Sabtu, 14 November 2015 - 0 komentar

[Jatuh] Cinta

A/N udah lama nggak posting cerpen di blog. Aku kangen :')
Ohya, cerpen ini adalah repost dari wattpad. Event Abnormal Fofattare, Grup kepenulisan LINE pertamaku.

Selamat membaca :)
---


Namanya Deora Ramadhani, seorang gadis yang menyita seluruh perhatian Pandu saat kali pertama mereka di pertemukan di sebuah kedai ice cream oleh temannya. Pertemuan keduanya biasa saja. Hanya sekedar mengobrol, membicarakan hal-hal sepele mengenai kampus dan cerita pribadi yang umum.
"Deora itu seorang web desaigner lho," celetuk Gama sedikit melirik ke arah Pandu.
"Iya, bahkan desainnya sempat dilirik perusahaan asing," lanjut Wilma sembari menjawil lengan Deora.
"Jangan percaya, mereka lebay. Berlebihan." Deora merendah. Tertawa sembari melambaikan tangannya. Menyuruh Pandu untuk tidak terlalu mengindahkan pujian itu.

Namun Pandu telah terkesima, bahkan sebelum kedua teman mereka mengatakannya. Dalam balutan kemeja putih dan jeans abu Deora sudah mengundang ketertarikan Pandu. Tidak biasanya, bahkan Pandu sendiri bingung. Padahal, Deora hanya gadis biasa yang tidak suka pakai
make up.

"Keren dong," kata Pandu.
Deora tertawa, dan Pandu menyadari sesuatu. Ia sekarang paham kenapa Deora begitu berbeda. Ekspresi. Iya, perubahan ekspresi Deora sangat menarik.
"Lebih hebat mana sama cowok yang dalam dua kali periode berturut-turut berhasil menduduki jabatan Gubernur BEM Fakultas?" Alis Deora naik turun menggoda Pandu.

Pandu tertawa, ia tidak menyangka kalau Deora tau tentang Pandu.
"Siapa nih yang bilang? Gama? Pasti Gama kan?"
          
Pandu meninju pelan bahu Gama yang kini sedang cekikikan. Begitu juga dengan Wilma, yang merasa terhibur dengan percakapan ini. Sejak awal Gama tahu kalau Pandu akan menyukai Deora. Sambil menyelam minum air, Gama mendekati Wilma sedangkan ia ingin Pandu dekat dengan Deora. Dan sepertinya, misinya kali ini berhasil.

"Gama emang bilang kalo kamu itu Gubernur BEM. Tapi percaya deh, Gama nggak pernah bilang tentang masa jabatan kamu," kata Deora sembari tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya.
"Terus kamu tau dari siapa?" tanya Pandu penasaran.
Deora tersenyum, memberi jeda supaya Pandu penasaran, "Hm, ada deh."

***

Pandu berkacamata, beralis tebal, dan dikenal sebagai Gubernur paling kaku yang pernah menjabat. Anehnya, semua anggota BEM tidak keberatan Pandu menjabat dua kali periode. Pandu pintar, selain itu wajahnya juga enak dipandang. Hanya perlu sedikit senyum maka semua gadis di kampus pasti sadar betapa menyenangkannya wajah Pandu itu.

Dua minggu berikutnya, Gama kembali mengajak Pandu. Menemui Wilma dan Deora di kedai ice cream. Saat ini status Gama dan Wilma telah resmi, dua hari lalu Gama diterima menjadi pacar Wilma.

"Hari ini khusus traktiran Wilma dan Gama. Kita nggak mau tau, iya kan, Du?"
Deora menyenggol lengan Pandu berkali-kali, kebetulan Deora memang sedang duduk disampingnya. Pandu yang sedang sibuk melamun mengerjap, terkejut dengan aksi yang diberikan oleh Deora terhadap Pandu.
Deora tertawa melihat Pandu.

"Gila ya Ma, temen kamu yang satu ini ngegemesin banget. Ekspresinya itu lho, gampang terkejut. Apalagi pipinya, sering blushing."
          
Gama dan Wilma tertawa. Sedangkan Pandu tersenyum malu. Jantungnya kali ini berdetak tidak waras.
          
"Kalo boleh, aku bawa pulang deh."

Blush. Kali ini Pandu tak dapat menyembunyikan ledakan bahagia didadanya. Ia senang, bahkan terlalu senang.

"Tuh kan, liat deh." Deora menatap Pandu. Kemudian dengan jahil jemarinya mencubit pipi Pandu. Membuat kedua mata cokelat Pandu melotot.

***

Tidak bisa dipungkiri kalau ternyata Pandu menyukai Deora. Bisa dilihat dari bagaimana bahasa tubuh Pandu yang gelisah menunggu Deora.  Mereka janjian pukul tiga sore, bertemu untuk mengobrol berdua, tanpa Wilma dan Gama. Tapi Pandu yang terlalu semangat sudah duduk manis di salah satu kursi kedai setengah jam lalu.
          
Tepat empat puluh menit menunggu, Deora datang. Ia tersenyum amat lebar begitu mendapati Pandu melambaikan tangan ke arahnya.
Lagi-lagi, Pandu dibuat terpesona oleh Deora.

"Kamu cantik," kata Pandu reflek. Begitu ia sadar apa yang baru saja ia ucapkan, ia langsung mengatupkan mulutnya. Malu.
"Thanks," kata Deora tersenyum senang.
"Nggak nyangka, ternyata Pandu bisa juga ya ngerayu cewek."
Pandu tertawa, ledakan bahagia itu muncul lagi.
"Duduk deh, aku pesenin ice cream kesukaan kamu, ice cream tiramisu."
"Makasih, Bapak Gubernur BEM."
Merekapun tertawa.

***

Beberapa jam mengobrol seru dengan Deora, Pandu bisa langsung memastikan kalau dirinya memang jatuh cinta pada mahasiswa hebat ini. Mahasiswa semester lima yang sudah bekerja sebagai seorang profesional web designer untuk salah satu resort terkenal di Gili Trawangan, Lombok.
          
"Pandu, nyanyi buat aku dong." Pinta Deora begitu ia melihat kearah panggung, dimana MC di kedai itu mempersilahkan pengunjung untuk menyumbang lagu.
"Hah? Aku nggak bisa nyanyi."

Deora mendecak. "Semua orang bisa menyanyi, Pandu. Hanya saja tidak semua orang bisa menjadi penyanyi. Ayo dong."

Pandu menghela napas, melihat ekspresi Deora yang begitu antusias membuatnya sedikit merasa harus mengalah. Ia kemudian mengangkat tangannya, begitu si MC melihat, Pandu maju ke arah panggung. Ia duduk di kursi tinggi, memegang gitar berwarna cokelat. Ia grogi, terlihat sekali saat dia berulang kali membenarkan posisi kacamatanya, yang sebenarnya tidak pernah berubah.

"Ini buat seseorang yang maksa minta dinyanyiin. Jangan kecewa kalo suaraku menggema, dan sangat jauh dari kata bagus."

Deora yang tengah duduk tertawa, sembari matanya fokus ke arah Pandu, ia menyendokkan ice cream tiramisunya kemulut. Diam-diam, hatinya ikut senang. Setelah sekian tahun mengamati, ternyata ekspresi Pandu mengalami kemajuan pesat. Bahkan saat berada di panggung dengan gitar di tangannya, ia seolah lupa kalau ia adalah seorang Gubernur BEM—Orang yang kalau ketemu panggung harusnya pidato, bukan menyanyi.
Pandu mulai memetik gitar. Sudah jelas terlihat bahwa Pandu bukanlah seorang yang buta akan musik. Meski terkenal kaku dan tidak suka tersenyum, Pandu adalah laki-laki multitalenta. Hanya saja, ia tak terlalu suka menunjukannya.

♫♫
It’s taking us downtown
You’re watching me, watching me, watching me go
But I never listen
No I never let you move
Now we’re headed uptown
Is their someting nothing you wanted to say?
Cause I need to go now
Do you want me to stay?
I said a stay-e-ay-e-ay-e-ay-ay-ay.
Is you tried, let it go, let it go
What you need to find
Is someone who will never let you go
Noooo, and sunshine and city lights
Will guide you home
And noooo, yeah you gotta know
That I’ll never let you go

Pandu selesai menyanyi, dan riuh tepuk tangan pengunjung menghujani penampilan Pandu. Ia tersenyum, kemudian berjalan kearah mejanya kembali.

***

"Pandu, kenalin ini Gio."

Pandu mengernyitkan keningnya begitu mendapati seorang laki-laki yang tengah mengobrol seru dengan Deora.

"Pandu," katanya singkat.
"Aku udah kenal kamu, Pandu. Gubernur BEM Fakultas Teknik kan?"

Pandu kembali mengernyitkan keningnya, "Aku anggota klub teater. Gionino. Yang waktu acara pentas budaya kampus minjem properti ke Sekre."

Pandu mengangguk-angguk. Ia sebenarnya tidak ingat.

Gio tertawa. "Yaudahlah... Nggak usah dipikirin. Nggak penting," katanya. "Sori, aku dateng kesannya tiba-tiba. Aku baru pulang dari Lombok, nih nemuin papanya si tembem."

"Enak aja manggil tembem. Tirus gini." Deora memegang pipinya, ia yakin kalau pipinya memang tidak tembem. Gio saja yang suka iseng.

Pandu nampak kebingungan, pertama karena tiba-tiba ada seorang cowok yang menghampiri Deora. Kedua, tentang hubungan kedua orang dihadapannya. Untuk apa Gio jauh-jauh ke Lombok menemui ayahnya Deora?

"Jadi aku itu ngelamar Deora udah lama."

DEG

"Tapi dia bilang mau nyelesein kuliah dulu. Dan biar dia mikir cepet, ya aku langsung aja lamar ke bapaknya. Masalah nikah, gampang. Yang penting aku udah lamar dia." Gio tersenyum. Menunjukan deretan giginya.
"Biar dia nggak kecantol sama cowok.... Aw, De, kamu tuh kebiasaan deh." Gio mengelus lengannya begitu Deora dengan kekuatan besarnya mencubit daging tipis milik Gio.
"Ember," kata Deora.

Seketika itu juga Pandu lemas. Rasanya jantungnya berhenti berdetak.

"Makanya, aku buru-buru nyari dia begitu aku sampe di sini. Ternyata, Deora lagi berusaha selingkuh ya..."

Deora kembali mencubit lengan Gio. Gio mengaduh, kemudian dengan jahil menggelitiki perut Deora. Mereka berdua kemudian sibuk saling menggelitiki, tidak menghiraukan ada Pandu yang kini berusaha menenangkan jantungnya yang tak karuan.

***

Saat ini Pandu lebih bisa berekspresi. Ia bukan lagi seorang Gubernur BEM yang miskin ekspresi, kaku, dan tidak mudah senyum. Lebih-lebih ketika ia mendengar berita mengejutkan tentang Deora yang akan tunangan, dua hari lagi.

"Pandu." Tepukan bahu itu membuat Pandu yang tengah sibuk dengan gitarnya menoleh. Iya, Pandu sekarang lebih suka mencurahkan ekspresinya lewat musik. Setelah beberapa bulan mencoba menghindari Deora, ia berusaha tegar, menutupi kegalauannya lewat musik. Ternyata, setelah beberapa kali diasah, kemampuan minimnya mengenai musik bertambah. Bahkan, beberapa kali ia pernah menjadi pengisi acara di kampus. Bukan untuk pidato sebagai Gubernur BEM, tapi sebagai penyanyi. Seperti saat ini, diacara Seminar Karya Sastra yang diadakan oleh Fakultas Sastra. Cuma sebagai jeda, penghibur bosan.

"Giliran kamu tuh." Gama salah satu panitianya.

Pandu mengangguk, kemudian berjalan perlahan sembari memegang gitarnya. Sebelum benar-benar ada diatas panggung, yaitu tepat diperbatasan backstage, ia berhenti. Seseorang memanggilnya.

"Boleh bicara sebentar?"
Pandu menoleh, "Deora?"
          
Deora tersenyum. "Aku mau bilang sesuatu, dan tolong dengerin aku. Karena aku nggak akan mengatakannya dua kali."

***

Dengan perasaan serba entah Pandu mulai memetik gitarnya, ia menatap sembarang. Pikirannya kacau.

"Du, kamu harus cepet-cepet mulai." Bisik seorang panitia ketelinga Pandu. Membuat Pandu tersadar bahwa ia sedang berada di sebuah panggung. Ditonton oleh banyak pasang mata.
"Ekhm…" Pandu mulai menyapukan matanya dengan sadar. "Sori, kepalaku lagi pusing." Ia tersenyum.
"Sebenernya tadi aku mau nyanyi lagu bit up, tapi berubah jadi mellow, karena sesuatu telah berubah. Keadaan, hati dan takdir.”

Tanpa ragu, Pandu kembali memetik gitarnya. Kali ini ia bernyanyi dengan segenap perasaannya, ia memejamkan mata. Kembali mengingat beberapa menit lalu ketika Deora mengakui sesuatu padanya.

♫♫
My heart beats a little bit slower
These nights are a little bit colder
Now that you’re gone
My skies seem a little bit darker
Sweet dreams seem a little bit harder
I hate when you’re gone

"Aku cinta kamu, Pandu. Itu yang aku mau bicarakan."

♫♫
Everyday time is passing
Growing tired of all this traffic
Take me away to where you are.

"Kalau kamu nggak percaya nggak apa-apa. Tapi kamu harus tau, alasan kenapa aku tau tentang kamu itu bisa dijadikan bukti. Meskipun bukan bukti mutlak."

♫♫
I wanna be holding your hand
In the sand
By the the tire swing
Where we use to be
Baby you and me
I travel a thousand miles
Just so I can see you smile

Sembari menangis, Deora berkata, "Tapi kita cukup sampai di sini. Ini egois, kita belum memulai tapi aku sudah mengakhiri. Itu... Karena aku akan menikah. Setelah wisuda nanti."

♫♫
Feels so far away when you cry
‘Cause home is in your eyes
Your heart beats a little bit faster
There’s tears where there use to be laughter…
Now that I’m gone…

“Meski begitu, aku nggak bisa menyembunyikan, bahwa aku menyukaimu. Dan maaf, sudah membuatmu kecewa. Maaaf sudah membuatmu merasa bahwa aku gadis yang tak tau diri, aku hanya ingin mengatakan isi hatiku.”
Dan saat itu juga Pandu tiba-tiba berhenti, apa hanya aku saja yang merasa bahwa mencintai bisa sesakit ini?