JAKARTA hari
ini cerah. Langit kota dengan pemandangan gedung pencakar langitnya
seperti sebuah lukisan yang indah. Meski orang bilang, ibukota sudah
tidak lagi perawan karena cuaca dan kondisinya yang terkontaminasi
polusi, namun tidak pernah menghilangkan pamor sebagai kota tujuan nomor
satu bagi para pencari kerja di Indonesia. Bahkan ribuan orang memuji
dan rela mati demi bisa tinggal selamanya di sini.
Kata orang, Jakarta itu
kota yang keras. Tak bekerja keras, maka bisa dipastikan tidak akan bisa
bertahan. Inilah mengapa banyak kita jumpai orang-orang kota lebih
sibuk mengejar karirnya daripada berkutat mencari ilmu agama. Inilah
mengapa, potret kesibukan di kota lebih banyak terpusat untuk urusan
dunia daripada urusan akhirat.
Padahal dunia ini fana. Akan hancur kapan saja Allah menginginkannya.
Di tengah kebisingan
kota dan para pekerja yang haus akan kekayaan dunia, Gaza menjadi salah
satu pemuda yang tidak pernah lupa akan Tuhannya. Semua kegiatan dalam
hidupnya ia usahakan hanya untuk Allah ta'ala. Bangunnya, aktivitasnya
dalam mencari rezeki, pendidikannya, hingga tidurnya ia niatkan untuk
Allah.
Ia ingat pesan umminya ketika ia berusia empat tahun. "Gaza mau nggak ngasih hadiah ke ummi?"
"Mau. Ummi mau apa? Gaza pasti kasih. Kalau ummi mau mainan Gaza, pasti Gaza bolehin."
Ummi tersenyum, lalu mencium pipi tembam Gaza. Mereka baru saja
menunaikan sholat dhuha bersama. Biasanya, ummi akan melanjutkan dengan
mengajari Gaza mengaji. Kadang, ia juga akan membacakan Gaza suatu kisah
dalam Sirah Nabawiyah atau Sirah Sahabiyah dan kisah perjuangan
anak-anak Palestina agar ia termotivasi.
"Hm, ummi mau cerita dulu boleh?"
Gaza berteriak riang. Ia
langsung memeluk ummi dan duduk di pangkuan ummi meski umminya sedikit
kesulitan karena masih memakai mukena. Ditambah lagi dengan kandungannya
yang mulai membesar.
"Ummi mau cerita tentang
anak-anak Palestina yang hebat, cerdas, pemberani, dan juga rajin
menghafal Qur'an di usia muda seperti Gaza."
Mata bulat Gaza menatap
wajah ummi dengan berbinar. Ia selalu suka ketika umminya bercerita
tentang anak-anak Palestina. Apalagi tentang kota Gaza. Ia merasa bangga
sekali namanya disebut.
"Di kota Gaza sana,
listrik dan lampu adalah sesuatu yang langka. Lampu menyala hanya 2 jam
saja. Itupun ketika mereka tidur. Jadi mereka seringnya gelap-gelapan.
Tapi mereka tidak pernah patah semangat untuk belajar dan menghafal
al-Qur'an. Gaza tahu kenapa anak-anak Palestina di sana begitu semangat
untuk menghafal al-Qur'an?"
Gaza menggeleng dengan keras.
"Karena mereka tahu,
nak. Untuk bisa tetap istiqomah dan terus semangat dalam menjaga tanah
waqaf para Anbiya dan kiblat pertama umat Islam dunia yaitu masjidil
Aqsa adalah dengan membentuk generasi Qur'ani. Mereka adalah para
mujahid dan mujahidah pembela tanah air mereka. Mereka tahu, jika suatu
saat mereka ditangkap dan dipenjara oleh tentara Israel, mereka tidak
akan boleh belajar dan membaca al-Qur'an seperti Gaza, maka mereka akan
murojaah, akan mengingat hafalannya. Itulah alasan mereka bersemangat
dalam menghafal al-Qur'an. Selain itu, alasan kenapa mereka bersemangat
dalam menghafal al-Qur'an adalah karena mereka ingin menghadiahkan ummi
dan abi mereka sebuah mahkota di surga."
"Jadi, kalau menghafal al-Qur'an bisa ngasih hadiah mahkota untuk ummi dan abi? Mahkota kayak raja-raja itu ya ummi?"
Ummi menggangguk. Mata Gaza berbinar.
"Kalau Gaza menghafal al-Qur'an, Gaza bisa ngasih mahkota ke ummi dan papanya Gaza?"
Sekali lagi, ummi mengangguk.
"Jadi ummi mau kalau Gaza kasih mahkota?"
"Mau sayang, itu yang ummi mau dari Gaza." Ummi memeluk Gaza dengan gemas.
"Kalau gitu, Gaza mau
menghafal al-Qur'an deh. Supaya Gaza bisa ngasih hadiah mahkota ke ummi
dan papa. Biar ummi senyum, terus biar papa nggak pergi-pergi terus."
Ummi mencium dan
mempererat pelukannya. Ia terharu. Matanya berkaca-kaca begitu melihat
anak pertamanya itu paham maksud apa yang ia ceritakan.
"Tapi, nak. Papa pergi kan untuk kerja."
"Ya tapi Gaza jadi kesepian nggak ada yang ngajak main. Gaza mau papa di rumah aja."
☕☕☕
Mata Gaza terpejam.
Kepalanya ia tundukkan dalam-dalam. Hatinya selalu merasa takut ketika
melafalkan kalimat Allah. Al Waqiah, tentang sebuah peringatan hari
kiamat. Bibirnya bergetar saat mengulang hafalannya.
Ia mengingat almarhumah
ummi, papa, dan adik semata wayangnya, Ghazi. Masalah-masalah yang
menimpanya di dunia ini mungkin bisa ia tahan, tapi siapa yang menjamin
dirinya masuk surga? Meski orang bilang ia adalah pemuda shalih, hafal
al-Qur'an, pintar dalam ilmu agama, tapi surga tetaplah kuasa Allah. Ia
hanya bisa mengusahakan dengan amalan-amalan dan ibadah yang ia mampu.
Setiap kali mengingat mati, Gaza selalu tak kuasa untuk menangis. Maka
jadilah ia menangis sesenggukan.
Sampai
seseorang menepuk pundaknya dengan pelan. Gaza seperti tersadar. Ia
membuka matanya dan segera mengusap air mata yang sudah jatuh di pipi.
"Ustadz?"
Ustadz
Hanafi tersenyum. Ia duduk di samping Gaza yang seketika mencium
tangannya. Secara otomatis Gaza memutar tubuhnya agar menghadap gurunya.
Murrobi yang selama ini membimbingnya agar terus istiqomah dalam beragama.
Dulu,
mereka dikenalkan oleh Kyai Hussein Ayyubi di Malang. Mereka bertemu
saat Gaza mengikuti lomba MTQ tingkat nasional. Setelah mengetahui bahwa
mereka sama-sama berasal dari Jakarta, Gaza janji kalau sudah lulus
dari pesantren akan menemuinya lagi. Dan Allah memang mentakdirkan
mereka berjumpa lagi. Gaza yang sengaja mencari alamat Ustadz Hanafi
ketika masuk kuliah dulu.
"Murojaah?"
Gaza
mengangguk. Ia masih sibuk mengusap sisa air mata yang mungkin saja
masih ada di pipinya. Ia malu kalau ketahuan menangis oleh Ustadznya.
"Udah
sholat sunnah?" tanya Ustadz Hanafi, yang sebenarnya sudah memerhatikan
Gaza sejak setengah jam lalu. Sejak Gaza melangkahkan kakinya untuk
sholat dhuha dan memurojaah hafalannya. Hal yang biasa dilakukan Gaza
hampir setiap hari. Ia akan pergi ke Masjid dekat kafe untuk sholat dan
memurojaah hafalannya.
"Alhamdulillah sudah, Ustadz."
"Alhamdulillah," jawabnya. "Gimana perkembangan kafe dan kuliahmu?"
Gaza
tersenyum. Senang ditanyai hal-hal sepele oleh gurunya. "Alhamdulillah.
Sejauh ini lancar, Ustadz. Bulan ini ada rencana untuk mengadakan
santunan anak Yatim rutinan. Doakan semoga lancar."
"Amiiin,"
ucap Ustadz Hanafi. Janggut tebalnya bergerak-gerak saat ia tersenyum.
Sorban yang melilit lehernya membuat ia kelihatan sangat berwibawa.
"Mau sampai kapan, Za?" Ada jeda yang cukup panjang sebelum Ustadz Hanafi melemparkan pertanyaan itu. "Sampai kapan antum menunda waktu nikahmu?"
Gaza
tertunduk. Ia sudah menduga kalau Ustadz Hanafi mendekatinya pasti ada
hal yang ingin disampaikan. Pertanyaan kapan menikah memang sudah lama
Ustadz Hanafi lontarkan. Sejak ia wisuda S1 dulu beliau sudah
mewanti-wanti agar Gaza cepat menikah.
Zaman
modern dengan kemajuan teknologi yang pesat membuat Ustadz Hanafi
khawatir dengan diri Gaza. Apalagi pergaulan bebas yang marak di ibu
kota. Menurutnya, laki-laki seperti Gaza tidak baik jika menunda
pernikahan. Apalagi, sudah banyak perempuan yang ditolaknya dengan
alasan sama. Kalau tidak cocok ya karena Gaza belum siap.
Pernah,
dulu, Ustadz Hanafi menawarkan seorang perempuan cantik dan shalihah
lulusan Madina. Namun sayang, Gaza tolak hanya karena istikharah Gaza
mengatakan bahwa dia sebaiknya menolak. Padahal, Ustadz Hanafi sudah
mempertimbangkan bahwa gadis itu sekufu dengannya. Meski bukan hafidz 30
juz, setidaknya 10 juz sudah dikantongi. Pendidikan juga sangat bagus.
Tapi ia tidak bisa memaksa Gaza. Bagaimanapun yang menjalani adalah
dirinya.
Ustadz
Hanafi hanya menyayangkan. Selama empat tahun ini Gaza sudah puluhan
kali menolak perempuan yang mempunyai keinginan atas dirinya. Ia
khawatir, Gaza menolak bukan karena alasan syar'i tapi karena sesuatu
yang disembunyikannya selama ini.
"Mau
sampai kapan kamu menunda niatmu untuk menikah?" tanyanya. "Bukankah
kamu cukup paham kalau menikah itu ibadah? Mencontoh Rasulullah?
Bukankah, kamu sendiri yang bilang kalau kamu ingin jadi umat Rasulullah
yang meneladani beliau selama mampu? Apalagi yang kamu tunggu?
Duniawimu sudah cukup. Ilmu agamamu juga tidak diragukan. Cukup sekali
sebagai bekal di kehidupan rumah tangga nanti. Jangan sampai alasanmu
membuat Allah murka dan justru sengaja menghilangkan rezeki jodohmu."
"Astaghfirullah."
Gaza beristighfar. Ia menghela napas dalam-dalam. Sebenarnya, ia juga
sudah lama ingin menyempurnakan separuh agamanya. Namun ada alasan lain
yang menunda keinginannya. Lebih tepatnya, dirinya sendiri yang memaksa
untuk menundanya. Betapapun ia ingin.
"Aku ada seorang akhwat. Shalihah insya Allah. Sekufu denganmu juga. Kalau engkau berminat, akan segera kuatur jadwalnya. Bagaimana?"
Sekali
lagi, Gaza menenggelamkan kepalanya. Ia tak bisa mengatakan sesuatu.
Minggu lalu, Ustadz Hanafi juga menanyakan dan menawarkan seorang
perempuan kepadanya. Namun hatinya masih tetap pada apa yang jadi tujuan
dan prioritasnya saat ini. Ia memang ingin menunda pernikahannya.
"Bagaimana, Za?" Ustadz Hanafi memandang Gaza penuh harap.
Namun lagi-lagi ia harus membuat gurunya itu kecewa. Gaza menggeleng. Ia belum siap.
"Apa yang menjadi masalahmu? Ceritakanlah! Barangkali aku bisa bantu."
Gaza
mengusap wajahnya. Matanya memejam. Lalu kembali membuka dan menatap
wajah teduh gurunya. Ustadz Hanafi yang selama ini menjadi salah satu
alasannya ia tetap kuat dalam menjalani kehidupan. Salah satu yang
menyemanginya disaat ia sedang lemah imannya.
"Ada sesuatu yang ingin kuselesaikan, tadz. Dan aku ingin hal ini benar-benar selesai dahulu."
"Apa?"
"Aku ingin Ghazi menikah dahulu."
Ustadz
Hanafi menghela napas. Ia tahu, Gaza begitu menyayangi adiknya. Meski
kadang kala, permasalah keduanya tak pernah selesai-selesai.
Sejak umminya meninggal, Ustadz Hanafi tahu bahwa keluarga Gaza mengalami masa-masa sulit.
Papanya
yang mengalami stres berat hingga di PHK, adiknya yang semakin liar dan
terkena kasus narkoba, hingga rumah mereka disita. Masa-masa itu
menjadi masa kelam bagi Gaza. Menjadi beban berat yang menimpanya bahkan
saat ia tidak tahu menahu apa yang terjadi. Sejak usia tujuh tahun Gaza
memang disekolahkan di pondok tahfidz di Jawa Barat. Hingga usianya
sebelas tahun, Gaza baik-baik saja. Pun dengan keluarganya. Namun saat
umminya kecelakaan dan meninggal, semuanya kemudian berubah. Keluarganya
berantakan. Hal itu membuat ia sempat drop. Maka Ustadz Hanafi datang
untuk menguatkan dan membuatnya bangkit hingga pada usia lima belas
tahun, Gaza bisa menyelesaikan hafalannya yang sempat tertunda dan
berantakan.
Meski begitu, hubungan keluarga Gaza. Terutama antara ia dengan Ghazi sudah tidak baik. Bahkan semakin hari semakin renggang.
Ghazi
yang sejak kecil tinggal di rumah merasa dirinya dibanding-bandingkan
dengan Gaza yang pintar, Gaza yang mau sekolah di pesantren, dan Gaza
yang hebat di segala bidang.
Entah
apa yang terjadi sebenarnya, Ustadz Hanafi tidak tahu. Yang pasti sejak
ummi Gaza meninggal. Kebencian Ghazi kian terlihat.
Kini,
ia mendengar bahwa Gaza ingin menunda pernikahannya karena ingin
melihat Ghaza menikah dahulu? Sejak kapan Gaza yang pintar agama
memutuskan seperti itu?
"Apa tidak ada alasan yang lebih syar'i, Za? Itu bukan alasan karena Allah..."
Gaza terdiam. Ia tahu alasannya sangat tidak berdasar. Tapi ia belum bisa menjelaskannya pada Ustadz Hanafi.
"Akan lebih baik kalau antum melupakan keinginan itu. Ini masalah besar. Kamu tidak boleh main-main."
"Aku
paham dengan apa resikonya, tadz. Tapi aku mohon. Untuk saat ini aku
minta keridhoan ustadz. Setidaknya sampai aku punya alasan lain yang
lebih kuat. Tolong doakan aku agar pilihanku ini tidak salah. Sungguh,
demi Allah. Aku ingin menikah, kalau bisa secepatnya. Tapi aku tidak
ingin melepaskan tanggungjawab sebagai manusia yang wajib berdakwah
kepada keluarga hanya demi tanggungjawab yang lain. Mohon dimengerti
ustadz."
Ustadz
Hanafi menghela napas. Kali ini ia mungkin masih memaafkan. Ia hanya
berdoa agar Gaza segera dibukakan mata hatinya agar berpikir lebih
rasional.
Cerita ini adalah penggalan bab 6 dari novel saya yang berjudul LA FADZ. Kalian bisa membaca secara gratis di wattpad DI SINI!