Senin, 13 Juli 2020 - , 0 komentar

Perubahan Hati atau Fisik Dulu?

Kita sering bertanya, manakah yang lebih dulu harus diperbaiki, hati dulu baru fisik atau fisik dulu hati kemudian?

▪▪▪


credit characters from La Fadz
:Nae & Medina:



 

"NAE, nanti sore jadi kan ikut kajian bareng aku dan temen-temen?" tanya Medina, yang baru saja duduk di samping Nae. Siang itu, Nae tiba-tiba menelepon Medina dan memintanya untuk menemuinya di taman dekat masjid.

Tidak menjawab pertanyaan Medina, Nae justru bertanya, "Mei, menurut lo perubahan gue ini terlalu buru-buru nggak sih?"

Kening Medina mengernyit, ia sudah menduga ada sesuatu yang ingin diungkapkan Nae.

Sudah dua bulan ini Nae memutuskan untuk mengenakan kerudung. Perubahan yang sangat disyukuri Medina sebagai sahabat barunya. Meski dua bulan ini, Nae hampir ingin melepas kerudungnya berkali-kali karena nggak tahan dengan perkataan teman-temannya. Medina sampai hafal tiap kali Nae murung dan tiba-tiba memintanya untuk bertemu seperti ini, pasti hati Nae sedang tidak tenang memikirkan perubahannya.

Sebenarnya, Nae hanya perlu diyakinkan saja.

"Kan aku udah bilang kalau...."

"Tapi gue ngerasa emang perubahan gue terlalu mendadak, Mei. Temen-temen gue bilang kalau gue terlalu memaksakan diri. Apalagi, ya... apalagi karena gue tiba-tiba deket sama lo."

Medina tersenyum. Tidak ada yang salah dengan perkataan Nae. Ia tahu betul lingkungan Nae.

Medina menghela napas, ia tersenyum menatap Nae.

"Gini, Nae... sebelum kamu bertanya apakah perubahanmu itu terlalu mendadak atau enggak, coba kamu tanya sama diri kamu sendiri. Apa yang membuat kamu berubah? Dan apakah perubahan yang kamu alami itu ditunjukan buat seseorang?"

Nae menggeleng, "Demi Allah, perubahan gue pure karena gue emang ngerasa kehidupan dulu gue itu salah. Nggak ada maksud buat caper atau gimana-gimana."

Medina tersenyum. Mengangguk.

"Satu pertanyaan lagi."

Nae kini mulai fokus pada Medina.

"Menurut kamu lebih baik mana, hijrah hati dulu atau hijrah fisik dulu?"

Nae terdiam, menggigit bibir bawahnya. "Eum, apa ya. Kalau gue bilang hati dulu, nanti kayak kebanyakan orang. Basi banget. Jadi ya... mungkin fisik dulu kali ya. Kayak gue ini. Ya, sembari pelan-pelan belajar yang lainnya."

Medina mengangguk-angguk. "Bener banget sih, Nae. Tapi kalau menurutku dua-duanya itu penting."

Kening Nae mengernyit, tanda ia penasaran.

"Berapa banyak orang yang menunda-nunda perubahan fisik yang lebih baik, hanya karena mengaku ingin mengubah hatinya dulu? Berapa banyak orang yang fisiknya sudah baik. Sudah berkerudung misalnya. Tapi... sholat aja lewat terus. Padahal amalan yang pertama kali dihisab adalah sholat. Pakai kerudung, tapi pacaran, berdua-duaan. Bahkan kerudung jaman sekarang bukan lagi digunakan sebagai identitas seorang muslimah--bisa melindunginya dari fitnah. Fungsinya udah berubah jadi fashion trend aja. Jadi antara perubahan hati maupun fisik itu penting. Nggak bisa salah satu aja."

Nae mengangguk-angguk.

"Pernah dengar istilah berilmu sebelum berkata dan beramal?"

"Eum, kayaknya sih pernah."

"Yap, itu adalah perkataan dari perawi hadist terkemuka, Imam Al Bukhori. Al ilmu qobla al qauli wal amali. Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Menurutku, semua jenis perubahan itu pasti didasari atas sebuah pemikiran. Sama seperti ketika kamu berubah jadi mau pakai kerudung. Bukannya kamu pernah bilang kalau sejak dulu, keluargamu ingin sekali kamu mengenakan kerudung? Nah, dari situ lah kamu jadi berpikir emang kenapa harus berkerudung, emang kerudung itu apa? Emang manfaat kerudung itu kayak apa? Sehingga pada titik tertentu hati kamu benar-benar siap melakukan perubahan secara fisik.

"Benar. Kalau hati itu perlu disiapkan. Tapi menunggu hingga hati benar-benar seratus persen siap itu akan sangat banyak membuang waktu. Jangan-jangan itu hanya alasan kita aja buat menunda kebaikan. Jadi, akan jauh lebih baik kalau kita cepat menerjemahkan kode dari Allah. Seperti yang kamu lakukan, Nae.

"Bagiku, perubahanmu nggak terburu-buru atau tiba-tiba. Justru kamu harus bersyukur. Di antara ribuan muslimah di luaran sana yang menunggu hatinya mantap untuk berkerudung, di antara ribuan muslimah yang sudah berkerudung tapi suka buka tutup apalagi sampai menjadikannya sekedar fashion trend, kamu digerakkan oleh Allah untuk menjalani keduanya dengan seimbang. Masih mau belajar pelan-pelan, sembari memperbaiki hati dan diri. Memperbanyak ilmu agama."

Nae tersenyum. Ia diam-diam membenarkan apa yang Medina katakan.

"Muslim itu harus bergerak berdasarkan pemahaman. Bukan hanya sekedar apa kata perasaan. Apalagi gampang baper sama perkataan orang lain. Kebenaran itu nggak diukur dari seberapa banyak orang lain mengatakan benar lho, Nae. Islam punya standar kebenaran yang mutlak, al-Qur'an dan hadist. Kalau orang lain menilai kita tidak berdasarkan kedua standar itu ya... cuekin aja. Jadikan sebagai ujian kesabaran."

Nae terkekeh. "Iya ih. Kok gue jadi gampang baper sih akhir-akhir ini. Biasanya juga cuek-cuek aja sama apa kata orang. Bego emang."

Medina tertawa.

"Mau tahu nggak rahasia besar bagaimana caranya supaya apapun yang kita lakukan jadi semakin membuat kita bersemangat. Bahkan kalau tidak diapresiasi orang, nggak ada yang mau bayar kita, dan jadi membuat kita ikhlas terus?"

"Apa?"

"Ilmu agama."

"Hah?"

"Iya, seperti yang Imam Al Bukhori bilang. Ilmu sebelum berkata dan beramal. Bayangin deh, ketika kita kuliah misalnya. Kalau kita pikir kuliah biar dapet ilmu dan biar cepet lulus dan dapet kerjaan doang, saat kita nggak dapet apa yang kita inginkan kita pasti kecewa. Tapi kalau kita tahu, ketika kita kuliah kita sedang memperbaiki sebuah peradaban--karena seorang muslimah juga harus cerdas, dan secara otomatis mendapat pahala dari Allah, dapet surga. Kita pasti nggak setengah-setengah kuliahnya.

"Bayangin, jika ada seorang ibu tahu kalau ketika dia menjadi istri yang taat, melahirkan anak dan mendidik anak itu pahalanya setara seperti seorang laki-laki yang berjihad di medan perang, pasti nggak ada ibu-ibu yang malu kalau profesinya adalah ibu rumah tangga padahal dia lulusan S3. Iya nggak?"

Kali ini anggukan Nae lebih mantap.

"Kok iya, ya, Mei. Gue jadi malu nih usia udah kepala dua lebih tapi cetek banget soal agama. Bahkan gue selalu mempertanyakan apa-apa yang jadi kewajiban gue sebagai muslimah. Astaghfirullah gueee."

"Nggak apa-apa, Nae. Bagus malahan. Bahkan dalam al-Qur'an sudah disebutkan bahwa orang-orang yang berpikir itu beruntung."

Nae tersenyum. Kali ini hatinya lebih tenang.

"Jadi gimana, udah nemu jawabannya belum atas pertanyaan-pertanyaan kamu? Apa perubahan kamu ini buru-buru dan tiba-tiba banget?"

Nae tertawa. Ia bahagia bisa beremu dengan Medina.

"Thanks, Mei. Udah ngeyakinin gue dan ngasih tahu banyak ilmu hari ini."

"Never mind. Lain kali gantian, ya?"

"Ah, gue mah apa sih. Cuma remukan biskuit Kong Guan."

"Yeee, itu juga enak kok."

Mereka tertawa bersama.

"Jadi gimana? Mau ikut kajian nggak nanti sore? Temanya bagus lho. Muhasabah Diri."

"Eum, oke deh. Eh tapi... kerudung gue belum bisa sepanjang elo, Mei. Nggak apa-apa?"

"Ih apa sih? Keshalihahan seseorang nggak diukur dari seberapa panjang kerudungnya aja tahuuu. Perubahan itu pelan-pelan. Oke?"

Nae mengangguk. Dalam hatinya semakin tumbuh kemantapan dan keinginan untuk berubah lebih baik lagi.

 

 

◽️◽️◽️

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”

 (QS.Al-Baqarah:164)

◽️◽️◽



referensi bacaan:
Al Jauziyyah, Ibnu Qayyim dkk. 2001. Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama' Salaf. Pustaka Arafah: Solo.

Minggu, 16 September 2018 - , 0 komentar

THE OTHER SIDE

MATAHARI sudah mulai tenggelam. Sepertinya, Medina melakukan kesalahan dengan membiarkan Rhum dan Atik pulang duluan karena saat ini tidak ada manusia yang bisa dimintai pertolongan saat sepeda kesayangannya ngadat tidak mau dipakai lagi.
Sepulang dari La Fadz tadi, Rhum dan Medina memutuskan untuk kembali ke sekretariat LDF kampus untuk mengambil kendaraan masing-masing sekaligus melaporkan perkembangan naskah teaternya kepada Dhani. Begitu bertemu dengan Atik, mereka kemudian membahas plot novel Kak Gaza yang akan diubah menjadi naskah lakon. Hal ini menurut Medina diperlukan karena ia butuh masukan dari sahabat dekatnya sebelum besok dirapatkan dengan anggota LDF lainnya.
Selesai rapat tipis-tipis pukul 5 sore. Mereka berpisah. Biasanya Atik dan Rhum yang notabene menggunakan sepeda motor karena posisi kosan mereka yang jauh akan menunggui sampai Medina jalan duluan dengan sepedanya. Namun saat itu Medina benar-benar membiarkan kedua sahabatnya pulang dulu. Ia tidak tega melihat wajah kelelahan kedua sahabatnya.
Biasanya, beberapa anak LDF memang lewat. Namun sayangnya, hari sudah hampir malam dan Medina yakin anak LDF sudah jarang sekali lewat di parkiran khusus sepeda.
Ia harus memutar otaknya untuk menemukan cara agar setidaknya bisa meninggalkan sepeda kesayangannya tanpa perlu khawatir hilang ketika diletakkan di kampus. Pasalnya, akhir-akhir ini kampus memang sedang tidak aman. Jangankan sepeda, beberapa alat praktek anak kesehatan saja sering hilang secara tiba-tiba. Oleh karena itu, Medina sedang sibuk mencari seseorang yang dapat dimintai tolong sebelum malam menjelang.
Medina hampir frustasi ketika mengecek ponselnya yang mati padahal ia ingin meminta Abangnya untuk menjemput atau meminta ijin Ibu untuk pulang terlambat.
"Lo ada masalah?" Itu Nae, gadis berkucir satu yang selalu terlihat menempel dengan Drew. Ia muncul dari arah belakang dan menginterupsi kegundahan hati Medina. Meski begitu, Medina akhirnya bisa bernapas lega karena kehadiran Nae membuat harapannya mendapat bantuan jadi terkabul.
"Iya. Sepedaku rusak lagi. Maklum udah tua."

"Apanya yang rusak?"

"Rantainya mungkin," kata Medina. "Biasanya kalau dibenerin sih bisa. Tapi nggak tahu kenapa hari ini susah banget."

"Gue bantuin mau?"

Medina mengangguk. Nae tersenyum karena Medina menyambut bantuannya. Ia kemudian berbalik arah, menyipitkan matanya mencari seseorang yang sedang sibuk menaruh barang-barang di bagasi mobil. Dilihat dari sini, Medina bisa menebak kalau dia adalah Drew. Cowok bermata sipit yang selalu dijuluki Jang Geun Suk oleh Atik. 

"DREW! SINI!" teriak Nae. Yang diteriaki hanya menoleh kemudian sibuk lagi memasukkan barang-barang ke bagasi mobil. Nae berdecak sebal. Ia paling sebal kalau Drew tidak bisa diajak kerjasama seperti ini.

"DREW! Siniii! Gue butuh bantuan!" teriaknya sekali lagi.

"Woi! Buruaaan! Ada yang butuh bantuan nih!" Teriakan Nae yang ketiga kali itu membuat cowok yang dipanggilnya mendecak kesal. 

Drew berlari kecil menghampiri mereka berdua. Rambutnya yang panjang terlihat berantakan. Kaos bertuliskan I'm A Drummer juga sudah sangat lusuh. Ia terlihat kelelahan begitu dilihat dari jarak yang dekat.

"Paan, sih! Teriakan lo bikin telinga gue mau pecah tau, nggak! Nenek lampir lo!"

Nae memanyunkan bibirnya dan segera mencubit lengan Drew saat cowok itu akan memakinya lagi. "Berisik," katanya. "Benerin sepedanya Medina, gih!"

Drew meringis kesakitan dan bersiap melakukan serangan balik. Tapi ekspresinya berubah ketika menyadari ada Medina di samping kanannya.

"Oh, hai, Medina. Lo anak Rohis yang kemaren itu kan?" katanya. Tersenyum amat lebar sembari melambaikan tangannya dengan sangat bersemangat.

Medina mengangguk sambil sedikit tertawa. Sementara Nae justru mual karena tingkah Drew yang sok akrab.

"Sepeda lo rusak?" 

"Iyalah kampret! Udah gue bilang juga."

"Sssttt, berisik lo, Nae. Gue tanyanya Medina."

Nae mendecak.

"Iya. Kayaknya sih rantainya lepas lagi," jawab Medina segera karena takut Nae dan Drew akan berantem lagi.

"Oke, gue coba cek dulu, ya."

Medina mengangguk. Ia hanya berharap bahwa kali ini sepedanya akan baik-baik saja dan bisa diperbaiki segera. Pasalnya malam ini ia juga harus mengerjakan beberapa tugas kuliah yang menumpuk dan segera membaca novel Kak Gaza agar bisa diubah menjadi naskah lakon besok pagi. Ia tidak akan punya banyak waktu jika insiden ini sampai berkepanjangan. Belum lagi, keluarganya yang akan khawatir.

Drew berjongkok dan mulai memeriksa sepeda Medina. Beberapa kali keningnya mengernyit. Sementara Nae menerangi pandangan Drew dengan senter dari ponselnya. 

"Ternyata rantai sepedanya putus, Mei."

"Putus?"

Medina menghela napas panjang. Sekarang ia makin bingung bagaimana ia harus pulang. Melihat ekspresi Medina yang kebingungan, Nae berinisiatif. "Lo ikut kita aja kalau memang butuh tumpangan buat pulang. Kebetulan kami sih memang mau pergi buat persiapan manggung. Boleh lah nanti mampir dulu buat nganter lo."

"Nebeng mobil kita maksud lo, Nae?"

"Yaiyalah, Drew."

"Tapi..."

Nae menyenggol lengan Drew yang terlihat tidak setuju dengan ide Nae. Bukannya apa-apa, tapi Drew cukup paham dengan konsep interaksi yang dianut Medina. Meski tidak mengerti banyak, tapi dari penampilan dan sikap Medina yang sangat menjaga saja, Drew bisa menebak kalau Medina pasti akan sangat risih jika diajak oleh sembarangan orang. Apalagi ada percampuran cewek cowok di dalamnya. Setidaknya hal itu lah yang membuatnya sedikit ragu saat ingin menawari Medina bantuan.

"Tenang, Mei. Di mobil cuma ada gue, Drew dan Ghazi. Mereka berdua bisa duduk di depan dan lo sama gue di belakang." Nae menambahi, memberi keyakinan pada Medina yang ragu-ragu.

"Gimana? Daripada lo sendirian dan kebingungan gini kan?" tanya Nae lagi. "Lagipula kalau udah hampir malem gini, kampus kita agak kurang aman buat lo."

"Terus sepedaku?"

"Gampang itu. Kita taroh aja di gudang samping sekretariat RK. Gue jamin aman. Besoknya kita bantuin untuk diperbaiki di bengkel. Gimana?"

Kali ini Medina tidak punya pilihan. Ia harus segera memutuskan sebelum malam menjelang dan ia tidak bisa ngapa-ngapain. Akhirnya ia sepakat dengan tawaran dari Nae.

☕☕☕

Tadinya Medina pikir, dia akan berada dalam posisi yang sangat awkward ketika berada dalam lingkaran pertemanan antara Nae, Drew dan juga Ghazi. Mungkin ia tidak akan masalah jika hanya ada Nae dan Drew. Mereka adalah tipe orang yang easy going dan sangat bisa mencairkan suasana. Setidaknya beberapa menit bersama mereka membuatnya terbiasa dengan kegaduhan mereka yang absurd. Ditambah lagi, Nae dan Drew justru sering memancing dialog saat Medina diam karena tidak tahu harus ngobrol soal apa.

Tetapi beda cerita kalau ia berhadapan dengan Ghazi.

Bakda sholat isya tadi, Nae dan Drew menawari Medina untuk mengantarnya pulang dan mereka akan melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan barang-barang kebutuhan teater di panti. Tapi Medina menolak. Ia merasa tidak enak jika ia harus pulang begitu saja sementara melihat ketiga orang itu sedang butuh bantuan. Ia seperti mengharuskan diri menawarkan bantuan juga. Bagaimana pun, bantuan Nae dan Drew sangat bermanfaat malam ini. Akhirnya ia memutuskan untuk meminjam ponsel Nae dan memberitahu bahwa ia akan terlambat pulang. Tetapi ya itu... interaksinya dengan Ghazi sejauh ini hanya sekedar saling tatap, mengucapkan kata-kata pendek sebagai jawaban, dan anggukan sebagai persetujuan. Sepertinya Ghazi terlihat tidak nyaman ada Medina di sana. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Medina saat melihat Ghazi diam seribu bahasa.

"Ghazi emang orangnya irit bicara. Jadi lo tenang aja. Meski sikapnya nyebelin kayak gitu, yakin lah, dia itu paling nggak bisa ngelihat orang kesusahan dan butuh bantuan kayak lo. Jadi nggak usah diambil pusing kalau dia itu kelihatan dingin. Selow aja," kata Nae. Melihat ketidaknyamanan Medina saat berada di mobil.

☕☕☕
Pukul 19.30, mereka sampai di Pantiasuhan Lentera--salah satu panti garapan RK.
Medina baru paham mengenai sibuknya orang-orang teater saat bersama mereka. Di mobil tadi Nae dan Drew banyak cerita bahwa setiap minggunya RK memang biasa mengadakan teater keliling untuk menghibur anak-anak yatim di berbagai daerah. Setidaknya ada 3 panti asuhan tempat mereka melakukan kegiatan teater keliling. Selain tujuannya untuk menghibur anak yatim dan masyarakat sekitar, kata Nae, sesekali teater RK juga dilakukan untuk penggalangan dana dan menarik simpati masyarakat terhadap panti. 

Penampilan mereka cukup digemari oleh masyarakat. Apalagi sejak beberapa wartawan meliput, lebih banyak masyarakat yang tahu dan memiliki keinginan untuk menyumbang ke panti asuhan yang mereka kunjungi. Hal itulah yang membuat RK rajin dan makin semangat mengadakan teater sampai niat membuat properti yang benar-benar serius ke beberapa panti. Nae bilang, ini semua awalnya ide Ghazi. 

Sayangnya, ada beberapa masalah yang membuat beberapa anggota RK tidak mau lagi untuk membantu tampil di panti akhir-akhir ini. Yang kata Drew, membuat Ghazi tambah stres dan sering diam belakangan ini. Drew cerita, hal itu karena beberapa anggota RK sedang melakukan silent treatment sebagai bentuk ketidaksetujuannya untuk melakukan kolaborasi dengan Rohis. Saat Medina tanya mengapa RK tetap mau melakukannya, Drew bilang, "si Boss yang maksa menerima. Bahkan lo tahu sendiri kan kalau dia bela-belain buat naskah?"

Hal itu kemudian mengusik pikiran Medina. Membuatnya merasa bersalah karena bersikap tidak baik dengan Ghazi. Setidaknya, ia juga sempat berpikir bahwa Ghazi lah yang menebar virus membenci tanpa sebab kepada anak-anak Rohis.

Bagaimana pun menyebalkannya Ghazi, ia pasti punya alasan kenapa memutuskan untuk menerima teater persahabatan ini meski awalnya ia adalah orang yang paling keras menolak konsep kolaborasi dengan Rohis.

Setelah menyelesaikan pekerjaan untuk memindahkan properti, mereka berempat diminta untuk istirahat di halaman samping oleh Bunda Aisyah--pengasuh panti Lentera. Mereka disuguhi berbagai cemilan dan teh hangat.

Melihat betapa mereka memperlakukan Medina dengan baik. Meski cara pandang, cara berpakaian dan jalan hidup mereka yang berbanding terbalik, Medina sudah mulai nyaman bersama mereka.
Cerita-cerita kecil dari Nae dan Drew sedikit banyak merubah pandangan Medina terhadap RK. Menurut pandangan Medina, tidak semua orang yang berpikiran bebas dan belum mau bergabung dengan lembaga-lembaga dakwah atau kelompok keislaman seperti Nae, Drew dan Ghazi tidak mau berafiliasi dengan Islam. Menurutnya, mereka hanya belum terketuk pintu hatinya untuk mencoba menerapkan syariat Islam sepertinya.

Hal inilah yang kemudian menjadi PR besar anak Rohis, setidaknya Medina. Ia juga harus membuat pola pikir anak di luar Rohis berubah. Bahwa mengikat diri dengan patuh pada hukum Allah itu tidak buruk, apalagi mengekang kebebasan diri. Bisa jadi, banyak orang yang ingin berubah, ingin lebih baik. Tapi mereka tidak tahu memulainya dari mana. Bisa jadi juga, banyak orang yang tahu cara memulainya. Tapi ia tidak bisa bertahan karena lingkungan hidupnya yang tidak memungkinkan.

Medina jadi teringat kata-kata dari salah seorang Ustadz favoritnya. Ustadz Oemar Mita, Lc. Bahwa ada tiga alasan mengapa hijrah menjadi sesuatu yang perlu dihindari oleh beberapa orang.

Pertama, karena pesona dunia. Mereka terlalu nyaman dengan kenikmatan dunia yang fana. Terlalu mengikat diri dan tidak mau mengenal bagaimana kehidupan setelah di dunia. Kedua, pengaruh lingkungan yang buruk. Yang kemudian membuatnya belum atau tidak bisa mengenal bagaimana yang baik dan buruk menurut kacamata agama. Ketiga, panjang angan-angan. Merasa bahwa hidupnya masih panjang. Bahwa mati adalah pemutus segala kenikmatan yang diperolehnya. Bahwa mereka belum memahami bagaimana kehidupan setelah di dunia. Apa yang mereka akan dapat ketika melakukan dosa, dan apa yang mereka akan dapatkan ketika mereka mau taat.

Kini, Medina tahu apa yang akan dilakukannya. Bahwa cara terbaik untuk mendakwahi seseorang adalah menjadi orang paling dekatnya. Setidaknya Medina harus membaur, tanpa harus tercampur.

☕☕☕
Versi lengkapnya bisa dibaca di wattpad @eniristiani dengan cerita berjudul La Fadz atau DI SINI!
Selasa, 01 Mei 2018 - , 0 komentar

MAU SAMPAI KAPAN?

JAKARTA hari ini cerah. Langit kota dengan pemandangan gedung pencakar langitnya seperti sebuah lukisan yang indah. Meski orang bilang, ibukota sudah tidak lagi perawan karena cuaca dan kondisinya yang terkontaminasi polusi, namun tidak pernah menghilangkan pamor sebagai kota tujuan nomor satu bagi para pencari kerja di Indonesia. Bahkan ribuan orang memuji dan rela mati demi bisa tinggal selamanya di sini.

Kata orang, Jakarta itu kota yang keras. Tak bekerja keras, maka bisa dipastikan tidak akan bisa bertahan. Inilah mengapa banyak kita jumpai orang-orang kota lebih sibuk mengejar karirnya daripada berkutat mencari ilmu agama. Inilah mengapa, potret kesibukan di kota lebih banyak terpusat untuk urusan dunia daripada urusan akhirat.

Padahal dunia ini fana. Akan hancur kapan saja Allah menginginkannya.
Di tengah kebisingan kota dan para pekerja yang haus akan kekayaan dunia, Gaza menjadi salah satu pemuda yang tidak pernah lupa akan Tuhannya. Semua kegiatan dalam hidupnya ia usahakan hanya untuk Allah ta'ala. Bangunnya, aktivitasnya dalam mencari rezeki, pendidikannya, hingga tidurnya ia niatkan untuk Allah.

Ia ingat pesan umminya ketika ia berusia empat tahun. "Gaza mau nggak ngasih hadiah ke ummi?"

"Mau. Ummi mau apa? Gaza pasti kasih. Kalau ummi mau mainan Gaza, pasti Gaza bolehin."

Ummi tersenyum, lalu mencium pipi tembam Gaza. Mereka baru saja menunaikan sholat dhuha bersama. Biasanya, ummi akan melanjutkan dengan mengajari Gaza mengaji. Kadang, ia juga akan membacakan Gaza suatu kisah dalam Sirah Nabawiyah atau Sirah Sahabiyah dan kisah perjuangan anak-anak Palestina agar ia termotivasi. 

"Hm, ummi mau cerita dulu boleh?"

Gaza berteriak riang. Ia langsung memeluk ummi dan duduk di pangkuan ummi meski umminya sedikit kesulitan karena masih memakai mukena. Ditambah lagi dengan kandungannya yang mulai membesar.

"Ummi mau cerita tentang anak-anak Palestina yang hebat, cerdas, pemberani, dan juga rajin menghafal Qur'an di usia muda seperti Gaza."

Mata bulat Gaza menatap wajah ummi dengan berbinar. Ia selalu suka ketika umminya bercerita tentang anak-anak Palestina. Apalagi tentang kota Gaza. Ia merasa bangga sekali namanya disebut.

"Di kota Gaza sana, listrik dan lampu adalah sesuatu yang langka. Lampu menyala hanya 2 jam saja. Itupun ketika mereka tidur. Jadi mereka seringnya gelap-gelapan. Tapi mereka tidak pernah patah semangat untuk belajar dan menghafal al-Qur'an. Gaza tahu kenapa anak-anak Palestina di sana begitu semangat untuk menghafal al-Qur'an?"

Gaza menggeleng dengan keras.

"Karena mereka tahu, nak. Untuk bisa tetap istiqomah dan terus semangat dalam menjaga tanah waqaf para Anbiya dan kiblat pertama umat Islam dunia yaitu masjidil Aqsa adalah dengan membentuk generasi Qur'ani. Mereka adalah para mujahid dan mujahidah pembela tanah air mereka. Mereka tahu, jika suatu saat mereka ditangkap dan dipenjara oleh tentara Israel, mereka tidak akan boleh belajar dan membaca al-Qur'an seperti Gaza, maka mereka akan murojaah, akan mengingat hafalannya. Itulah alasan mereka bersemangat dalam menghafal al-Qur'an. Selain itu, alasan kenapa mereka bersemangat dalam menghafal al-Qur'an adalah karena mereka ingin menghadiahkan ummi dan abi mereka sebuah mahkota di surga."

"Jadi, kalau menghafal al-Qur'an bisa ngasih hadiah mahkota untuk ummi dan abi? Mahkota kayak raja-raja itu ya ummi?"

Ummi menggangguk. Mata Gaza berbinar.

"Kalau Gaza menghafal al-Qur'an, Gaza bisa ngasih mahkota ke ummi dan papanya Gaza?"

Sekali lagi, ummi mengangguk.

"Jadi ummi mau kalau Gaza kasih mahkota?"

"Mau sayang, itu yang ummi mau dari Gaza." Ummi memeluk Gaza dengan gemas.

"Kalau gitu, Gaza mau menghafal al-Qur'an deh. Supaya Gaza bisa ngasih hadiah mahkota ke ummi dan papa. Biar ummi senyum, terus biar papa nggak pergi-pergi terus."

Ummi mencium dan mempererat pelukannya. Ia terharu. Matanya berkaca-kaca begitu melihat anak pertamanya itu paham maksud apa yang ia ceritakan.

"Tapi, nak. Papa pergi kan untuk kerja."

"Ya tapi Gaza jadi kesepian nggak ada yang ngajak main. Gaza mau papa di rumah aja."

☕☕☕


Mata Gaza terpejam. Kepalanya ia tundukkan dalam-dalam. Hatinya selalu merasa takut ketika melafalkan kalimat Allah. Al Waqiah, tentang sebuah peringatan hari kiamat. Bibirnya bergetar saat mengulang hafalannya.

Ia mengingat almarhumah ummi, papa, dan adik semata wayangnya, Ghazi. Masalah-masalah yang menimpanya di dunia ini mungkin bisa ia tahan, tapi siapa yang menjamin dirinya masuk surga? Meski orang bilang ia adalah pemuda shalih, hafal al-Qur'an, pintar dalam ilmu agama, tapi surga tetaplah kuasa Allah. Ia hanya bisa mengusahakan dengan amalan-amalan dan ibadah yang ia mampu. Setiap kali mengingat mati, Gaza selalu tak kuasa untuk menangis. Maka jadilah ia menangis sesenggukan.
 
Sampai seseorang menepuk pundaknya dengan pelan. Gaza seperti tersadar. Ia membuka matanya dan segera mengusap air mata yang sudah jatuh di pipi.

"Ustadz?"

Ustadz Hanafi tersenyum. Ia duduk di samping Gaza yang seketika mencium tangannya. Secara otomatis Gaza memutar tubuhnya agar menghadap gurunya. Murrobi yang selama ini membimbingnya agar terus istiqomah dalam beragama.
Dulu, mereka dikenalkan oleh Kyai Hussein Ayyubi di Malang. Mereka bertemu saat Gaza mengikuti lomba MTQ tingkat nasional. Setelah mengetahui bahwa mereka sama-sama berasal dari Jakarta, Gaza janji kalau sudah lulus dari pesantren akan menemuinya lagi. Dan Allah memang mentakdirkan mereka berjumpa lagi. Gaza yang sengaja mencari alamat Ustadz Hanafi ketika masuk kuliah dulu.

"Murojaah?"

Gaza mengangguk. Ia masih sibuk mengusap sisa air mata yang mungkin saja masih ada di pipinya. Ia malu kalau ketahuan menangis oleh Ustadznya.

"Udah sholat sunnah?" tanya Ustadz Hanafi, yang sebenarnya sudah memerhatikan Gaza sejak setengah jam lalu. Sejak Gaza melangkahkan kakinya untuk sholat dhuha dan memurojaah hafalannya. Hal yang biasa dilakukan Gaza hampir setiap hari. Ia akan pergi ke Masjid dekat kafe untuk sholat dan memurojaah hafalannya.

"Alhamdulillah sudah, Ustadz."

"Alhamdulillah," jawabnya. "Gimana perkembangan kafe dan kuliahmu?"
Gaza tersenyum. Senang ditanyai hal-hal sepele oleh gurunya. "Alhamdulillah. Sejauh ini lancar, Ustadz. Bulan ini ada rencana untuk mengadakan santunan anak Yatim rutinan. Doakan semoga lancar."

"Amiiin," ucap Ustadz Hanafi. Janggut tebalnya bergerak-gerak saat ia tersenyum. Sorban yang melilit lehernya membuat ia kelihatan sangat berwibawa.

"Mau sampai kapan, Za?" Ada jeda yang cukup panjang sebelum Ustadz Hanafi melemparkan pertanyaan itu. "Sampai kapan antum menunda waktu nikahmu?"

Gaza tertunduk. Ia sudah menduga kalau Ustadz Hanafi mendekatinya pasti ada hal yang ingin disampaikan. Pertanyaan kapan menikah memang sudah lama Ustadz Hanafi lontarkan. Sejak ia wisuda S1 dulu beliau sudah mewanti-wanti agar Gaza cepat menikah.
Zaman modern dengan kemajuan teknologi yang pesat membuat Ustadz Hanafi khawatir dengan diri Gaza. Apalagi pergaulan bebas yang marak di ibu kota. Menurutnya, laki-laki seperti Gaza tidak baik jika menunda pernikahan. Apalagi, sudah banyak perempuan yang ditolaknya dengan alasan sama. Kalau tidak cocok ya karena Gaza belum siap.

Pernah, dulu, Ustadz Hanafi menawarkan seorang perempuan cantik dan shalihah lulusan Madina. Namun sayang, Gaza tolak hanya karena istikharah Gaza mengatakan bahwa dia sebaiknya menolak. Padahal, Ustadz Hanafi sudah mempertimbangkan bahwa gadis itu sekufu dengannya. Meski bukan hafidz 30 juz, setidaknya 10 juz sudah dikantongi. Pendidikan juga sangat bagus. Tapi ia tidak bisa memaksa Gaza. Bagaimanapun yang menjalani adalah dirinya.

Ustadz Hanafi hanya menyayangkan. Selama empat tahun ini Gaza sudah puluhan kali menolak perempuan yang mempunyai keinginan atas dirinya. Ia khawatir, Gaza menolak bukan karena alasan syar'i tapi karena sesuatu yang disembunyikannya selama ini.

"Mau sampai kapan kamu menunda niatmu untuk menikah?" tanyanya. "Bukankah kamu cukup paham kalau menikah itu ibadah? Mencontoh Rasulullah? Bukankah, kamu sendiri yang bilang kalau kamu ingin jadi umat Rasulullah yang meneladani beliau selama mampu? Apalagi yang kamu tunggu? Duniawimu sudah cukup. Ilmu agamamu juga tidak diragukan. Cukup sekali sebagai bekal di kehidupan rumah tangga nanti. Jangan sampai alasanmu membuat Allah murka dan justru sengaja menghilangkan rezeki jodohmu."

"Astaghfirullah." Gaza beristighfar. Ia menghela napas dalam-dalam. Sebenarnya, ia juga sudah lama ingin menyempurnakan separuh agamanya. Namun ada alasan lain yang menunda keinginannya. Lebih tepatnya, dirinya sendiri yang memaksa untuk menundanya. Betapapun ia ingin.

"Aku ada seorang akhwat. Shalihah insya Allah. Sekufu denganmu juga. Kalau engkau berminat, akan segera kuatur jadwalnya. Bagaimana?"

Sekali lagi, Gaza menenggelamkan kepalanya. Ia tak bisa mengatakan sesuatu. Minggu lalu, Ustadz Hanafi juga menanyakan dan menawarkan seorang perempuan kepadanya. Namun hatinya masih tetap pada apa yang jadi tujuan dan prioritasnya saat ini. Ia memang ingin menunda pernikahannya.

"Bagaimana, Za?" Ustadz Hanafi memandang Gaza penuh harap.
Namun lagi-lagi ia harus membuat gurunya itu kecewa. Gaza menggeleng. Ia belum siap.

"Apa yang menjadi masalahmu? Ceritakanlah! Barangkali aku bisa bantu."
Gaza mengusap wajahnya. Matanya memejam. Lalu kembali membuka dan menatap wajah teduh gurunya. Ustadz Hanafi yang selama ini menjadi salah satu alasannya ia tetap kuat dalam menjalani kehidupan. Salah satu yang menyemanginya disaat ia sedang lemah imannya.

"Ada sesuatu yang ingin kuselesaikan, tadz. Dan aku ingin hal ini benar-benar selesai dahulu."

"Apa?"

"Aku ingin Ghazi menikah dahulu."

Ustadz Hanafi menghela napas. Ia tahu, Gaza begitu menyayangi adiknya. Meski kadang kala, permasalah keduanya tak pernah selesai-selesai.

Sejak umminya meninggal, Ustadz Hanafi tahu bahwa keluarga Gaza mengalami masa-masa sulit.
Papanya yang mengalami stres berat hingga di PHK, adiknya yang semakin liar dan terkena kasus narkoba, hingga rumah mereka disita. Masa-masa itu menjadi masa kelam bagi Gaza. Menjadi beban berat yang menimpanya bahkan saat ia tidak tahu menahu apa yang terjadi. Sejak usia tujuh tahun Gaza memang disekolahkan di pondok tahfidz di Jawa Barat. Hingga usianya sebelas tahun, Gaza baik-baik saja. Pun dengan keluarganya. Namun saat umminya kecelakaan dan meninggal, semuanya kemudian berubah. Keluarganya berantakan. Hal itu membuat ia sempat drop. Maka Ustadz Hanafi datang untuk menguatkan dan membuatnya bangkit hingga pada usia lima belas tahun, Gaza bisa menyelesaikan hafalannya yang sempat tertunda dan berantakan.

Meski begitu, hubungan keluarga Gaza. Terutama antara ia dengan Ghazi sudah tidak baik. Bahkan semakin hari semakin renggang.

Ghazi yang sejak kecil tinggal di rumah merasa dirinya dibanding-bandingkan dengan Gaza yang pintar, Gaza yang mau sekolah di pesantren, dan Gaza yang hebat di segala bidang.
Entah apa yang terjadi sebenarnya, Ustadz Hanafi tidak tahu. Yang pasti sejak ummi Gaza meninggal. Kebencian Ghazi kian terlihat.

Kini, ia mendengar bahwa Gaza ingin menunda pernikahannya karena ingin melihat Ghaza menikah dahulu? Sejak kapan Gaza yang pintar agama memutuskan seperti itu?

"Apa tidak ada alasan yang lebih syar'i, Za? Itu bukan alasan karena Allah..."

Gaza terdiam. Ia tahu alasannya sangat tidak berdasar. Tapi ia belum bisa menjelaskannya pada Ustadz Hanafi.

"Akan lebih baik kalau antum melupakan keinginan itu. Ini masalah besar. Kamu tidak boleh main-main."

"Aku paham dengan apa resikonya, tadz. Tapi aku mohon. Untuk saat ini aku minta keridhoan ustadz. Setidaknya sampai aku punya alasan lain yang lebih kuat. Tolong doakan aku agar pilihanku ini tidak salah. Sungguh, demi Allah. Aku ingin menikah, kalau bisa secepatnya. Tapi aku tidak ingin melepaskan tanggungjawab sebagai manusia yang wajib berdakwah kepada keluarga hanya demi tanggungjawab yang lain. Mohon dimengerti ustadz."

Ustadz Hanafi menghela napas. Kali ini ia mungkin masih memaafkan. Ia hanya berdoa agar Gaza segera dibukakan mata hatinya agar berpikir lebih rasional.


Cerita ini adalah penggalan bab 6 dari novel saya yang berjudul LA FADZ. Kalian bisa membaca secara gratis di wattpad DI SINI!
Senin, 19 Februari 2018 - 0 komentar

Rindu

Saat aku menulis ini, itu berarti aku sedang rindu-rindunya

Dan tidak tahu harus berujar lewat media apa

Maka kusampaikan, untuk kamu yang bahkan tak pernah membacanya

Aku rindu, titik.
Senin, 17 April 2017 - , 0 komentar

Surat Cinta untuk Mujadilah



“HAURA, apa yang akan kamu lakukan ketika ada seorang yang tidak terlalu kamu kenal tiba-tiba bilang, ‘boleh tahu alamat rumahnya? Saya berniat mau melamar.’
            Haura mengernyitkan kening ketika tiba-tiba saja Dila bertanya seperti itu. Ketika itu mereka sedang sibuk mengerjakan tugasnya masing-masing di sekretariat UKM Lembaga Dakwah Kampus, project Seminar Hari Kartini yang tinggal beberapa hari lagi membuat beberapa anggota LDK sibuk. Tak terkecuali mereka.
            “Kenapa tanyanya gitu? Tumben,” kata Haura. Ia seolah tak memusingkan pertanyaan Dila. Hanya saja sedikit aneh mendengar Dila—yang anti membicarakan perihal menikah— tiba-tiba tertarik menanyakannya pada Haura.
            Dila tersenyum, nyaris kebingungan mencari alasan. “Yah, enggak,” katanya. “Aku cuma penasaran aja sama jawabanmu.” Dila yang tadinya berharap mendapat sedikit penjelasan dari Haura kini harus mengurungkan niatnya. Sepertinya, Haura tidak tertarik dengan topik ini. “Kan sepertinya kamu itu sudah jauh lebih siap daripada aku. Barangkali ketika ada seorang yang tak dikenal tiba-tiba melamar, bisa mempersiapkan jawabannya. Yah... minimal punya referensi supaya tidak terlihat kebingungan,” sambung Dila.
            Tangan Haura yang tadinya sibuk memberi stempel pada proposal kini berhenti. Matanya beralih fokus ke Dila. “Ada yang bilang ke kamu gitu, ya?”
            “Eh—eng... gak, kok.” Dila terlihat salah tingkah. Sepertinya Dila memang tipe perempuan yang mudah dibaca gerak-geriknya.
            “Bohong dosa, lho....” Haura tersenyum. Merasa lucu dengan ekspresi Dila yang wajahnya kini memerah; tanda bahwa tebakan Haura benar.
            “Siapa?” tanya Haura jahil. “Cerita, dong!”
            Dila tersenyum malu. Lebih tepatnya kini ia jadi salah tingkah. Pasalnya, ini kali pertama ia berurusan dengan laki-laki. Apalagi perihal menikah. Belum pernah ia memikirkan hal ini sebelumnya. Memang, topik pernikahan menjadi topik yang ia hindari. Ia merasa, masa depannya masih jauh. Ia ingin menamatkan kuliahnya terlebih dahulu. Namun ternyata Allah memang maha cepat dalam membolak-balikkan hati. Kini, ia merasa bahwa kejadian ini adalah cambuknya untuk tidak menunda dalam mempersiapkan diri.
            “Dila nggak mau cerita? Ya udah. Aku jadi nggak bisa ngasih jawaban atas pertanyaan kamu.” Haura pura-pura kembali melanjutkan tugasnya.
            “Iya, aku cerita. Tapi jangan bilang-bilang, ya?” Haura pun mengangguk, tersenyum.
            “Sebenernya aku udah kenal sama orang ini, Ra,” kata Dila mulai bercerita. “Dia temen aku pas SMA. Ya... tapi sebelumnya kami memang tidak dekat. Bahkan saling sapa aja jarang. Tapi... beberapa bulan ini kami sering ketemu.”
            “Di mana?”
            “Di beberapa tempat. Kadang di jalan, kadang toko supermarket, pernah juga di pertemuan reuni sekolah. Terakhir ketemu di pameran buku. Lalu... dia bilang kayak gitu, Ra. Aku harus gimana nih? Kemarin saking bingungnya aku malah kayak orang dungu. Diem doang.”
            Haura nyaris tertawa mendengar pernyataan Dila. Memang wajar kalau Dila bereaksi sedemikian bingungnya. Haura sendiri sebenarnya tidak bisa membayangkan kalau berada di posisi Dila saat itu.
            “Jadi kamu cuma diem aja? Lalu sekarang gimana? Udah ketemu dia lagi?”
            Dila menggeleng. “Belum. Dan sampai sekarang aku masih kepikiran, Ra.”
            Haura diam; berpikir. Sepertinya, kali ini Dila memiliki masalah yang cukup serius.
            “Kamu tadi bilang dia temen SMA kamu, kan?” tanya Haura. Dila pun mengangguk. “Kalau gini aja gimana?” Dila menyimak. “Kamu tunggu sampai besok. Kalau sampai besok kalian belum ketemu lagi, kamu ikhtiar tanya temen kamu yang kenal sama dia. Tanya lebih rinci tentang laki-laki itu. Kalau ada informasi positif yang mengindikasikan bahwa dia serius sama kamu, kemungkinan besar saat ini dia sedang berusaha nyari alamat kamu. Tapi kalau enggak....” Haura berhati-hati, “mungkin dia hanya sekedar bertanya.”
            Dila mengangguk. Sebenarnya hal terakhir yang dikatakan Haura lah yang paling ia takuti. Jujur saja, ia belum siap patah hati.

***
            Apa yang disarankan oleh Haura sudah Dila laksanakan. Namun sampai sekarang, belum ada informasi lanjut dari teman-temannya mengenai laki-laki itu. Dila cemas, hatinya tidak tenang memikirkan laki-laki itu. Atas saran Haura kembali, Dila akhirnya memutuskan untuk memikirkan hal-hal yang positif saja. Ia mulai berikhtiar dengan cara lain. Sholat istikharah, rajin mengunjungi majelis ilmu dan mulai menyibukkan diri di LDK.
            Meski begitu, ada sedikit harapan akan informasi tentang laki-laki itu. Bagaimanapun, ia adalah tipe perempuan yang tidak mudah melupakan masalahnya. Baginya, permasalahan apapun harus ada kejelasan ending-nya. Tidak boleh menggantung pada satu titik saja.
Sampai suatu hari, ia bertemu dengan laki-laki itu lagi. Di tempat tak terduga.
            “Assalamu’alaikum, Dila,” sapa seorang laki-laki.
            “Wa’alaikumsalam....” Dila terkejut. Tiba-tiba saja jantungnya berdegub kencang. Ia nyaris kehilangan keseimbangan saking gugupnya.
            “Akhirnya kita ketemu lagi,” katanya lagi. “Saya sudah menunggu momen ini.”
            Dila menunduk malu, ia berusaha tidak menunjukkan seluruh ekspresi yang diakibatkan oleh hatinya.
            “Saya ingin mengatakan sesuatu yang cukup penting. Mungkin kamu juga sudah menunggu ini sejak lama.” Laki-laki itu tersenyum. Meski begitu, ia berusaha tetap menjaga jarak di antara keduanya.
            Di tengah suasana yang cukup ramai, ia berusaha untuk mengatakannya secara cepat sehingga tidak terjadi salah persepsi orang lain terhadap pertemuan mereka. Laki-laki itu tahu betul batasan-batasan yang harus ia jaga.
            “Untuk pertanyaanku beberapa waktu lalu, saya serius. Saya sudah pernah mengunjungi rumahmu tiga hari setelah kita bertemu terakhir kali.”
            Dila mengernyitkan keningnya.
            “Iya... tapi kamu tidak ada di rumah. Kata Ayahmu, kamu sedang menginap di rumah sahabatmu untuk mengerjakan tugas. Jadi waktu itu saya langsung menyampaikan maksudku kepada Ayahmu tanpa kamu di sana,” sambungnya.
            “Ayahmu... menyetujuinya.” Laki-laki itu tersenyum. “Lamaranku diterima.”
            “Tapi Ayah tidak mengatakan apapun kepadaku.” Dila menanggapi. “Bahkan sampai sekarang.”
            Laki-laki itu tersenyum. “Afwan, itu keinginan saya. Karena saya sedang sibuk mempersiapkan pernikah saya.”
            Dila kembali mengernyitkan keningnya. Sekarang, Dila merasa gagal memahami maksud laki-laki ini. Dia mengatakan bahwa dia melamar Dila, namun dia sedang sibuk mempersiapkan pernikahan? Bukankah, harus ada persetujuan atau musyawarah terkait hal ini dengan dirinya? Sebenarnya... yang menikah siapa?
            “Pesta pernikahan yang sedang kamu hadiri ini adalah pesta pernikahan saya, Dila.”
            Tubuh Dila seketika melemas. Rasa kebingungan tadi tergantikan oleh perasaan sakit yang tiba-tiba. Matanya memanas. Sejujurnya, saat itu juga ia ingin menangis, entah mengapa.
***
           
            Beberapa hari Dila masih memikirkan perkataan laki-laki itu. Namun entah mengapa yang menjadi fokus utamanya adalah tentang pernikahan laki-laki itu. Ia masih belum bisa menghubungkan kepingan-kepingan cerita yang –bagi Dila— masih belum jelas.
            Pertanyaan-pertanyaan besar kini berputar di otaknya. Ia menduga-duga, sebenarnya yang dilamar siapa? Kenapa laki-laki itu justru menikah dengan orang lain? Sejujurnya rasionalnya tidak menerima. Ia sudah terlanjur menaruh harapan kepada laki-laki itu. Ia terlanjur jatuh cinta.
            Dila mencoba mengurangi pikiran-pikiran itu dengan membaca buku di kamar. Tiba-tiba seseorang menyembul dari balik pintu, ia tersenyum ketika Dila justru menunjukkan ekspresi kebingungan.
            “Boleh masuk?”
            Dila mengangguk.
            “Kok ekspresinya aneh gitu?” tanya Haura yang saat itu mengenakan khimar berwarna cokelat.
            “Kamu mikirin apa lagi?”
            Dila menggeleng, enggan bercerita.
            Mengembuskan napas, Haura memilih tidak membahasnya lagi. Ia tahu bahwa sahabatnya kini sedang patah hati. Dila beberapa waktu lalu sudah bercerita tentang pertemuannya dengan laki-laki yang melamarnya tempo hari.
            “Tadi kebetulan Ayah kamu nyuruh aku ngasih amplop ini.” Haura menyodorkan amplop cokelat berukuran besar.
            “Amplop apa?” tanya Dila penasaran.
            Haura mengedikkan bahunya tidak tahu. “Buka aja, gimana?”
            Penasaran, Dila membuka amplop itu.

Assalamu’alaikum warahmatullah,
Apa kabar Maryamal Mujadilah?
Izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Shifr.
Beberapa bulan lalu, saya dan kakak saya—Ghifar datang ke rumahmu untuk mengajukan permohonan khitbah. Suatu kebanggaan sekaligus kebahagiaan bagi saya ketika Ayahmu justru menerima kedatangan kami dengan baik, bahkan permohonan khitbah saya diterima; Alhamdulillah.
Namun beliau menyarankan agar kita melakukan ta’aruf terlebih dahulu sebelum kita melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Afwan, saya mengirimkan datanya dengan jeda waktu cukup lama sehingga terkesan kurang serius dan membuatmu kebingungan. Waktu itu saya harus bersabar karena minggu lalu kakak saya baru saja melangsungkan pernikahan.
Semoga kamu berkenan membaca proposal dari saya.
Wassalamu’alaikum warahmatullah

Tertanda,
Muhammad Shifr.

            “Cieee, surat cinta!” Haura yang ternyata ikut membaca menyenggol bahu Dila. Tanpa sadar, sejak tadi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan sedikit gemetar, tangan kanannya membuka amplop tempat surat tadi berasal. Di dalamnya sudah ada map merah dengan sampul bertuliskan Proposal Ta’aruf; Muhammad Shifr.