Rabu, 09 Desember 2015 - 0 komentar

Kata Kita

"Kita putus, Reno!" Bian berkata dengan sorot mata yang cukup tajam. Tegas, jelas dan tanpa embel-embel ingin dibantah.

"Kenapa?" tanya Reno dengan air muka yang bertempias-- akibat mendengar kata mengerikan dari Bian; kekasihnya.

"Kita putus, Reno!" tandas Bian sekali lagi. Ia tak suka dicela atau dibantah. Perkataannya adalah hukum.

Reno tak tahu harus berkata apa lagi untuk menjawab perkataan Bian. Tubuhnya sudah limbung terlebih dahulu sejak Bian bicara kata mematikan itu. Pu-tus.

"Baik. Kita ... Putus," kata Reno yang masih menelungkupkan kepalanya. Ia belum berani menatap mata Bian. Takut terjerat cinta. Bisa-bisa, ia tak kuat mengatakan kata pisah. Ia terlalu cinta. Atau mungkin boleh dikatakan terlanjur sayang. 

Kau tahu kan bagaimana rasanya jika kau terpaksa mengatakan pisah pada seseorang yang teramat kau sayangi? Atau kehilangan sesuatu yang sudah menjadi candu buatmu? Kalau belum, bisa jadi kau sedang akan mengalaminya. Tidak lama lagi. Jadi yang harus kau lakukan hanya percaya kalau rasanya sangat menyakitkan. Nyaris sama dengan ketika kau tak sengaja melukai jemarimu dengan pisau yang amat tajam. Bedanya mungkin pada kedalamannya. Perih.

"Kamu tahu kan kenapa aku minta putus?" Mata Bian menusuk ke arah Reno yang terlihat tak bertenaga. Bahkan ketika Bian mengajak adu tatapan pun, ia tak mau. Barangkali, tak sanggup.

"Kamu itu ngebosenin tahu nggak! Kamu sukanya diem. Aku capek." Bian yang sudah kesal bertambah kesal ketika hingga kini Reno tak menatap dia.

"Kamu itu pengecut. Coba kamu hitung, berapa kali kamu bilang sayang sama aku? Coba kasih tau aku?!" Bian meninggikan volume suaranya.

"Hampir tiga belas bulan kita bareng-bareng. Tapi aku cuma denger kamu bilang cinta dan sayang sama aku nggak lebih dari sepuluh jariku. Kamu tahu kan aku suka perhitungan?" Bian bertanya.

"Kamu tuh nggak seru! Tiap kali cerita aku terus yang mulai. Bahkan ketika menghubungimu pun aku yang mulai! Kamu nggak pernah denger ya kalau cewek punya gengsi yang lebih tinggi buat nyapa duluan?! Dimana-mana cewek itu minta di chat dulu, bukan ngechat dulu.

"Kamu itu terlalu bisu. Aku capek, Reno! Kapan kamu bisa bikin aku ketawa?" Bian bukan menuntut, ia hanya ingin mengoreksi Reno.

"Kamu tau nggak sih, cewek itu lebih suka ditanya daripada ditanya. Nggak ada sejarahnya cowok diem itu menyenangkan. Kalau pun ada yang bertahan, pada akhirnya cewek bakalan mikir, cowok pendiem apa menyenangkannya? Apa yang bisa dijadian alasan buat bertahan? Yang ada si cewek mati kebosanan!"

"Aku lebih suka cowok yang bisa diajak rame, Reno. Kalau kamu bertanya kenapa tidak dari dulu aku minta putus, itu karena aku berpikir mungkin waktu bakalan ngajarin kamu buat terbiasa sama kita. Tapi kayaknya aku salah. Ini bukan soal waktu, tapi soal pribadi masing-masing. Meski waktu, kutahu adalah tolak ukur kita belajar. Tapi kamu enggak, Reno." Bian menghela napas. Ia sudah merasa sedikit lega mengatakan unek-uneknya.

Beberapa detik mereka saling diam. Detik ke dua ratus lima puluh, Bian kembali bersuara. "Kamu nggak mau bilang sesuatu sebelum aku lenyap?" tanya Bian kepada Reno yang masih menundukan kepalanya.

"..."

"Nggak apa-apa. Lagian kita udah putus. Aku udah ngeluarin amarah yang kupendam selama ini. Mungkin kamu bakal jengkel denganku. Tapi inilah keluh kesahku."

Bian menghela napas sekali lagi. Tangannya secara sembarang mengambil tas tangan berwarna cokelat yang ada di sampingnya. Saatnya ia pergi; lenyap segera dari hadapan Reno.

"Maaf," kata Reno membuat Bian terkejut.

"Maaf, aku terlalu pendiam. Bahkan untuk mengatakan seluruh perasaanku kepadamu." 

Bian tercenung. Ia kembali duduk setelah mendengar tutur kata Reno.

"Aku hanya tidak tahu caranya. Aku bodoh, Bi."

"..."

"Kamu boleh pergi. Tapi aku masih mau tetap di sini."

Bian mendongakkan kepalanya menatap Reno.


"Aku cuma mau bilang, aku sayang kamu. Melebihi sayang seluruh makhluk di bumi. Tapi aku nggak tahu caranya bilang. Karena semua kata, tidak bisa mewakilinya."
Sabtu, 14 November 2015 - 0 komentar

[Jatuh] Cinta

A/N udah lama nggak posting cerpen di blog. Aku kangen :')
Ohya, cerpen ini adalah repost dari wattpad. Event Abnormal Fofattare, Grup kepenulisan LINE pertamaku.

Selamat membaca :)
---


Namanya Deora Ramadhani, seorang gadis yang menyita seluruh perhatian Pandu saat kali pertama mereka di pertemukan di sebuah kedai ice cream oleh temannya. Pertemuan keduanya biasa saja. Hanya sekedar mengobrol, membicarakan hal-hal sepele mengenai kampus dan cerita pribadi yang umum.
"Deora itu seorang web desaigner lho," celetuk Gama sedikit melirik ke arah Pandu.
"Iya, bahkan desainnya sempat dilirik perusahaan asing," lanjut Wilma sembari menjawil lengan Deora.
"Jangan percaya, mereka lebay. Berlebihan." Deora merendah. Tertawa sembari melambaikan tangannya. Menyuruh Pandu untuk tidak terlalu mengindahkan pujian itu.

Namun Pandu telah terkesima, bahkan sebelum kedua teman mereka mengatakannya. Dalam balutan kemeja putih dan jeans abu Deora sudah mengundang ketertarikan Pandu. Tidak biasanya, bahkan Pandu sendiri bingung. Padahal, Deora hanya gadis biasa yang tidak suka pakai
make up.

"Keren dong," kata Pandu.
Deora tertawa, dan Pandu menyadari sesuatu. Ia sekarang paham kenapa Deora begitu berbeda. Ekspresi. Iya, perubahan ekspresi Deora sangat menarik.
"Lebih hebat mana sama cowok yang dalam dua kali periode berturut-turut berhasil menduduki jabatan Gubernur BEM Fakultas?" Alis Deora naik turun menggoda Pandu.

Pandu tertawa, ia tidak menyangka kalau Deora tau tentang Pandu.
"Siapa nih yang bilang? Gama? Pasti Gama kan?"
          
Pandu meninju pelan bahu Gama yang kini sedang cekikikan. Begitu juga dengan Wilma, yang merasa terhibur dengan percakapan ini. Sejak awal Gama tahu kalau Pandu akan menyukai Deora. Sambil menyelam minum air, Gama mendekati Wilma sedangkan ia ingin Pandu dekat dengan Deora. Dan sepertinya, misinya kali ini berhasil.

"Gama emang bilang kalo kamu itu Gubernur BEM. Tapi percaya deh, Gama nggak pernah bilang tentang masa jabatan kamu," kata Deora sembari tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya.
"Terus kamu tau dari siapa?" tanya Pandu penasaran.
Deora tersenyum, memberi jeda supaya Pandu penasaran, "Hm, ada deh."

***

Pandu berkacamata, beralis tebal, dan dikenal sebagai Gubernur paling kaku yang pernah menjabat. Anehnya, semua anggota BEM tidak keberatan Pandu menjabat dua kali periode. Pandu pintar, selain itu wajahnya juga enak dipandang. Hanya perlu sedikit senyum maka semua gadis di kampus pasti sadar betapa menyenangkannya wajah Pandu itu.

Dua minggu berikutnya, Gama kembali mengajak Pandu. Menemui Wilma dan Deora di kedai ice cream. Saat ini status Gama dan Wilma telah resmi, dua hari lalu Gama diterima menjadi pacar Wilma.

"Hari ini khusus traktiran Wilma dan Gama. Kita nggak mau tau, iya kan, Du?"
Deora menyenggol lengan Pandu berkali-kali, kebetulan Deora memang sedang duduk disampingnya. Pandu yang sedang sibuk melamun mengerjap, terkejut dengan aksi yang diberikan oleh Deora terhadap Pandu.
Deora tertawa melihat Pandu.

"Gila ya Ma, temen kamu yang satu ini ngegemesin banget. Ekspresinya itu lho, gampang terkejut. Apalagi pipinya, sering blushing."
          
Gama dan Wilma tertawa. Sedangkan Pandu tersenyum malu. Jantungnya kali ini berdetak tidak waras.
          
"Kalo boleh, aku bawa pulang deh."

Blush. Kali ini Pandu tak dapat menyembunyikan ledakan bahagia didadanya. Ia senang, bahkan terlalu senang.

"Tuh kan, liat deh." Deora menatap Pandu. Kemudian dengan jahil jemarinya mencubit pipi Pandu. Membuat kedua mata cokelat Pandu melotot.

***

Tidak bisa dipungkiri kalau ternyata Pandu menyukai Deora. Bisa dilihat dari bagaimana bahasa tubuh Pandu yang gelisah menunggu Deora.  Mereka janjian pukul tiga sore, bertemu untuk mengobrol berdua, tanpa Wilma dan Gama. Tapi Pandu yang terlalu semangat sudah duduk manis di salah satu kursi kedai setengah jam lalu.
          
Tepat empat puluh menit menunggu, Deora datang. Ia tersenyum amat lebar begitu mendapati Pandu melambaikan tangan ke arahnya.
Lagi-lagi, Pandu dibuat terpesona oleh Deora.

"Kamu cantik," kata Pandu reflek. Begitu ia sadar apa yang baru saja ia ucapkan, ia langsung mengatupkan mulutnya. Malu.
"Thanks," kata Deora tersenyum senang.
"Nggak nyangka, ternyata Pandu bisa juga ya ngerayu cewek."
Pandu tertawa, ledakan bahagia itu muncul lagi.
"Duduk deh, aku pesenin ice cream kesukaan kamu, ice cream tiramisu."
"Makasih, Bapak Gubernur BEM."
Merekapun tertawa.

***

Beberapa jam mengobrol seru dengan Deora, Pandu bisa langsung memastikan kalau dirinya memang jatuh cinta pada mahasiswa hebat ini. Mahasiswa semester lima yang sudah bekerja sebagai seorang profesional web designer untuk salah satu resort terkenal di Gili Trawangan, Lombok.
          
"Pandu, nyanyi buat aku dong." Pinta Deora begitu ia melihat kearah panggung, dimana MC di kedai itu mempersilahkan pengunjung untuk menyumbang lagu.
"Hah? Aku nggak bisa nyanyi."

Deora mendecak. "Semua orang bisa menyanyi, Pandu. Hanya saja tidak semua orang bisa menjadi penyanyi. Ayo dong."

Pandu menghela napas, melihat ekspresi Deora yang begitu antusias membuatnya sedikit merasa harus mengalah. Ia kemudian mengangkat tangannya, begitu si MC melihat, Pandu maju ke arah panggung. Ia duduk di kursi tinggi, memegang gitar berwarna cokelat. Ia grogi, terlihat sekali saat dia berulang kali membenarkan posisi kacamatanya, yang sebenarnya tidak pernah berubah.

"Ini buat seseorang yang maksa minta dinyanyiin. Jangan kecewa kalo suaraku menggema, dan sangat jauh dari kata bagus."

Deora yang tengah duduk tertawa, sembari matanya fokus ke arah Pandu, ia menyendokkan ice cream tiramisunya kemulut. Diam-diam, hatinya ikut senang. Setelah sekian tahun mengamati, ternyata ekspresi Pandu mengalami kemajuan pesat. Bahkan saat berada di panggung dengan gitar di tangannya, ia seolah lupa kalau ia adalah seorang Gubernur BEM—Orang yang kalau ketemu panggung harusnya pidato, bukan menyanyi.
Pandu mulai memetik gitar. Sudah jelas terlihat bahwa Pandu bukanlah seorang yang buta akan musik. Meski terkenal kaku dan tidak suka tersenyum, Pandu adalah laki-laki multitalenta. Hanya saja, ia tak terlalu suka menunjukannya.

♫♫
It’s taking us downtown
You’re watching me, watching me, watching me go
But I never listen
No I never let you move
Now we’re headed uptown
Is their someting nothing you wanted to say?
Cause I need to go now
Do you want me to stay?
I said a stay-e-ay-e-ay-e-ay-ay-ay.
Is you tried, let it go, let it go
What you need to find
Is someone who will never let you go
Noooo, and sunshine and city lights
Will guide you home
And noooo, yeah you gotta know
That I’ll never let you go

Pandu selesai menyanyi, dan riuh tepuk tangan pengunjung menghujani penampilan Pandu. Ia tersenyum, kemudian berjalan kearah mejanya kembali.

***

"Pandu, kenalin ini Gio."

Pandu mengernyitkan keningnya begitu mendapati seorang laki-laki yang tengah mengobrol seru dengan Deora.

"Pandu," katanya singkat.
"Aku udah kenal kamu, Pandu. Gubernur BEM Fakultas Teknik kan?"

Pandu kembali mengernyitkan keningnya, "Aku anggota klub teater. Gionino. Yang waktu acara pentas budaya kampus minjem properti ke Sekre."

Pandu mengangguk-angguk. Ia sebenarnya tidak ingat.

Gio tertawa. "Yaudahlah... Nggak usah dipikirin. Nggak penting," katanya. "Sori, aku dateng kesannya tiba-tiba. Aku baru pulang dari Lombok, nih nemuin papanya si tembem."

"Enak aja manggil tembem. Tirus gini." Deora memegang pipinya, ia yakin kalau pipinya memang tidak tembem. Gio saja yang suka iseng.

Pandu nampak kebingungan, pertama karena tiba-tiba ada seorang cowok yang menghampiri Deora. Kedua, tentang hubungan kedua orang dihadapannya. Untuk apa Gio jauh-jauh ke Lombok menemui ayahnya Deora?

"Jadi aku itu ngelamar Deora udah lama."

DEG

"Tapi dia bilang mau nyelesein kuliah dulu. Dan biar dia mikir cepet, ya aku langsung aja lamar ke bapaknya. Masalah nikah, gampang. Yang penting aku udah lamar dia." Gio tersenyum. Menunjukan deretan giginya.
"Biar dia nggak kecantol sama cowok.... Aw, De, kamu tuh kebiasaan deh." Gio mengelus lengannya begitu Deora dengan kekuatan besarnya mencubit daging tipis milik Gio.
"Ember," kata Deora.

Seketika itu juga Pandu lemas. Rasanya jantungnya berhenti berdetak.

"Makanya, aku buru-buru nyari dia begitu aku sampe di sini. Ternyata, Deora lagi berusaha selingkuh ya..."

Deora kembali mencubit lengan Gio. Gio mengaduh, kemudian dengan jahil menggelitiki perut Deora. Mereka berdua kemudian sibuk saling menggelitiki, tidak menghiraukan ada Pandu yang kini berusaha menenangkan jantungnya yang tak karuan.

***

Saat ini Pandu lebih bisa berekspresi. Ia bukan lagi seorang Gubernur BEM yang miskin ekspresi, kaku, dan tidak mudah senyum. Lebih-lebih ketika ia mendengar berita mengejutkan tentang Deora yang akan tunangan, dua hari lagi.

"Pandu." Tepukan bahu itu membuat Pandu yang tengah sibuk dengan gitarnya menoleh. Iya, Pandu sekarang lebih suka mencurahkan ekspresinya lewat musik. Setelah beberapa bulan mencoba menghindari Deora, ia berusaha tegar, menutupi kegalauannya lewat musik. Ternyata, setelah beberapa kali diasah, kemampuan minimnya mengenai musik bertambah. Bahkan, beberapa kali ia pernah menjadi pengisi acara di kampus. Bukan untuk pidato sebagai Gubernur BEM, tapi sebagai penyanyi. Seperti saat ini, diacara Seminar Karya Sastra yang diadakan oleh Fakultas Sastra. Cuma sebagai jeda, penghibur bosan.

"Giliran kamu tuh." Gama salah satu panitianya.

Pandu mengangguk, kemudian berjalan perlahan sembari memegang gitarnya. Sebelum benar-benar ada diatas panggung, yaitu tepat diperbatasan backstage, ia berhenti. Seseorang memanggilnya.

"Boleh bicara sebentar?"
Pandu menoleh, "Deora?"
          
Deora tersenyum. "Aku mau bilang sesuatu, dan tolong dengerin aku. Karena aku nggak akan mengatakannya dua kali."

***

Dengan perasaan serba entah Pandu mulai memetik gitarnya, ia menatap sembarang. Pikirannya kacau.

"Du, kamu harus cepet-cepet mulai." Bisik seorang panitia ketelinga Pandu. Membuat Pandu tersadar bahwa ia sedang berada di sebuah panggung. Ditonton oleh banyak pasang mata.
"Ekhm…" Pandu mulai menyapukan matanya dengan sadar. "Sori, kepalaku lagi pusing." Ia tersenyum.
"Sebenernya tadi aku mau nyanyi lagu bit up, tapi berubah jadi mellow, karena sesuatu telah berubah. Keadaan, hati dan takdir.”

Tanpa ragu, Pandu kembali memetik gitarnya. Kali ini ia bernyanyi dengan segenap perasaannya, ia memejamkan mata. Kembali mengingat beberapa menit lalu ketika Deora mengakui sesuatu padanya.

♫♫
My heart beats a little bit slower
These nights are a little bit colder
Now that you’re gone
My skies seem a little bit darker
Sweet dreams seem a little bit harder
I hate when you’re gone

"Aku cinta kamu, Pandu. Itu yang aku mau bicarakan."

♫♫
Everyday time is passing
Growing tired of all this traffic
Take me away to where you are.

"Kalau kamu nggak percaya nggak apa-apa. Tapi kamu harus tau, alasan kenapa aku tau tentang kamu itu bisa dijadikan bukti. Meskipun bukan bukti mutlak."

♫♫
I wanna be holding your hand
In the sand
By the the tire swing
Where we use to be
Baby you and me
I travel a thousand miles
Just so I can see you smile

Sembari menangis, Deora berkata, "Tapi kita cukup sampai di sini. Ini egois, kita belum memulai tapi aku sudah mengakhiri. Itu... Karena aku akan menikah. Setelah wisuda nanti."

♫♫
Feels so far away when you cry
‘Cause home is in your eyes
Your heart beats a little bit faster
There’s tears where there use to be laughter…
Now that I’m gone…

“Meski begitu, aku nggak bisa menyembunyikan, bahwa aku menyukaimu. Dan maaf, sudah membuatmu kecewa. Maaaf sudah membuatmu merasa bahwa aku gadis yang tak tau diri, aku hanya ingin mengatakan isi hatiku.”
Dan saat itu juga Pandu tiba-tiba berhenti, apa hanya aku saja yang merasa bahwa mencintai bisa sesakit ini?
Kamis, 13 Agustus 2015 - 0 komentar

Bhara dan Barra

[Repost dari akun wattpad saya. Dengan judul dan cerita yang sama. Silahkan mampir untuk melihat tulisan yang lain. wattpad.com/eniristiani]

***


Bhara : kamu cantik, saya suka.
Barra: kamu ganteng, saya suka.
Bhara: kapan kita nikah?
Barra: kamu kesini, bawa penghulu. Cepet. Aku tunggu.

Bhara tersenyum lebar membaca pesan dari kekasihnya, Barra.

Bhara: mau cium dong. Boleh?
Barra: bagian mana?

Lagi-lagi Bhara tersenyum. Rasanya nggak ada yang lebih menyenangkan kalau sudah berurusan dengan Barra. Dia pintar mencuri hati Bhara.

***



Pertemuan.


Hari itu tepat hari jumat kliwon. Malam-malam. Hujan pula.

Jangan berpikir ini adalah cerita horor. Ini justru cerita paling romantis. Hanya setting waktunya saja yang tak tepat; malam jumat kliwon.

Andai saja boleh memilih, Bhara ingin bertemu Barra malam minggu. Pukul 1 bulan januari. Tahun baru.

Namun mereka bertemu di hari yang banyak orang takuti. Malam jumat kliwon. Tanggal 7 bulan Januari. Tujuh hari setelah tahun baru.

Hujan begitu, Bhara sedang patah hati. Dia ingin pergi sejauh-jauhnya dari kekasihnya, Mala yang telah berselingkuh. Lebih parahnya sampai hamil.

Bhara memutuskan untuk meninggalkan kotanya. Pergi ke kota sebelah dengan bus.
Saat itu, stasiun tak terlalu ramai. Hanya gemercik hujan yang riuh dan berisik. Bhara yang sedih sedang menggendong tasnya. Duduk dikursi panjang sambil sesekali mengusap pipinya yang basah.

"Mas, ada rokok?" tanya seorang disebelahnya. Bhara tak menoleh. Ia tidak peduli siapapun. Yang sekarang ia pikirkan hanya hatinya yang remuk. "Mas, kok diem saja sih. Saya tanya lho."

Eh, itu suara perempuan. Yang akhirnya membuat Bhara menoleh.
Bhara menatap perempuan disampingnya. "Mas punya rokok? Rokok saya habis. Boleh minta?" katanya sekali lagi.

Bhara yang sedih jadi sedikit lemot. Yang ia pikirkan saat ini adalah hatinya yang remuk. Ia sekali lagi hanya menatap perempuan itu. Diam.

"Ih, kok saya dicuekin sih. Kamu budek ya?" perempuan itu mulai protes. Kesal. Siapa yang tak kesal jika ada seorang laki-laki yang ditanyai hanya diam. Masih mending jawab, "Jangan ganggu saya." atau sekalian nggak nengok. Ini, sudah nengok nggak jawab. Jadi ngerasa di PHP-in kan! Huft.

"Kalo nggak punya nggak apa-apa. Saya bisa kok beli sendiri." katanya jengkel. Kemudian perempuan itu beranjak pergi. Meninggalkan Bhara sendiri.

***


Satu jam, Bhara menunggu. Hujan tak kunjung reda. Busnya juga tak datang-datang. Ia duduk sudah hampir kesemutan. Tapi dia tetap bersabar.

Tak apalah, saya biasa menunggu. Kalau akhirnya dikecewakan, mau bilang apa? Setidaknya saya sudah bersabar.

Akhirnya bus datang di jam ketiga Bhara menunggu. Ia bangkit. Meski hujan masih saja genit ingin membasahi tubuh manusia-manusia patah hati seperti Bhara, ia tak peduli. Yang ia pedulikan hanyalah hatinya yang telah remuk. Agar secepat mungkin enyah dari kota ini. Kota yang sering memberi luka pada hatinya.

Hatinya sebenarnya berat. Mengingat, ia juga harus meninggalkan adik bungsu satu-satunya, Lea. Namun bagaimana, hatinya tak mau remuk kesekian kali. Cukup. Ia sudah merasa cukup. Pikirannya ingin segera bisa membalut hatinya yang remuk. Meski tak akan utuh lagi. Setidaknya ia sudah berusaha.

Wussh. Angin disertai hujan menembus kulit Bhara yang hanya tertutup jaket tipis. Ia kedinginan.

Bhara baru saja akan melangkahkan kakinya ke pintu bus. "Mas, perempuan dulu." seorang perempuan yang menggendong tas besar menghalangi pintu masuk. Ia melirik. Lagi-lagi perempuan itu.

"Tidak bisa, saya yang duluan sampai."

Perempuan itu mendelik sebal. "Kamu ngeselin yah, dimana-mana laki-laki yang harus ngalah sama perempuan. Nggak pernah denger kalimat ladys first yah?!"

Bhara mendesah kesal. Ia merutuki orang yang mebuat kalimat kalau laki-laki harus selalu mengalah kepada perempuan. Ini jelas tak adil. Kalau terus-terusan mengalah, bisa-bisa harga diri laki-laki terus-terusan di injak-injak. Ia jelas marah. Dia lelah harus terus mengalah.

"Tidak bisa. Saya yang duluan kok." tanpa peduli kepada perempuan itu, ia melenggang masuk. Sesegera mungkin sebelum hujan yang deras dengan genit membasahi bajunya.

"Laki-laki gila!" dengus perempuan itu.

***


Bus terus melaju. Dalam bus yang sunyi, Bhara lagi-lagi sibuk dengan pikirannya. Ia sibuk memandang deru hujan yang menetes dibalik jendela.

Tiba-tiba, asap mengepul mulai mengusik hidungnya. Asap rokok. Asap yang ia benci seumur hidup. Ia menoleh kearah sumber asap itu.

"Maaf, bisa tidak jangan merokok. Saya tidak suka asap rokok." katanya lembut.

Lalu, orang yang merokok itu menoleh. "Ini bukan bus milikmu. Semua orang berhak merokok. Tidak ada larangannya kok."

Bhara kesal. Setelah meneliti. Ternyata lagi-lagi ia dipertemukan takdir oleh perempuan yang sama yang ia temui di stasiun dan dipintu bus tadi. Perempuan yang menurut Bhara, sinting.

"Kamu membunuh saya, itu yang dilarang hukum di negara ini."

Orang itu mendecak sebal. "Sudah tiga kali hari ini kamu bikin saya kesal." ah, perempuan ini memang sinting. "Bisa tidak sekali saja manusia dibumi ini berbaik hati menghibur saya? Setidaknya jangan ganggu kesenangan saya."

Bhara diam berpikir. Bukannya, perempuan sinting ini juga sedang mengusik kesenangan orang? Bhara, yang sedang asik menikmati kesakitan hatinya?

Kemudian Bhara memilih diam. Daripada harus meladeni orang sinting. Bisa-bisa ia jadi ketularan sinting.

Bus kembali sunyi.

Hanya bunyi hujan diluar dan mesin.

***

"Kenapa sih, laki-laki suka sekali menyakiti hati perempuan?" perempuan disampingnya berbicara. Lebih tepatnya mengajak Bhara berbicara. Ia bahkan sudah menghadapkan badannya ke arah Bhara. Membuat laki-laki itu kebingungan.

"Kenapa juga, harus perempuan yang selalu jadi korban? Coba bayangkan, laki-laki seenaknya mendua, mentiga, bahkan meng-empatkan perempuan. Tanpa menyadari bahwa perempuan itu sakit hati. Mereka tak peka. Pantas saja, mereka hanya punya satu perasaan. Benar kan?" perempuan itu mengingat kisahnya dengan laki-laki yang ia kenal setahun belakangan. Yang ia cintai. Namun, ternyata ia dibohongi, saat dilamar laki-laki itu, ternyata laki-laki itu sudah beristri. Tidak hanya satu, tapi tiga.

Bhara sebenarnya enggan untuk komentar. Ia sedang ingin merenung. Tapi perempuan ini jelas tidak peka.

Bhara tak sependapat, ia sedikit kesal dengan argumen perempuan itu. "Bahkan perempuan lebih tega. Ia bisa saja berkata manis. Sok menangis, padahal tangisannya tidak selalu berarti tanda kelelahannya. Tapi tanda penghianatannya. Tanda perbudakannya. Supaya laki-laki luluh. Dan pada akhirnya harus mengalah." jelas-jelas, Bhara baru saja melalui perasaan itu.

Perempuan itu mendelik. Ia kemudian mematikan rokoknya dengan sepatunya. "Siapa yang bilang?"

"Benar kan?" kata Bhara. "Jangan pernah menyalahkan populasi hanya karena kesalahan satu spesies. Karena kamu sama saja sedang meracuni diri sendiri."

DEG.

"Seharusnya, kamu menyalahkan diri kamu. Siapa suruh jatuh cinta."

DEG.

Bus kembali sunyi. Entah kenapa Bhara merasa hatinya sedikit ringan. Mengeluarkan unek-uneknya kepada orang asing yang sinting, ternyata sedikit banyak membantunya.

Satu detik.

Dua detik

Hingga beribu-ribu detik berlalu. "Kamu sedang patah hati, ya?" tanya perempuan itu. Bhara menoleh.

"Kamu juga, perempuan sinting." Bhara segera menutup mulutnya begitu ia sadar apa yang sudah ia ucapkan.

Satu detik

Dua detik. Hingga beberapa detik berlalu tak ada respon dari perempuan itu.

Lalu, suara tawa pecah. Membuat kesunyian dalam bus pecah. Suara itu bahkan terdengar dominan dari deru hujan dan suara mesin. "Kamu lucu! Lucu sekali!" kata perempuan itu sambil memegangi perutnya.

Kening Bhara berkerut. "Baru kali ini ada orang yang mengataiku sinting. Biasanya aku di bilang perempuan simpanan, perempuan jalang, atau perempuan tak tau malu." dia tertawa lagi.

"Ceritakan padaku, apa yang membuat seorang laki-laki temperamen sepertimu menangis?"

DEG.

Bhara baru sadar. Kalau tangisannya tadi dilihat oleh perempuan ini.

"Kenapa? Laki-laki sok kuat? Kamu patah hati tapi menasehati orang lain. Kamu juga orang yang payah. Baru patah hati saja langsung pergi."

Eh, darimana dia tau?

"Jangan bodoh. Wajahmu sudah cukup menjelaskan semuanya." katanya seolah membaca pikiran Bhara.

Satu detik.

Dua detik.

Sunyi.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pacaran saja?" perempuan ini memang sinting. "Kamu Raja patah hati dan saya Ratu patah hati. Kita tak akan melukai. Kita akan saling mengobati. Bagaimana?"

Satu detik

Dua detik. Bhara masih diam. Lalu, detik berikutnya ia menatap wajah perempuan sinting itu.

Satu garis senyuman dari sudut bibir Bhara naik. "Kita belum saling mengenal."

"Kenapa kamu bodoh." perempuan itu kemudian mengulurkan tangan. Bhara tersenyum. Hatinya entah kenapa terasa sangat enteng.

BHARA!

BARRA!


Ucap mereka bebarengan. Kemudian tertawa. Dua manusia patah hati yang memiliki nasib sama bertemu. Saling menertawakan takdir masing-masing. Mereka sama. Bahkan nama mereka hampir mirip.

***


Bhara: berhentilah merokok!

Barra: Tidak bisa. Rokok membantuku mengusir patah hati

Bhara: kita akan mati bersama jika kamu terus merokok. Kamu tidak bisa baca ya, kan ada tulisan dikemasannya, Rokok membunuhmu!

Barra: tidak bisa BHARA!

Bhara: Ayolah. Katamu kita akan saling menyembuhkan?

Barra: (diam sejenak), baiklah. Perkataanmu adalah hukum bagiku

Bhara: anak baik.

Barra: Hei. Kamu tidak jadi menciumku??

***




Hanya kisah sederhana. Pertemuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sama-sama patah hati. Kemudian saling melengkapi untuk membalut luka masing-masing.

Tidak spesial. Semoga bisa sedikit menginspirasi.

Selasa, 23 Juni 2015 - 0 komentar

PERFECTO

DALAM diskusi interpersonal antara kamu-dan-saya di kantin Fakultas bertuliskan ‘PERFECTO’’ yang selalu saya tunggu-tunggu. Terselip kata yang selalu saya ulangi. Yang selalu saya eja berulang-ulang ketika saya pulang kerumah. Seusai kita melaksanakan beberapa menit ritual untuk saling tersenyum, saling tertawa, saling bercerita banyak hal dalam satu diskusi diatas meja.
‘Kangen…K-a-n-g-e-n!’


Kita, selalu menemukan satu topik yang menurutku menarik untuk dibicarakan. Apa saja. Kadang, saya juga tidak habis pikir dengan kecerdasan yang kamu miliki. Tentang betapa mudah bagimu menyelami topik yang sedang kita bicarakan. Entah topik yang kumulai atau dari kamu sendiri. Bahkan, jika berpikir lebih jauh, seharusnya kita tidak duduk bersama seperti ini. Dikursi berwarna hijau—berhadapan pula.
Betapa tidak. Saya berbeda denganmu. Saya tidak mudah menerima topik begitu saja. Pun topik yang mudah. Seperti apa resep gorengan yang sedang kita nikmati bersama segelas es teh yang terhidang di meja kita berdua. Kecuali topik tentang bulutangkis. Satu-satunya topik yang kuungguli darimu. Tentang Jonatan Christie. Tentang pertandingannya, tentang karirnya sejak kecil, tentang film yang pernah ia mainkan, KING. Tentang tanggal dan bulan lahirnya pun bahkan saya akan dengan mudah mengingatnya. Saya tidak pernah ketinggalan.
Tapi kamu. Kamu melahap semua topik. Yang bahkan terkadang saya pelajari betul-betul semalaman sebelum berjibaku didepanmu, berdebat bahkan berteriak marah karena kesal tidak bisa mensejajari kemampuanmu meramu dan menyerap topik diskusi kita.
Tapi…
Dua minggu ini. Saya menemukan kelemahanmu.
Dalam meramu dan menyerap cerita tentunya.
Tentu, dengan kondisi kita berdua. Kadang saya lupa bahwa kita sudah tidak lagi memiliki hubungan istimewa. Hubungan itu tandas begitu kamu mengatakan bahwa, ‘Saya dijodohkan. Kita nggak bisa bareng-bareng lagi.’
Karena meskipun kalimat itu tak pernah saya lupa. Tapi nyatanya kita selalu duduk berhadapan. Berjibaku pada ramuan cerita. Pemanis ketika saya patah hati, menyadari perasaan saya yang meluap-luap ingin di tampung oleh wadah darimu. Yang begitu saja memutuskan pergi. Meskipun tidak pergi sungguh-sungguh. Ragamu di depanku. Tapi hatimu kabur.
Mungkin karena alasan itu. Kamu jadi pendiam. Atau, karena memang ada yang kamu sembunyikan?
Dua minggu terakhir, kita membahas tentang buku yang baru saja saya tamatkan. Buku Sunshine Becomes You karya Ilana Tan. Waktu itu, kali pertamanya kamu gagu dalam percakapan. Kamu tak sepandai dulu dalam menyerap topik diskusi kita. Saya pikir, ketika itu saya menang. Karena saya berhasil membuatmu gagu dan diam tidak tahu. Namun belakangan, melihat matamu menatap kosong. Saya jadi curiga. Kebingungan. Saat itu saya pikir kamu terlalu lelah menyelesaikan tugas esai-mu. Atau pekerjaan paruh waktumu yang menyita banyak waktu istirahatmu.
Tapi saya salah. Ketika tiba-tiba kamu berkata, ‘Tiga hari lagi pernikahanku akan segera berlangsung.’ Yang seketika membuatku terkejut-kejut. Diam karena kebingungan merespon. Lalu diskusi kita hari itu kita tutup dengan kebisuan. Tepatnya, kebisuanku. Kamu melenggang jauh. Dan sejak saat itu hingga kini kita tidak terlibat lagi dalam diskusi hangat di kantin Fakultas bertuliskan ‘PERFECTO’’. Ketika itu seseorang memberitahuku alasan kenapa kamu tandas dari hadapan saya. Satu minggu, kamu buat untuk melakukan segalanya untuk lenyap. Kamu pindah universitas, kamu pindah rumah, pindah kota. Yang bahkan paling mengejutkan, kamu pindah kewarganegaraan.
Kamu tinggal di Tiongkok. Bersama istri bernama Ling Ling.
Dua tahun berlalu. Hari ini tanggal 23 Juni 2015. Hari ulangtahunku yang ke duapuluh tujuh. Saya masih sering ke kantin ini. Duduk dikursi hijau yang sama. Tentunya, tanpa ada kamu dihadapanku.
Kamu tentu akan terkejut mendengar kemajuan kuliah yang saya jalani. Saya sudah menginjak S3. Cita-cita mengenyam pendidikan lebih tinggi yang saya adopsi dari keinginan terbesarmu. Saya ingin menjadi Dosen. Yang sejak saya tahu kamu berkeinginan memiliki seorang istri yang berprofesi sebagai Dosen. Saya langsung membabi buta ingin cepat lulus S2. Yang meskipun mati-matian saya meraihnya. Tidak akan pernah menjadi nyata. Menjadi istrimu maksudku.
Tapi kamu sudah mati. Dalam arti yang sungguh-sungguh. Sepuluh hari lalu. Ketika usiamu menginjak 28 tahun. Meninggalkan seorang istri dan satu bocah cilik berusia tiga bulan.
Conseal! Don’t show it.
Seketika kalimat itu muncul dalam imajinasiku tentangmu. Kalimat yang kamu ucapkan ketika usia hubungan kita baru dua bulan. Katamu, kadang perasaan harus disembunyikan rapat-rapat. Tak perlu diumbar-umbar. Yang menurut pendapatmu, diumbar-umbar sama dengan ditawarkan. Tidak akan ada rasanya. Semakin sering diucapkan, semakin tidak terasa istimewa perasaan itu.
‘Adakalanya, entah kapan. Mungkin saya akan pergi darimu. Entah bagaimana alasan yang ada dibaliknya. Saya akan pergi. Tapi hati saya tertambat padamu. Saya tidak tahu kenapa. Saat itu, saya pasti akan bisu. Mendadak seperti, Conseal, and can’t show it.’
Saya kebingungan. Kamu tentu tahu. Saya selalu bodoh dalam mencerna suatu topik diskusi kita. Apalagi dengan usia hubungan kita yang begitu dini. Kamu mengagetkanku dengan kata pergi. Seolah-olah hubungan kita akan segera tandas diusianya yang baru dua bulan.
Namun, tiga tahun bersamamu. Membuatku mengerti banyak hal. Tentang kehambaran perasaan yang sering diumbar-umbar. Seperti cerita temanku. Pacarnya romantis, tak satu haripun absen mengatakan ‘saya cinta kamu, saya sayang kamu.’ Tapi nyatanya dia pergi bersama orang lain.
Saya jelas tahu, tentang perasaan yang harus disembunyikan. Yang ditunjukan bisa jadi hanya sebagian kecil. Seperti gunung es dalam samudera. Hanya memperlihatkan pucuk kecil dari betapa besar perasaan itu di bagian dalamnya, namun bagi yang suka mengumbar, maka yang diperlihatkan adalah semuanya. Itupun belum dikalikan kepalsuan. Kata Tere Liye. Penulis favoritku.
Show it! Don’t conseal.’ Saya pernah membalikkan kata-kata yang kamu ucapkan. Yang bodohnya. Hanya karena saya kesal, kamu tidak seromantis pacar teman-teman saya.
Dua hari lalu Ling Ling memberi saya sepucuk surat yang berisi tulisanmu. Kamu berujar banyak. Begitu juga tentang kita. Tentang diskusi yang tidak pernah kita lakukan lagi. Yang kemudian, membuat air mataku seketika tumpah.
Saya masih memiliki perasaan penuh padamu.’ Katamu dikalimat terakhir suratmu. Sejak itu, saya tahu arti diammu di dua minggu terakhir percakapan kita tentang buku Sunshine Becomes You. Kamu diam karena takut kehilangan. Kamu gagu karena takut mengatakan perpisahan. Yang pada akhirnya berujung buntu tanpa pamitan. Karena kamu terlalu takut.
Kamu begitu besar mencintaiku. Memilih diam bersembunyi untuk mencintai. Memilih untuk meramu, menjaga dan memupuk perasaan itu dengan tidak diumbar-umbar karena takut perasaan itu akan lenyap manisnya. Meski saya masih merasa, takutmu berlebihan. Hingga saya sendiri yang harus menanggung kehilangan.
Dibalik kata ‘Conseal’ saya tahu ada ‘Full feel’. Dibalik kata ‘Don’t show it’ saya tahu, ada kata ‘Im afraid.
Kamu lugu, begitu caramu mencintaiku.
Sekarang, saya hanya bisa kembali mengeja satu kata. ‘Kangen… K-a-n-g-e-n!’ kemudian beralih mengartikan kata yang bertengger dikantin ini. ‘PERFECTO
Dan saya menyadari, bahwa yang membuat kantin ini terasa ‘Perfect=sempurna’ adalah dirimu. Dengan diammu menyimpan rasa teramat besar kepadaku. Terimakasih. Saya juga cinta kamu.


Untuk yang bersembunyi
Dan kamu, yang kangen terus-terusan.