MATAHARI
sudah mulai tenggelam. Sepertinya, Medina melakukan kesalahan dengan
membiarkan Rhum dan Atik pulang duluan karena saat ini tidak ada manusia
yang bisa dimintai pertolongan saat sepeda kesayangannya ngadat tidak
mau dipakai lagi.
Sepulang dari La Fadz
tadi, Rhum dan Medina memutuskan untuk kembali ke sekretariat LDF kampus
untuk mengambil kendaraan masing-masing sekaligus melaporkan
perkembangan naskah teaternya kepada Dhani. Begitu bertemu dengan Atik,
mereka kemudian membahas plot novel Kak Gaza yang akan diubah
menjadi naskah lakon. Hal ini menurut Medina diperlukan karena ia butuh
masukan dari sahabat dekatnya sebelum besok dirapatkan dengan anggota
LDF lainnya.
Selesai rapat tipis-tipis
pukul 5 sore. Mereka berpisah. Biasanya Atik dan Rhum yang notabene
menggunakan sepeda motor karena posisi kosan mereka yang jauh akan
menunggui sampai Medina jalan duluan dengan sepedanya. Namun saat itu
Medina benar-benar membiarkan kedua sahabatnya pulang dulu. Ia tidak
tega melihat wajah kelelahan kedua sahabatnya.
Biasanya, beberapa anak
LDF memang lewat. Namun sayangnya, hari sudah hampir malam dan Medina
yakin anak LDF sudah jarang sekali lewat di parkiran khusus sepeda.
Ia harus memutar otaknya
untuk menemukan cara agar setidaknya bisa meninggalkan sepeda
kesayangannya tanpa perlu khawatir hilang ketika diletakkan di kampus.
Pasalnya, akhir-akhir ini kampus memang sedang tidak aman. Jangankan
sepeda, beberapa alat praktek anak kesehatan saja sering hilang secara
tiba-tiba. Oleh karena itu, Medina sedang sibuk mencari seseorang yang
dapat dimintai tolong sebelum malam menjelang.
Medina hampir frustasi
ketika mengecek ponselnya yang mati padahal ia ingin meminta Abangnya
untuk menjemput atau meminta ijin Ibu untuk pulang terlambat.
"Lo ada masalah?" Itu Nae, gadis berkucir satu yang selalu terlihat menempel
dengan Drew. Ia muncul dari arah belakang dan menginterupsi kegundahan
hati Medina. Meski begitu, Medina akhirnya bisa bernapas lega karena
kehadiran Nae membuat harapannya mendapat bantuan jadi terkabul.
"Iya. Sepedaku rusak lagi. Maklum udah tua."
"Apanya yang rusak?"
"Rantainya mungkin," kata Medina. "Biasanya kalau dibenerin sih bisa. Tapi nggak tahu kenapa hari ini susah banget."
"Gue bantuin mau?"
Medina mengangguk. Nae
tersenyum karena Medina menyambut bantuannya. Ia kemudian berbalik arah,
menyipitkan matanya mencari seseorang yang sedang sibuk menaruh
barang-barang di bagasi mobil. Dilihat dari sini, Medina bisa menebak
kalau dia adalah Drew. Cowok bermata sipit yang selalu dijuluki Jang
Geun Suk oleh Atik.
"DREW! SINI!" teriak
Nae. Yang diteriaki hanya menoleh kemudian sibuk lagi memasukkan
barang-barang ke bagasi mobil. Nae berdecak sebal. Ia paling sebal kalau
Drew tidak bisa diajak kerjasama seperti ini.
"DREW! Siniii! Gue butuh bantuan!" teriaknya sekali lagi.
"Woi! Buruaaan! Ada yang butuh bantuan nih!" Teriakan Nae yang ketiga kali itu membuat cowok yang dipanggilnya mendecak kesal.
Drew berlari kecil menghampiri mereka berdua. Rambutnya yang panjang terlihat berantakan. Kaos bertuliskan I'm A Drummer juga sudah sangat lusuh. Ia terlihat kelelahan begitu dilihat dari jarak yang dekat.
"Paan, sih! Teriakan lo bikin telinga gue mau pecah tau, nggak! Nenek lampir lo!"
Nae memanyunkan bibirnya
dan segera mencubit lengan Drew saat cowok itu akan memakinya lagi.
"Berisik," katanya. "Benerin sepedanya Medina, gih!"
Drew meringis kesakitan dan bersiap melakukan serangan balik. Tapi ekspresinya berubah ketika menyadari ada Medina di samping kanannya.
"Oh, hai, Medina. Lo anak Rohis yang kemaren itu kan?" katanya. Tersenyum amat lebar sembari melambaikan tangannya dengan sangat bersemangat.
Medina mengangguk sambil sedikit tertawa. Sementara Nae justru mual karena tingkah Drew yang sok akrab.
"Sepeda lo rusak?"
"Iyalah kampret! Udah gue bilang juga."
"Sssttt, berisik lo, Nae. Gue tanyanya Medina."
Nae mendecak.
"Iya. Kayaknya sih rantainya lepas lagi," jawab Medina segera karena takut Nae dan Drew akan berantem lagi.
"Oke, gue coba cek dulu, ya."
Medina mengangguk. Ia
hanya berharap bahwa kali ini sepedanya akan baik-baik saja dan bisa
diperbaiki segera. Pasalnya malam ini ia juga harus mengerjakan beberapa
tugas kuliah yang menumpuk dan segera membaca novel Kak Gaza agar bisa
diubah menjadi naskah lakon besok pagi. Ia tidak akan punya banyak waktu
jika insiden ini sampai berkepanjangan. Belum lagi, keluarganya yang
akan khawatir.
Drew berjongkok dan
mulai memeriksa sepeda Medina. Beberapa kali keningnya mengernyit.
Sementara Nae menerangi pandangan Drew dengan senter dari ponselnya.
"Ternyata rantai sepedanya putus, Mei."
"Putus?"
Medina menghela napas
panjang. Sekarang ia makin bingung bagaimana ia harus pulang. Melihat
ekspresi Medina yang kebingungan, Nae berinisiatif. "Lo ikut kita aja
kalau memang butuh tumpangan buat pulang. Kebetulan kami sih memang mau
pergi buat persiapan manggung. Boleh lah nanti mampir dulu buat nganter
lo."
"Nebeng mobil kita maksud lo, Nae?"
"Yaiyalah, Drew."
"Tapi..."
Nae menyenggol lengan Drew yang terlihat tidak setuju dengan ide Nae. Bukannya apa-apa, tapi Drew cukup paham dengan konsep interaksi yang dianut Medina. Meski tidak mengerti banyak, tapi dari penampilan dan sikap Medina yang sangat menjaga
saja, Drew bisa menebak kalau Medina pasti akan sangat risih jika
diajak oleh sembarangan orang. Apalagi ada percampuran cewek cowok di
dalamnya. Setidaknya hal itu lah yang membuatnya sedikit ragu saat ingin
menawari Medina bantuan.
"Tenang, Mei. Di mobil
cuma ada gue, Drew dan Ghazi. Mereka berdua bisa duduk di depan dan lo
sama gue di belakang." Nae menambahi, memberi keyakinan pada Medina yang
ragu-ragu.
"Gimana? Daripada lo
sendirian dan kebingungan gini kan?" tanya Nae lagi. "Lagipula kalau
udah hampir malem gini, kampus kita agak kurang aman buat lo."
"Terus sepedaku?"
"Gampang itu. Kita taroh
aja di gudang samping sekretariat RK. Gue jamin aman. Besoknya kita
bantuin untuk diperbaiki di bengkel. Gimana?"
Kali ini Medina tidak
punya pilihan. Ia harus segera memutuskan sebelum malam menjelang dan ia
tidak bisa ngapa-ngapain. Akhirnya ia sepakat dengan tawaran dari Nae.
☕☕☕
Tadinya Medina pikir, dia akan berada dalam posisi yang sangat awkward ketika berada dalam lingkaran pertemanan antara Nae, Drew dan juga Ghazi. Mungkin ia tidak akan masalah jika hanya ada Nae dan Drew. Mereka adalah tipe orang yang easy going dan sangat bisa mencairkan suasana. Setidaknya beberapa menit bersama mereka membuatnya terbiasa dengan kegaduhan mereka yang absurd. Ditambah lagi, Nae dan Drew justru sering memancing dialog saat Medina diam karena tidak tahu harus ngobrol soal apa.
Tetapi beda cerita kalau ia berhadapan dengan Ghazi.
Bakda sholat isya tadi,
Nae dan Drew menawari Medina untuk mengantarnya pulang dan mereka akan
melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan barang-barang kebutuhan teater
di panti. Tapi Medina menolak. Ia merasa tidak enak jika ia harus
pulang begitu saja sementara melihat ketiga orang itu sedang butuh
bantuan. Ia seperti mengharuskan diri menawarkan bantuan juga. Bagaimana
pun, bantuan Nae dan Drew sangat bermanfaat malam ini. Akhirnya ia
memutuskan untuk meminjam ponsel Nae dan memberitahu bahwa ia akan
terlambat pulang. Tetapi ya itu... interaksinya dengan Ghazi sejauh ini
hanya sekedar saling tatap, mengucapkan kata-kata pendek sebagai
jawaban, dan anggukan sebagai persetujuan. Sepertinya Ghazi terlihat
tidak nyaman ada Medina di sana. Setidaknya itulah yang ada di pikiran
Medina saat melihat Ghazi diam seribu bahasa.
"Ghazi emang orangnya
irit bicara. Jadi lo tenang aja. Meski sikapnya nyebelin kayak gitu,
yakin lah, dia itu paling nggak bisa ngelihat orang kesusahan dan butuh
bantuan kayak lo. Jadi nggak usah diambil pusing kalau dia itu kelihatan
dingin. Selow aja," kata Nae. Melihat ketidaknyamanan Medina saat berada di mobil.
☕☕☕
Pukul 19.30, mereka sampai di Pantiasuhan Lentera--salah satu panti garapan RK.
Medina baru paham
mengenai sibuknya orang-orang teater saat bersama mereka. Di mobil tadi
Nae dan Drew banyak cerita bahwa setiap minggunya RK memang biasa
mengadakan teater keliling untuk menghibur anak-anak yatim di berbagai
daerah. Setidaknya ada 3 panti asuhan tempat mereka melakukan kegiatan
teater keliling. Selain tujuannya untuk menghibur anak yatim dan
masyarakat sekitar, kata Nae, sesekali teater RK juga dilakukan untuk
penggalangan dana dan menarik simpati masyarakat terhadap panti.
Penampilan mereka cukup
digemari oleh masyarakat. Apalagi sejak beberapa wartawan meliput, lebih
banyak masyarakat yang tahu dan memiliki keinginan untuk menyumbang ke
panti asuhan yang mereka kunjungi. Hal itulah yang membuat RK rajin dan
makin semangat mengadakan teater sampai niat membuat properti yang
benar-benar serius ke beberapa panti. Nae bilang, ini semua awalnya ide
Ghazi.
Sayangnya, ada beberapa
masalah yang membuat beberapa anggota RK tidak mau lagi untuk membantu
tampil di panti akhir-akhir ini. Yang kata Drew, membuat Ghazi tambah
stres dan sering diam belakangan ini. Drew cerita, hal itu karena
beberapa anggota RK sedang melakukan silent treatment sebagai
bentuk ketidaksetujuannya untuk melakukan kolaborasi dengan Rohis. Saat
Medina tanya mengapa RK tetap mau melakukannya, Drew bilang, "si Boss
yang maksa menerima. Bahkan lo tahu sendiri kan kalau dia bela-belain
buat naskah?"
Hal itu kemudian
mengusik pikiran Medina. Membuatnya merasa bersalah karena bersikap
tidak baik dengan Ghazi. Setidaknya, ia juga sempat berpikir bahwa Ghazi
lah yang menebar virus membenci tanpa sebab kepada anak-anak Rohis.
Bagaimana pun
menyebalkannya Ghazi, ia pasti punya alasan kenapa memutuskan untuk
menerima teater persahabatan ini meski awalnya ia adalah orang yang
paling keras menolak konsep kolaborasi dengan Rohis.
Setelah menyelesaikan
pekerjaan untuk memindahkan properti, mereka berempat diminta untuk
istirahat di halaman samping oleh Bunda Aisyah--pengasuh panti Lentera.
Mereka disuguhi berbagai cemilan dan teh hangat.
Melihat betapa mereka
memperlakukan Medina dengan baik. Meski cara pandang, cara berpakaian
dan jalan hidup mereka yang berbanding terbalik, Medina sudah mulai
nyaman bersama mereka.
Cerita-cerita kecil dari
Nae dan Drew sedikit banyak merubah pandangan Medina terhadap RK.
Menurut pandangan Medina, tidak semua orang yang berpikiran bebas dan
belum mau bergabung dengan lembaga-lembaga dakwah atau kelompok
keislaman seperti Nae, Drew dan Ghazi tidak mau berafiliasi dengan
Islam. Menurutnya, mereka hanya belum terketuk pintu hatinya untuk
mencoba menerapkan syariat Islam sepertinya.
Hal inilah yang kemudian
menjadi PR besar anak Rohis, setidaknya Medina. Ia juga harus membuat
pola pikir anak di luar Rohis berubah. Bahwa mengikat diri dengan patuh
pada hukum Allah itu tidak buruk, apalagi mengekang kebebasan diri. Bisa
jadi, banyak orang yang ingin berubah, ingin lebih baik. Tapi mereka
tidak tahu memulainya dari mana. Bisa jadi juga, banyak orang yang tahu
cara memulainya. Tapi ia tidak bisa bertahan karena lingkungan hidupnya
yang tidak memungkinkan.
Medina jadi teringat
kata-kata dari salah seorang Ustadz favoritnya. Ustadz Oemar Mita, Lc.
Bahwa ada tiga alasan mengapa hijrah menjadi sesuatu yang perlu
dihindari oleh beberapa orang.
Pertama, karena pesona
dunia. Mereka terlalu nyaman dengan kenikmatan dunia yang fana. Terlalu
mengikat diri dan tidak mau mengenal bagaimana kehidupan setelah di
dunia. Kedua, pengaruh lingkungan yang buruk. Yang kemudian membuatnya
belum atau tidak bisa mengenal bagaimana yang baik dan buruk menurut
kacamata agama. Ketiga, panjang angan-angan. Merasa bahwa hidupnya masih
panjang. Bahwa mati adalah pemutus segala kenikmatan yang diperolehnya.
Bahwa mereka belum memahami bagaimana kehidupan setelah di dunia. Apa
yang mereka akan dapat ketika melakukan dosa, dan apa yang mereka akan
dapatkan ketika mereka mau taat.
Kini, Medina tahu apa
yang akan dilakukannya. Bahwa cara terbaik untuk mendakwahi seseorang
adalah menjadi orang paling dekatnya. Setidaknya Medina harus membaur,
tanpa harus tercampur.
☕☕☕
Versi lengkapnya bisa dibaca di wattpad @eniristiani dengan cerita berjudul La Fadz atau DI SINI!