Minggu, 16 September 2018

THE OTHER SIDE

MATAHARI sudah mulai tenggelam. Sepertinya, Medina melakukan kesalahan dengan membiarkan Rhum dan Atik pulang duluan karena saat ini tidak ada manusia yang bisa dimintai pertolongan saat sepeda kesayangannya ngadat tidak mau dipakai lagi.
Sepulang dari La Fadz tadi, Rhum dan Medina memutuskan untuk kembali ke sekretariat LDF kampus untuk mengambil kendaraan masing-masing sekaligus melaporkan perkembangan naskah teaternya kepada Dhani. Begitu bertemu dengan Atik, mereka kemudian membahas plot novel Kak Gaza yang akan diubah menjadi naskah lakon. Hal ini menurut Medina diperlukan karena ia butuh masukan dari sahabat dekatnya sebelum besok dirapatkan dengan anggota LDF lainnya.
Selesai rapat tipis-tipis pukul 5 sore. Mereka berpisah. Biasanya Atik dan Rhum yang notabene menggunakan sepeda motor karena posisi kosan mereka yang jauh akan menunggui sampai Medina jalan duluan dengan sepedanya. Namun saat itu Medina benar-benar membiarkan kedua sahabatnya pulang dulu. Ia tidak tega melihat wajah kelelahan kedua sahabatnya.
Biasanya, beberapa anak LDF memang lewat. Namun sayangnya, hari sudah hampir malam dan Medina yakin anak LDF sudah jarang sekali lewat di parkiran khusus sepeda.
Ia harus memutar otaknya untuk menemukan cara agar setidaknya bisa meninggalkan sepeda kesayangannya tanpa perlu khawatir hilang ketika diletakkan di kampus. Pasalnya, akhir-akhir ini kampus memang sedang tidak aman. Jangankan sepeda, beberapa alat praktek anak kesehatan saja sering hilang secara tiba-tiba. Oleh karena itu, Medina sedang sibuk mencari seseorang yang dapat dimintai tolong sebelum malam menjelang.
Medina hampir frustasi ketika mengecek ponselnya yang mati padahal ia ingin meminta Abangnya untuk menjemput atau meminta ijin Ibu untuk pulang terlambat.
"Lo ada masalah?" Itu Nae, gadis berkucir satu yang selalu terlihat menempel dengan Drew. Ia muncul dari arah belakang dan menginterupsi kegundahan hati Medina. Meski begitu, Medina akhirnya bisa bernapas lega karena kehadiran Nae membuat harapannya mendapat bantuan jadi terkabul.
"Iya. Sepedaku rusak lagi. Maklum udah tua."

"Apanya yang rusak?"

"Rantainya mungkin," kata Medina. "Biasanya kalau dibenerin sih bisa. Tapi nggak tahu kenapa hari ini susah banget."

"Gue bantuin mau?"

Medina mengangguk. Nae tersenyum karena Medina menyambut bantuannya. Ia kemudian berbalik arah, menyipitkan matanya mencari seseorang yang sedang sibuk menaruh barang-barang di bagasi mobil. Dilihat dari sini, Medina bisa menebak kalau dia adalah Drew. Cowok bermata sipit yang selalu dijuluki Jang Geun Suk oleh Atik. 

"DREW! SINI!" teriak Nae. Yang diteriaki hanya menoleh kemudian sibuk lagi memasukkan barang-barang ke bagasi mobil. Nae berdecak sebal. Ia paling sebal kalau Drew tidak bisa diajak kerjasama seperti ini.

"DREW! Siniii! Gue butuh bantuan!" teriaknya sekali lagi.

"Woi! Buruaaan! Ada yang butuh bantuan nih!" Teriakan Nae yang ketiga kali itu membuat cowok yang dipanggilnya mendecak kesal. 

Drew berlari kecil menghampiri mereka berdua. Rambutnya yang panjang terlihat berantakan. Kaos bertuliskan I'm A Drummer juga sudah sangat lusuh. Ia terlihat kelelahan begitu dilihat dari jarak yang dekat.

"Paan, sih! Teriakan lo bikin telinga gue mau pecah tau, nggak! Nenek lampir lo!"

Nae memanyunkan bibirnya dan segera mencubit lengan Drew saat cowok itu akan memakinya lagi. "Berisik," katanya. "Benerin sepedanya Medina, gih!"

Drew meringis kesakitan dan bersiap melakukan serangan balik. Tapi ekspresinya berubah ketika menyadari ada Medina di samping kanannya.

"Oh, hai, Medina. Lo anak Rohis yang kemaren itu kan?" katanya. Tersenyum amat lebar sembari melambaikan tangannya dengan sangat bersemangat.

Medina mengangguk sambil sedikit tertawa. Sementara Nae justru mual karena tingkah Drew yang sok akrab.

"Sepeda lo rusak?" 

"Iyalah kampret! Udah gue bilang juga."

"Sssttt, berisik lo, Nae. Gue tanyanya Medina."

Nae mendecak.

"Iya. Kayaknya sih rantainya lepas lagi," jawab Medina segera karena takut Nae dan Drew akan berantem lagi.

"Oke, gue coba cek dulu, ya."

Medina mengangguk. Ia hanya berharap bahwa kali ini sepedanya akan baik-baik saja dan bisa diperbaiki segera. Pasalnya malam ini ia juga harus mengerjakan beberapa tugas kuliah yang menumpuk dan segera membaca novel Kak Gaza agar bisa diubah menjadi naskah lakon besok pagi. Ia tidak akan punya banyak waktu jika insiden ini sampai berkepanjangan. Belum lagi, keluarganya yang akan khawatir.

Drew berjongkok dan mulai memeriksa sepeda Medina. Beberapa kali keningnya mengernyit. Sementara Nae menerangi pandangan Drew dengan senter dari ponselnya. 

"Ternyata rantai sepedanya putus, Mei."

"Putus?"

Medina menghela napas panjang. Sekarang ia makin bingung bagaimana ia harus pulang. Melihat ekspresi Medina yang kebingungan, Nae berinisiatif. "Lo ikut kita aja kalau memang butuh tumpangan buat pulang. Kebetulan kami sih memang mau pergi buat persiapan manggung. Boleh lah nanti mampir dulu buat nganter lo."

"Nebeng mobil kita maksud lo, Nae?"

"Yaiyalah, Drew."

"Tapi..."

Nae menyenggol lengan Drew yang terlihat tidak setuju dengan ide Nae. Bukannya apa-apa, tapi Drew cukup paham dengan konsep interaksi yang dianut Medina. Meski tidak mengerti banyak, tapi dari penampilan dan sikap Medina yang sangat menjaga saja, Drew bisa menebak kalau Medina pasti akan sangat risih jika diajak oleh sembarangan orang. Apalagi ada percampuran cewek cowok di dalamnya. Setidaknya hal itu lah yang membuatnya sedikit ragu saat ingin menawari Medina bantuan.

"Tenang, Mei. Di mobil cuma ada gue, Drew dan Ghazi. Mereka berdua bisa duduk di depan dan lo sama gue di belakang." Nae menambahi, memberi keyakinan pada Medina yang ragu-ragu.

"Gimana? Daripada lo sendirian dan kebingungan gini kan?" tanya Nae lagi. "Lagipula kalau udah hampir malem gini, kampus kita agak kurang aman buat lo."

"Terus sepedaku?"

"Gampang itu. Kita taroh aja di gudang samping sekretariat RK. Gue jamin aman. Besoknya kita bantuin untuk diperbaiki di bengkel. Gimana?"

Kali ini Medina tidak punya pilihan. Ia harus segera memutuskan sebelum malam menjelang dan ia tidak bisa ngapa-ngapain. Akhirnya ia sepakat dengan tawaran dari Nae.

☕☕☕

Tadinya Medina pikir, dia akan berada dalam posisi yang sangat awkward ketika berada dalam lingkaran pertemanan antara Nae, Drew dan juga Ghazi. Mungkin ia tidak akan masalah jika hanya ada Nae dan Drew. Mereka adalah tipe orang yang easy going dan sangat bisa mencairkan suasana. Setidaknya beberapa menit bersama mereka membuatnya terbiasa dengan kegaduhan mereka yang absurd. Ditambah lagi, Nae dan Drew justru sering memancing dialog saat Medina diam karena tidak tahu harus ngobrol soal apa.

Tetapi beda cerita kalau ia berhadapan dengan Ghazi.

Bakda sholat isya tadi, Nae dan Drew menawari Medina untuk mengantarnya pulang dan mereka akan melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan barang-barang kebutuhan teater di panti. Tapi Medina menolak. Ia merasa tidak enak jika ia harus pulang begitu saja sementara melihat ketiga orang itu sedang butuh bantuan. Ia seperti mengharuskan diri menawarkan bantuan juga. Bagaimana pun, bantuan Nae dan Drew sangat bermanfaat malam ini. Akhirnya ia memutuskan untuk meminjam ponsel Nae dan memberitahu bahwa ia akan terlambat pulang. Tetapi ya itu... interaksinya dengan Ghazi sejauh ini hanya sekedar saling tatap, mengucapkan kata-kata pendek sebagai jawaban, dan anggukan sebagai persetujuan. Sepertinya Ghazi terlihat tidak nyaman ada Medina di sana. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Medina saat melihat Ghazi diam seribu bahasa.

"Ghazi emang orangnya irit bicara. Jadi lo tenang aja. Meski sikapnya nyebelin kayak gitu, yakin lah, dia itu paling nggak bisa ngelihat orang kesusahan dan butuh bantuan kayak lo. Jadi nggak usah diambil pusing kalau dia itu kelihatan dingin. Selow aja," kata Nae. Melihat ketidaknyamanan Medina saat berada di mobil.

☕☕☕
Pukul 19.30, mereka sampai di Pantiasuhan Lentera--salah satu panti garapan RK.
Medina baru paham mengenai sibuknya orang-orang teater saat bersama mereka. Di mobil tadi Nae dan Drew banyak cerita bahwa setiap minggunya RK memang biasa mengadakan teater keliling untuk menghibur anak-anak yatim di berbagai daerah. Setidaknya ada 3 panti asuhan tempat mereka melakukan kegiatan teater keliling. Selain tujuannya untuk menghibur anak yatim dan masyarakat sekitar, kata Nae, sesekali teater RK juga dilakukan untuk penggalangan dana dan menarik simpati masyarakat terhadap panti. 

Penampilan mereka cukup digemari oleh masyarakat. Apalagi sejak beberapa wartawan meliput, lebih banyak masyarakat yang tahu dan memiliki keinginan untuk menyumbang ke panti asuhan yang mereka kunjungi. Hal itulah yang membuat RK rajin dan makin semangat mengadakan teater sampai niat membuat properti yang benar-benar serius ke beberapa panti. Nae bilang, ini semua awalnya ide Ghazi. 

Sayangnya, ada beberapa masalah yang membuat beberapa anggota RK tidak mau lagi untuk membantu tampil di panti akhir-akhir ini. Yang kata Drew, membuat Ghazi tambah stres dan sering diam belakangan ini. Drew cerita, hal itu karena beberapa anggota RK sedang melakukan silent treatment sebagai bentuk ketidaksetujuannya untuk melakukan kolaborasi dengan Rohis. Saat Medina tanya mengapa RK tetap mau melakukannya, Drew bilang, "si Boss yang maksa menerima. Bahkan lo tahu sendiri kan kalau dia bela-belain buat naskah?"

Hal itu kemudian mengusik pikiran Medina. Membuatnya merasa bersalah karena bersikap tidak baik dengan Ghazi. Setidaknya, ia juga sempat berpikir bahwa Ghazi lah yang menebar virus membenci tanpa sebab kepada anak-anak Rohis.

Bagaimana pun menyebalkannya Ghazi, ia pasti punya alasan kenapa memutuskan untuk menerima teater persahabatan ini meski awalnya ia adalah orang yang paling keras menolak konsep kolaborasi dengan Rohis.

Setelah menyelesaikan pekerjaan untuk memindahkan properti, mereka berempat diminta untuk istirahat di halaman samping oleh Bunda Aisyah--pengasuh panti Lentera. Mereka disuguhi berbagai cemilan dan teh hangat.

Melihat betapa mereka memperlakukan Medina dengan baik. Meski cara pandang, cara berpakaian dan jalan hidup mereka yang berbanding terbalik, Medina sudah mulai nyaman bersama mereka.
Cerita-cerita kecil dari Nae dan Drew sedikit banyak merubah pandangan Medina terhadap RK. Menurut pandangan Medina, tidak semua orang yang berpikiran bebas dan belum mau bergabung dengan lembaga-lembaga dakwah atau kelompok keislaman seperti Nae, Drew dan Ghazi tidak mau berafiliasi dengan Islam. Menurutnya, mereka hanya belum terketuk pintu hatinya untuk mencoba menerapkan syariat Islam sepertinya.

Hal inilah yang kemudian menjadi PR besar anak Rohis, setidaknya Medina. Ia juga harus membuat pola pikir anak di luar Rohis berubah. Bahwa mengikat diri dengan patuh pada hukum Allah itu tidak buruk, apalagi mengekang kebebasan diri. Bisa jadi, banyak orang yang ingin berubah, ingin lebih baik. Tapi mereka tidak tahu memulainya dari mana. Bisa jadi juga, banyak orang yang tahu cara memulainya. Tapi ia tidak bisa bertahan karena lingkungan hidupnya yang tidak memungkinkan.

Medina jadi teringat kata-kata dari salah seorang Ustadz favoritnya. Ustadz Oemar Mita, Lc. Bahwa ada tiga alasan mengapa hijrah menjadi sesuatu yang perlu dihindari oleh beberapa orang.

Pertama, karena pesona dunia. Mereka terlalu nyaman dengan kenikmatan dunia yang fana. Terlalu mengikat diri dan tidak mau mengenal bagaimana kehidupan setelah di dunia. Kedua, pengaruh lingkungan yang buruk. Yang kemudian membuatnya belum atau tidak bisa mengenal bagaimana yang baik dan buruk menurut kacamata agama. Ketiga, panjang angan-angan. Merasa bahwa hidupnya masih panjang. Bahwa mati adalah pemutus segala kenikmatan yang diperolehnya. Bahwa mereka belum memahami bagaimana kehidupan setelah di dunia. Apa yang mereka akan dapat ketika melakukan dosa, dan apa yang mereka akan dapatkan ketika mereka mau taat.

Kini, Medina tahu apa yang akan dilakukannya. Bahwa cara terbaik untuk mendakwahi seseorang adalah menjadi orang paling dekatnya. Setidaknya Medina harus membaur, tanpa harus tercampur.

☕☕☕
Versi lengkapnya bisa dibaca di wattpad @eniristiani dengan cerita berjudul La Fadz atau DI SINI!