Kamis, 11 Agustus 2016 - 0 komentar

Jelaga Tawa

"KITA tak pernah mencoba memahami bukan, bahwa saat kita tertawa pada waktu yang sama ada segelintir orang yang tak merasa bahagia. Maksudku, kita tidak pernah mencoba untuk tertawa yang sewajarnya. Kita terlalu larut dalam satu kejadian bernama bahagia hingga kita lupa pada kewajiban kita untuk bersyukur kemudian berbagi kebahagiaan dengan orang lain."

Itu salah satu kutipan pidato Orfa, cowok kulit hitam berusia enam belas yang suka baca buku teori bahagia, tawa dan tangisan. Dia manusia teraneh yang pernah kutemui. Satu-satunya, untungnya.

Tapi aku bangga, seandainya saja Papa tidak mengirimku ke Gili Trawangan, aku yakin seratus persen kehidupanku tidak akan seaneh ini.

Kali pertama aku bertemu dengannya, dia tanpa malu menjabat tanganku. Dengan senyum lebar dan dada membusung ia berkata, "perkenalkan saya Orfa, calon pendidik ternama mengenai bahagia. Kamu bisa memanggilku tuan Jelaga Tawa."

Saat itu yang pertama kali aku pikirkan adalah, bagaimana bisa Papa mengirimku ke pulau yang penghuninya orang gila? Papa pasti ingin aku mati secara perlahan. OMG!

***

Seringkali aku mendengar Orfa membual, namun di balik itu ia sangat rajin membaca banyak buku. Hingga akhirnya, dia tiba-tiba berkata, "Fel, bagaimana caranya kita bisa pergi ke Jakarta tanpa uang sepeser pun?"

Kukernyitkan dahiku ketika mendengar pertanyaan Orfa. Namun satu hal yang menjadi pertanyaanku saat itu, "Orfa mau buat hal aneh apalagi?"

Minggu lalu, Orfa bikin heboh warga kampung karena ia mengumpulkan anak-anak untuk mencari kayu kelapa hingga maghrib tiba. Ternyata, kayu hasil kumpulan tadi ia gunakan untuk membuat gubuk kecil tempat ia menaruh koleksi bukunya.

"Aku ingin membuka taman bacaan, Fel." Begitu katanya setelah kutanya mengapa dia sampai membuat gubuk dari kayu kelapa.

"Di sini susah mencari bambu, jadi lebih baik memanfaatkan sesuatu yang ada bukan?"

Aku tersenyum, saat itulah aku mulai dapat merangkai seluruh tingkah Orfa. Aku tahu kenapa ia ingin menjadi pendidik bahagia. Ternyata tujuannya mulia.

"Meski NTB termasuk wilayah yang rendah pendidikan, kita tak boleh menyerah begitu saja. Harus banyak baca buku, dengan itu kita sudah bisa dikatakan terdidik. Karena pendidikan salah satu upaya untuk menebar bahagia. Kamu paham maksudku, Fel?"

Aku mengangguk.

***

"Aku bisa membawamu ke Jakarta, Fa," kataku.

Saat itu, Orfa si manusia aneh mengernyitkan kening mendengar pernyataanku.

Kuanggukkan kepalaku dengan yakin sebagai tanda bahwa aku serius.

"Tanpa biaya," tegasku.

Orfa tersenyum tanpa banyak tanya. Ia yang sedang asik menata buku di rak yang ia buat dari ranting pohon menghampiriku, memegang bahuku dengan tangan kuatnya sembari berkata, "terimakasih rekan tawa, bisakah kita berangkat besok pagi?"

Aku mengangguk terharu. Meski sampai detik ini aku tak mengerti kegiatan apa yang akan dilakukan Orfa nanti, aku yakin dia punya tujuan yang baik. Hitung-hitung, aku memberinya hadiah untuk hari ulang tahunnya nanti, tanggal 7 Juli seminggu lagi.

***

Dari kampung tempat kami tinggal, kami menggunakan kapal milik Paman Muh. Kebetulan dia adalah kenalan Papa. Jadi ketika kuceritakan tentang Orfa dia dengan suka rela memberi tumpangan.

Kapal yang kami tumpangi hanya sampai di Bali. Aku sudah merencanakan perjalanan ini tiga hari atas saran Papa. Jadi meski aku tahu Papa yang membayar seluruh biaya dan membantu aku dalam meminta pertolongan beberapa orang, yang terpenting Orfa tidak sampai mengeluarkan uang.

"Kenapa kamu pengen ke Jakarta, Fa?" Aku bertanya di sela perjalanan. Kami baru saja menjejakkan tubuh kami di Jakarta.

Orfa yang tampak terpesona dengan gedung pencakar langit yang ada di balik jendela bus menoleh ke arahku.

Senyum yakinnya membuatku bergidik ngeri, mata elang Orfa seolah dia ini pejuang revolusi yang tak akan mundur sedikit pun. "Aku ingin demo kepada presiden," katanya ringan.

Terkejut, aku melebarkan mataku ke arahnya.  Rasanya tidak percaya. Untuk apa? Dia gila, ya!

"Aku ingin berbicara padanya tentang pemerataan pendidikan yang ada di kampungku, Fel."

"Kamu gila ya! Kamu pikir, kamu siapa?! Nggak ada yang mau dengerin kamu. Yang ada kamu diusir!" Kuusap wajahku yang bertempias. Demi apapun ini di luar ekspektasiku. Aku pikir Orfa bakal melakukan kegiatan sosial atau apapun yang bermanfaat. Tapi ini... arghhh! Gila! Kayaknya aku udah salah berteman deh.

"Dengar dulu, Fel. Aku hanya ingin daerah timur bisa sebagus Jawa pendidikannya, aku hanya...."

"Kamu bodoh, Fa! Kamu nggak pernah baca koran atau surat kabar, ya? Atau kamu nggak pernah nonton berita di televisi?!" Aku mulai emosi. "Kamu kira pemerintah diam saja?! Pendidikan di daerah timur sedang diusahakan, Fa! Tunggu saja. Yang harus orang-orang timur lakukan adalah berjuang. Seperti apa yang pernah kamu bilang, banyak membaca buku. Bukankah kamu setuju kalau banyak membaca buku otomatis kita juga sudah terdidik? Tinggal kita Fa yang berjuang. Kita harus belajar banyak, dukung pemerintah. Kamu! Kamu yang lebih pandai jangan hanya menuntut pemerintah. Bukankah kamu udah punya modal taman bacaan? Ajarkan sama anak-anak kampung. Berpikirlah realistis sedikit!"

Orfa seketika menunduk. Kulihat beberapa orang yang ada di bus menghujamiku dengan tatapan penuh tanya. Sekarang, aku merasa seperti sedang berorasi. Apa aku yang terlihat gila sekarang?

***

Hari kedua di Jakarta Orfa ternyata tidak menghiraukan ucapanku. Ia tetap ngotot mau ke gedung Istana Merdeka.

Rasanya aku sudah lelah kalau melihat tingkah Orfa. Dia keras kepala. Aku mendengus sebal, kuhentikan langkahku untuk mengikuti Orfa menuju gedung Istana Merdeka. Ternyata aku yang lebih bodoh karena tidak bertanya dulu sebelum mengabulkan permintaannya ke Jakarta.

"Aku mau ke Gili Trawangan! Aku mau pulang! Aku udah nggak mau lagi ngikutin cara pikir kamu yang nggak waras! Pokoknya AKU MAU PULANG! Tan-pa ka-mu!"

Orfa diam saja ketika aku berbalik meninggalkannya. Aku rasa dia memang kepala batu.

Beberapa menit berjalan, tiba-tiba ada seseorang yang menghalangi langkahku. Dia Orfa si kepala batu.

"Kenapa? Berubah pikiran?" tanyaku sebal.

Orfa tidak menjawab, tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu ia menarik tanganku. Menyeretku berbalik. Aku yang tak terima dengan perlakuannya segera berontak. Namun Orfa tetap memaksaku ikut.

Sampai akhirnya, Orfa marah karena aku tak bisa diam. Mata elangnya menghujamku. Takut, tiba-tiba saja air mataku jatuh.

Orfa menghela napas, ia lepaskan tanganku dan mulai mengusap air mata di pipiku.

"Maafin aku, Fel. Aku nggak bermaksud begitu. Aku cuma mau kamu percaya sama aku."

Aku menggeleng, "kamu tahu, kalau pun kamu mau bertemu dengan presiden, kamu harus melakukan hal yang lebih gila dibandingkan ini semua, Fa. Harusnya dari Gili Trawangan kamu jalan kaki, dengan begitu aku yakin setelah media massa meliput kamu, presiden dengan senang hati akan menemuimu."

Aku menepis tangan Orfa,mengusap air mataku sendiri. Sedangkan Orfa malah tersenyum.

"Ya udah, ayo masuk!"

Aku mengernyitkan kening tidak mengerti, namun Orfa malah menggerakkan kepala menyuruhku cepat masuk. Maksudku masuk ke mana? Mataku bertanya. Kemudian mataku mengikuti arah mata Orfa.

Aku menggeleng tak percaya.

"Kamu?"

Orfa mengangguk, "aku kan udah bilang, percayalah padaku, Fel. Aku udah sadar, kalau selama ini obsesiku tak beralasan. Harusnya ketika aku mendeklarasikan bahwa aku adalah pendidik bahagia, aku membuat semua orang bahagia. Termasuk kamu. Tapi aku malah buat kamu nangis," katanya.

"Pelajaran dari kamu kado terbaik di usiaku yang akan menginjak tujuh belas, Fel. Dan seperti yang kamu bilang, aku akan membuat anak-anak kampung berjuang dengan membaca buku. Di hari ulang tahunku dua hari lagi, kamu mau bantuin aku jadi pendidik bahagia? Kita ajari mereka."

Aku mengangguk. Tersenyum, aku mengikuti langkah Orfa masuk ke toko buku. Akan kuhadiahkan banyak buku untuknya agar ia berhasil menebar tawa di hari ulang tahunnya nanti.

Salam tawa bahagia dari rekan tawamu, Orfa. Aku bangga mengenalmu.