Kamis, 27 November 2014

Sebuah Pesan dari Kotak Kardus


ADA sebuah kotak; kardus berwarna cokelat yang terletak di bawah jendela kamarku. Permukaannya sedikit kotor—mungkin akibat gerimis tadi malam. Air yang berbenturan dengan tanah berdebu bercampur, mencipratinya. Aku yakin bahwa kardus itu sudah berada disana semalaman. Terakhir aku membuka jendela kamarku kemarin; pagi hari—ketika aku ingin menghirup udara segar setelah bangun dan aku yakin bahwa tidak ada satu karduspun yang tergeletak disana. Mungkin tadi sore atau malam hari diletakannya. Aku tak tahu, yang pasti aku penasaran dengan isi kotak itu.
            Aku mengambilnya. Lalu kubawa kotak kardus itu ke dalam rumah dan kubuka. Betapa terkejutnya aku ketika membukanya. Isinya hanyalah sepotong kertas lusuh, berwarna buram. Itupun tak disertai petunjuk orang yang mengirim. Dalam hati aku bertanya-tanya, siapa orang yang tidak punya kerjaan sehingga mengirimiku kertas lusuh dengan robekan di sisi-sinya ini?
Entahlah!!
            Seminggu berlalu, kemudian aku menemukan hal yang sama. Sebuah kardus tergeletak dibawah jendela kamarku. Tepat setelah semalaman hujan. Kali ini bukan gerimis. Yang aku tahu, semalam hujan cukup deras. Dan seperti biasa, kardus itu—kotak berwarna cokelat itu penuh dengan kotoran debu yang bercampur air. Anehnya, kardus itu tak pernah benar-benar basah. Kau tahu isinya? Tentu. Benar sekali. Sebuah kertas robekan. Sepotong. Hanya sepotong.
            Aku menghela napas. Agak kesal. Kenapa pula harus mengirim kertas ini? Kurasa orang yang mengirimnya benar-benar tak punya pekerjaan.

###

            Beberapa minggu ini, hujan tak turun. Seperti dugaanku. Kardus itu tidak ada, tidak muncul di bawah jendela kamaku. Lalu aku menunggu dan bertanya. Pengirim kotak kardus itu berhasil membuatku bertanya. Lalu aku berdoa—berharap bahwa Tuhan mengirimi hujan diwaktu dekat. Supaya aku bisa mengerti maksud si pengirim kotak kardus berwarna cokelat itu. Dan doaku terjawab tiga hari selanjutnya. Semalaman hujan dengan deras. Disertai petir yang menyambar. Aku menunggu ia—si pengirim kotak kardus. Berharap bisa bertemu. Atau setidaknya mengetahui sosoknya yang misterius.
            Semalaman—sepanjang hujan aku tunggui ia di depan jendela kamar. Meski sebenarnya aku amat takut dengan petir. Aku tak menutup jendela kamarku. Tak mengapa angin dan air hujan masuk, tak mengapa air itu membasahi tubuhku yang berdiri menungguinya. Rasa penasaranku sudah di ubun-ubun. Tak bisa aku hidup dengan penuh tanda tanya seperti ini. Awalnya kupikir ini hanyalah hal kecil—orang iseng yang tak sengaja membuang sebuah kardus dibawah jendela kamarku. Tapi, menemui kardus kedua, tak mungkin tak kesengajaan itu. Aku yakin, si pengirim ingin aku mengetahuinya secara sengaja.
            Namun, hingga pukul sebelas malam. Ketika hujan sudah reda. Dan kantukku datang, ia tak datang bersama kotak kardus itu. Aku ingin menyerah. Tapi di pikiranku, aku masih ingin menungguinya. Tak sengaja, tiba-tiba petir kembali menyerang. Membuatku reflek menutup jendela kamarku. Menutup kordennya, kemudian dengan cepat melompat ke atas kasur.
            Esok hari ketika kubuka jendela kamarku, aku sudah menemui kotak kardus itu. Terdiri dari dua kardus kecil. Masing-masing dalam keadaan sama seperti dua kardus sebelumnya. Dengan segera aku ambil dan kubuka. Isinya sama-sama kertas lusuh berwarna buram. Dan setelah kuteliti dengan seksama, ada satu huruf disetiap potongan kertas robek itu. Ejaannya aku rakit bersama kertas sebelumnya. Sesuai dengan urutan pemberian kardus itu, aku memperoleh satu kata; MAAF.
            Aku menghela napas. Kerutan dahiku bertambah. Aku benar-benar tak mengerti. Tapi kau tahu? Di sela-sela kotak kardus itu aku menemukan sebuah surat. Dengan segenap perasaan penasaran dan takut yang berpautan aku membacanya.

MAAF.
Kau mungkin bertanya-tanya tentang maksud dari ke empat kardus yang aku kirim untukmu. Kau mungkin menerka—mengira-ngira maksudku.
Jangan khawatir Kanaya, aku hanya ingin menyampaikan sebuah pesan. Meskipun ketika aku memberinya, aku sedikit memberimu sebuah teka-teki. Kupikir kau akan mengerti dengan cepat. Ternyata tidak. Tak apa Kanaya. Aku mengerti, selalu mengerti.
Kau sudah mengerti arti dari keempat kardus itu, kau pandai merangkai huruf Kanaya.
Kau tahu kenapa aku mengirimnya empat kardus? Saat hujan tiba dan pada malam hari?
Selain kata maaf, empat menunjukan waktu yang kulalui bersama perasaanku Kanaya. Kau tahu, sudah empat tahun aku mencintaimu. Maaf aku baru berani mengatakannya. Aku menyimpan perasaan ini. Tak berani aku mengatakannya. Dulu, aku terlalu bodoh. Dan sekarang tinggalah aku bersamaan dengan penyesalanku. Aku laki-laki, aku hanya tak ingin mencintaimu tanpa memiliki sesuatu yang bisa membanggakanmu. Tapi aku salah, menunggu sejatinya tak akan pernah usai. Menunggu bukan sikap kesatriya. Kata membanggakan itu seharusnya terjadi ketika aku berani mencintaimu secara terang-terangan. Bukan diam dengan kesunyian—sendiri, seperti arti kata malam ketika aku mengirimimu kotak kardus itu.
Kanaya, tahukah kau bahwa hidupku seperti di derai hujan? Ramai, tapi terasa dingin. Tak ada kehangatan kecuali dengan bantuan selimut. Selimut itu adalah kekuatan cintaku Kanaya. Perasaanku, entah kenapa membuatku seperti seorang bodoh dan dungu. Laki-laki yang memendam perasaannya pada seorang perempuan. Tapi tak sanggup mengungkapkannya.
Sejatinya, aku hanya ingin kau berpikir Kanaya, bahwa ada orang yang mencintaimu dalam diam. Bahwa ada yang mencintaimu ketika kau merasa tak seorangpun menyayangimu. Kanaya, meskipun tak dikatakan, perasaanku padamu tetaplah cinta.
MAAF, aku baru berani mengatakannya, meskipun sejatinya aku terlambat. Kau sudah dengan dia. Berbahagialah, aku tetap mencintaimu. Hatiku untukmu. Aku menjaganya seperti aku menjaga kertas lusuhku didalam kardus dari hujan. Kertas lusuh dan buram itu adalah serpihan hatiku—yang robek disisi-sisinya. Meski kotaknya sedikit kotor dan basah. Aku sudah berusaha menjaganya. Untukmu yang hatinya untuk dia.Kanaya...
-Sosok misterius ini sesungguhnya tidak penting,
Karena yang terpenting adalah hatiku. suatu saat kau akan tahu-