Rabu, 09 Desember 2015 - 0 komentar

Kata Kita

"Kita putus, Reno!" Bian berkata dengan sorot mata yang cukup tajam. Tegas, jelas dan tanpa embel-embel ingin dibantah.

"Kenapa?" tanya Reno dengan air muka yang bertempias-- akibat mendengar kata mengerikan dari Bian; kekasihnya.

"Kita putus, Reno!" tandas Bian sekali lagi. Ia tak suka dicela atau dibantah. Perkataannya adalah hukum.

Reno tak tahu harus berkata apa lagi untuk menjawab perkataan Bian. Tubuhnya sudah limbung terlebih dahulu sejak Bian bicara kata mematikan itu. Pu-tus.

"Baik. Kita ... Putus," kata Reno yang masih menelungkupkan kepalanya. Ia belum berani menatap mata Bian. Takut terjerat cinta. Bisa-bisa, ia tak kuat mengatakan kata pisah. Ia terlalu cinta. Atau mungkin boleh dikatakan terlanjur sayang. 

Kau tahu kan bagaimana rasanya jika kau terpaksa mengatakan pisah pada seseorang yang teramat kau sayangi? Atau kehilangan sesuatu yang sudah menjadi candu buatmu? Kalau belum, bisa jadi kau sedang akan mengalaminya. Tidak lama lagi. Jadi yang harus kau lakukan hanya percaya kalau rasanya sangat menyakitkan. Nyaris sama dengan ketika kau tak sengaja melukai jemarimu dengan pisau yang amat tajam. Bedanya mungkin pada kedalamannya. Perih.

"Kamu tahu kan kenapa aku minta putus?" Mata Bian menusuk ke arah Reno yang terlihat tak bertenaga. Bahkan ketika Bian mengajak adu tatapan pun, ia tak mau. Barangkali, tak sanggup.

"Kamu itu ngebosenin tahu nggak! Kamu sukanya diem. Aku capek." Bian yang sudah kesal bertambah kesal ketika hingga kini Reno tak menatap dia.

"Kamu itu pengecut. Coba kamu hitung, berapa kali kamu bilang sayang sama aku? Coba kasih tau aku?!" Bian meninggikan volume suaranya.

"Hampir tiga belas bulan kita bareng-bareng. Tapi aku cuma denger kamu bilang cinta dan sayang sama aku nggak lebih dari sepuluh jariku. Kamu tahu kan aku suka perhitungan?" Bian bertanya.

"Kamu tuh nggak seru! Tiap kali cerita aku terus yang mulai. Bahkan ketika menghubungimu pun aku yang mulai! Kamu nggak pernah denger ya kalau cewek punya gengsi yang lebih tinggi buat nyapa duluan?! Dimana-mana cewek itu minta di chat dulu, bukan ngechat dulu.

"Kamu itu terlalu bisu. Aku capek, Reno! Kapan kamu bisa bikin aku ketawa?" Bian bukan menuntut, ia hanya ingin mengoreksi Reno.

"Kamu tau nggak sih, cewek itu lebih suka ditanya daripada ditanya. Nggak ada sejarahnya cowok diem itu menyenangkan. Kalau pun ada yang bertahan, pada akhirnya cewek bakalan mikir, cowok pendiem apa menyenangkannya? Apa yang bisa dijadian alasan buat bertahan? Yang ada si cewek mati kebosanan!"

"Aku lebih suka cowok yang bisa diajak rame, Reno. Kalau kamu bertanya kenapa tidak dari dulu aku minta putus, itu karena aku berpikir mungkin waktu bakalan ngajarin kamu buat terbiasa sama kita. Tapi kayaknya aku salah. Ini bukan soal waktu, tapi soal pribadi masing-masing. Meski waktu, kutahu adalah tolak ukur kita belajar. Tapi kamu enggak, Reno." Bian menghela napas. Ia sudah merasa sedikit lega mengatakan unek-uneknya.

Beberapa detik mereka saling diam. Detik ke dua ratus lima puluh, Bian kembali bersuara. "Kamu nggak mau bilang sesuatu sebelum aku lenyap?" tanya Bian kepada Reno yang masih menundukan kepalanya.

"..."

"Nggak apa-apa. Lagian kita udah putus. Aku udah ngeluarin amarah yang kupendam selama ini. Mungkin kamu bakal jengkel denganku. Tapi inilah keluh kesahku."

Bian menghela napas sekali lagi. Tangannya secara sembarang mengambil tas tangan berwarna cokelat yang ada di sampingnya. Saatnya ia pergi; lenyap segera dari hadapan Reno.

"Maaf," kata Reno membuat Bian terkejut.

"Maaf, aku terlalu pendiam. Bahkan untuk mengatakan seluruh perasaanku kepadamu." 

Bian tercenung. Ia kembali duduk setelah mendengar tutur kata Reno.

"Aku hanya tidak tahu caranya. Aku bodoh, Bi."

"..."

"Kamu boleh pergi. Tapi aku masih mau tetap di sini."

Bian mendongakkan kepalanya menatap Reno.


"Aku cuma mau bilang, aku sayang kamu. Melebihi sayang seluruh makhluk di bumi. Tapi aku nggak tahu caranya bilang. Karena semua kata, tidak bisa mewakilinya."

0 komentar:

Posting Komentar