersenyum ketika Dila justru
menunjukkan ekspresi kebingungan.
“Boleh
masuk?”
Dila
mengangguk.
“Kok
ekspresinya aneh gitu?” tanya Haura yang saat itu mengenakan khimar berwarna cokelat.
“Kamu
mikirin apa lagi?”
Dila
menggeleng, enggan bercerita.
Mengembuskan
napas, Haura memilih tidak membahasnya lagi. Ia tahu bahwa sahabatnya kini
sedang patah hati. Dila beberapa waktu lalu sudah bercerita tentang
pertemuannya dengan laki-laki yang melamarnya tempo hari.
“Tadi
kebetulan Ayah kamu nyuruh aku ngasih amplop ini.” Haura menyodorkan amplop
cokelat berukuran besar.
“Amplop
apa?” tanya Dila penasaran.
Haura
mengedikkan bahunya tidak tahu. “Buka aja, gimana?”
Penasaran,
Dila membuka amplop itu.
Assalamu’alaikum warahmatullah,
Apa kabar Maryamal Mujadilah?
Izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Shifr.
Beberapa bulan lalu, saya dan kakak saya—Ghifar datang ke rumahmu untuk
mengajukan permohonan khitbah. Suatu kebanggaan sekaligus kebahagiaan bagi saya
ketika Ayahmu justru menerima kedatangan kami dengan baik, bahkan permohonan
khitbah saya diterima; Alhamdulillah.
Namun beliau menyarankan agar kita melakukan ta’aruf terlebih dahulu
sebelum kita melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Afwan, saya mengirimkan
datanya dengan jeda waktu cukup lama sehingga terkesan kurang serius dan
membuatmu kebingungan. Waktu itu saya harus bersabar karena minggu lalu kakak
saya baru saja melangsungkan pernikahan.
Semoga kamu berkenan membaca proposal dari saya.
Wassalamu’alaikum warahmatullah
Tertanda,
Muhammad Shifr.
“Cieee,
surat cinta!” Haura yang ternyata ikut membaca menyenggol bahu Dila. Tanpa
sadar, sejak tadi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan sedikit
gemetar, tangan kanannya membuka amplop tempat surat tadi berasal. Di dalamnya
sudah ada map merah dengan sampul bertuliskan Proposal Ta’aruf; Muhammad Shifr.