Kamis, 13 Agustus 2015 - 0 komentar

Bhara dan Barra

[Repost dari akun wattpad saya. Dengan judul dan cerita yang sama. Silahkan mampir untuk melihat tulisan yang lain. wattpad.com/eniristiani]

***


Bhara : kamu cantik, saya suka.
Barra: kamu ganteng, saya suka.
Bhara: kapan kita nikah?
Barra: kamu kesini, bawa penghulu. Cepet. Aku tunggu.

Bhara tersenyum lebar membaca pesan dari kekasihnya, Barra.

Bhara: mau cium dong. Boleh?
Barra: bagian mana?

Lagi-lagi Bhara tersenyum. Rasanya nggak ada yang lebih menyenangkan kalau sudah berurusan dengan Barra. Dia pintar mencuri hati Bhara.

***



Pertemuan.


Hari itu tepat hari jumat kliwon. Malam-malam. Hujan pula.

Jangan berpikir ini adalah cerita horor. Ini justru cerita paling romantis. Hanya setting waktunya saja yang tak tepat; malam jumat kliwon.

Andai saja boleh memilih, Bhara ingin bertemu Barra malam minggu. Pukul 1 bulan januari. Tahun baru.

Namun mereka bertemu di hari yang banyak orang takuti. Malam jumat kliwon. Tanggal 7 bulan Januari. Tujuh hari setelah tahun baru.

Hujan begitu, Bhara sedang patah hati. Dia ingin pergi sejauh-jauhnya dari kekasihnya, Mala yang telah berselingkuh. Lebih parahnya sampai hamil.

Bhara memutuskan untuk meninggalkan kotanya. Pergi ke kota sebelah dengan bus.
Saat itu, stasiun tak terlalu ramai. Hanya gemercik hujan yang riuh dan berisik. Bhara yang sedih sedang menggendong tasnya. Duduk dikursi panjang sambil sesekali mengusap pipinya yang basah.

"Mas, ada rokok?" tanya seorang disebelahnya. Bhara tak menoleh. Ia tidak peduli siapapun. Yang sekarang ia pikirkan hanya hatinya yang remuk. "Mas, kok diem saja sih. Saya tanya lho."

Eh, itu suara perempuan. Yang akhirnya membuat Bhara menoleh.
Bhara menatap perempuan disampingnya. "Mas punya rokok? Rokok saya habis. Boleh minta?" katanya sekali lagi.

Bhara yang sedih jadi sedikit lemot. Yang ia pikirkan saat ini adalah hatinya yang remuk. Ia sekali lagi hanya menatap perempuan itu. Diam.

"Ih, kok saya dicuekin sih. Kamu budek ya?" perempuan itu mulai protes. Kesal. Siapa yang tak kesal jika ada seorang laki-laki yang ditanyai hanya diam. Masih mending jawab, "Jangan ganggu saya." atau sekalian nggak nengok. Ini, sudah nengok nggak jawab. Jadi ngerasa di PHP-in kan! Huft.

"Kalo nggak punya nggak apa-apa. Saya bisa kok beli sendiri." katanya jengkel. Kemudian perempuan itu beranjak pergi. Meninggalkan Bhara sendiri.

***


Satu jam, Bhara menunggu. Hujan tak kunjung reda. Busnya juga tak datang-datang. Ia duduk sudah hampir kesemutan. Tapi dia tetap bersabar.

Tak apalah, saya biasa menunggu. Kalau akhirnya dikecewakan, mau bilang apa? Setidaknya saya sudah bersabar.

Akhirnya bus datang di jam ketiga Bhara menunggu. Ia bangkit. Meski hujan masih saja genit ingin membasahi tubuh manusia-manusia patah hati seperti Bhara, ia tak peduli. Yang ia pedulikan hanyalah hatinya yang telah remuk. Agar secepat mungkin enyah dari kota ini. Kota yang sering memberi luka pada hatinya.

Hatinya sebenarnya berat. Mengingat, ia juga harus meninggalkan adik bungsu satu-satunya, Lea. Namun bagaimana, hatinya tak mau remuk kesekian kali. Cukup. Ia sudah merasa cukup. Pikirannya ingin segera bisa membalut hatinya yang remuk. Meski tak akan utuh lagi. Setidaknya ia sudah berusaha.

Wussh. Angin disertai hujan menembus kulit Bhara yang hanya tertutup jaket tipis. Ia kedinginan.

Bhara baru saja akan melangkahkan kakinya ke pintu bus. "Mas, perempuan dulu." seorang perempuan yang menggendong tas besar menghalangi pintu masuk. Ia melirik. Lagi-lagi perempuan itu.

"Tidak bisa, saya yang duluan sampai."

Perempuan itu mendelik sebal. "Kamu ngeselin yah, dimana-mana laki-laki yang harus ngalah sama perempuan. Nggak pernah denger kalimat ladys first yah?!"

Bhara mendesah kesal. Ia merutuki orang yang mebuat kalimat kalau laki-laki harus selalu mengalah kepada perempuan. Ini jelas tak adil. Kalau terus-terusan mengalah, bisa-bisa harga diri laki-laki terus-terusan di injak-injak. Ia jelas marah. Dia lelah harus terus mengalah.

"Tidak bisa. Saya yang duluan kok." tanpa peduli kepada perempuan itu, ia melenggang masuk. Sesegera mungkin sebelum hujan yang deras dengan genit membasahi bajunya.

"Laki-laki gila!" dengus perempuan itu.

***


Bus terus melaju. Dalam bus yang sunyi, Bhara lagi-lagi sibuk dengan pikirannya. Ia sibuk memandang deru hujan yang menetes dibalik jendela.

Tiba-tiba, asap mengepul mulai mengusik hidungnya. Asap rokok. Asap yang ia benci seumur hidup. Ia menoleh kearah sumber asap itu.

"Maaf, bisa tidak jangan merokok. Saya tidak suka asap rokok." katanya lembut.

Lalu, orang yang merokok itu menoleh. "Ini bukan bus milikmu. Semua orang berhak merokok. Tidak ada larangannya kok."

Bhara kesal. Setelah meneliti. Ternyata lagi-lagi ia dipertemukan takdir oleh perempuan yang sama yang ia temui di stasiun dan dipintu bus tadi. Perempuan yang menurut Bhara, sinting.

"Kamu membunuh saya, itu yang dilarang hukum di negara ini."

Orang itu mendecak sebal. "Sudah tiga kali hari ini kamu bikin saya kesal." ah, perempuan ini memang sinting. "Bisa tidak sekali saja manusia dibumi ini berbaik hati menghibur saya? Setidaknya jangan ganggu kesenangan saya."

Bhara diam berpikir. Bukannya, perempuan sinting ini juga sedang mengusik kesenangan orang? Bhara, yang sedang asik menikmati kesakitan hatinya?

Kemudian Bhara memilih diam. Daripada harus meladeni orang sinting. Bisa-bisa ia jadi ketularan sinting.

Bus kembali sunyi.

Hanya bunyi hujan diluar dan mesin.

***

"Kenapa sih, laki-laki suka sekali menyakiti hati perempuan?" perempuan disampingnya berbicara. Lebih tepatnya mengajak Bhara berbicara. Ia bahkan sudah menghadapkan badannya ke arah Bhara. Membuat laki-laki itu kebingungan.

"Kenapa juga, harus perempuan yang selalu jadi korban? Coba bayangkan, laki-laki seenaknya mendua, mentiga, bahkan meng-empatkan perempuan. Tanpa menyadari bahwa perempuan itu sakit hati. Mereka tak peka. Pantas saja, mereka hanya punya satu perasaan. Benar kan?" perempuan itu mengingat kisahnya dengan laki-laki yang ia kenal setahun belakangan. Yang ia cintai. Namun, ternyata ia dibohongi, saat dilamar laki-laki itu, ternyata laki-laki itu sudah beristri. Tidak hanya satu, tapi tiga.

Bhara sebenarnya enggan untuk komentar. Ia sedang ingin merenung. Tapi perempuan ini jelas tidak peka.

Bhara tak sependapat, ia sedikit kesal dengan argumen perempuan itu. "Bahkan perempuan lebih tega. Ia bisa saja berkata manis. Sok menangis, padahal tangisannya tidak selalu berarti tanda kelelahannya. Tapi tanda penghianatannya. Tanda perbudakannya. Supaya laki-laki luluh. Dan pada akhirnya harus mengalah." jelas-jelas, Bhara baru saja melalui perasaan itu.

Perempuan itu mendelik. Ia kemudian mematikan rokoknya dengan sepatunya. "Siapa yang bilang?"

"Benar kan?" kata Bhara. "Jangan pernah menyalahkan populasi hanya karena kesalahan satu spesies. Karena kamu sama saja sedang meracuni diri sendiri."

DEG.

"Seharusnya, kamu menyalahkan diri kamu. Siapa suruh jatuh cinta."

DEG.

Bus kembali sunyi. Entah kenapa Bhara merasa hatinya sedikit ringan. Mengeluarkan unek-uneknya kepada orang asing yang sinting, ternyata sedikit banyak membantunya.

Satu detik.

Dua detik

Hingga beribu-ribu detik berlalu. "Kamu sedang patah hati, ya?" tanya perempuan itu. Bhara menoleh.

"Kamu juga, perempuan sinting." Bhara segera menutup mulutnya begitu ia sadar apa yang sudah ia ucapkan.

Satu detik

Dua detik. Hingga beberapa detik berlalu tak ada respon dari perempuan itu.

Lalu, suara tawa pecah. Membuat kesunyian dalam bus pecah. Suara itu bahkan terdengar dominan dari deru hujan dan suara mesin. "Kamu lucu! Lucu sekali!" kata perempuan itu sambil memegangi perutnya.

Kening Bhara berkerut. "Baru kali ini ada orang yang mengataiku sinting. Biasanya aku di bilang perempuan simpanan, perempuan jalang, atau perempuan tak tau malu." dia tertawa lagi.

"Ceritakan padaku, apa yang membuat seorang laki-laki temperamen sepertimu menangis?"

DEG.

Bhara baru sadar. Kalau tangisannya tadi dilihat oleh perempuan ini.

"Kenapa? Laki-laki sok kuat? Kamu patah hati tapi menasehati orang lain. Kamu juga orang yang payah. Baru patah hati saja langsung pergi."

Eh, darimana dia tau?

"Jangan bodoh. Wajahmu sudah cukup menjelaskan semuanya." katanya seolah membaca pikiran Bhara.

Satu detik.

Dua detik.

Sunyi.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pacaran saja?" perempuan ini memang sinting. "Kamu Raja patah hati dan saya Ratu patah hati. Kita tak akan melukai. Kita akan saling mengobati. Bagaimana?"

Satu detik

Dua detik. Bhara masih diam. Lalu, detik berikutnya ia menatap wajah perempuan sinting itu.

Satu garis senyuman dari sudut bibir Bhara naik. "Kita belum saling mengenal."

"Kenapa kamu bodoh." perempuan itu kemudian mengulurkan tangan. Bhara tersenyum. Hatinya entah kenapa terasa sangat enteng.

BHARA!

BARRA!


Ucap mereka bebarengan. Kemudian tertawa. Dua manusia patah hati yang memiliki nasib sama bertemu. Saling menertawakan takdir masing-masing. Mereka sama. Bahkan nama mereka hampir mirip.

***


Bhara: berhentilah merokok!

Barra: Tidak bisa. Rokok membantuku mengusir patah hati

Bhara: kita akan mati bersama jika kamu terus merokok. Kamu tidak bisa baca ya, kan ada tulisan dikemasannya, Rokok membunuhmu!

Barra: tidak bisa BHARA!

Bhara: Ayolah. Katamu kita akan saling menyembuhkan?

Barra: (diam sejenak), baiklah. Perkataanmu adalah hukum bagiku

Bhara: anak baik.

Barra: Hei. Kamu tidak jadi menciumku??

***




Hanya kisah sederhana. Pertemuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sama-sama patah hati. Kemudian saling melengkapi untuk membalut luka masing-masing.

Tidak spesial. Semoga bisa sedikit menginspirasi.

0 komentar:

Posting Komentar