Kita sering
bertanya, manakah yang lebih dulu harus diperbaiki, hati dulu baru fisik atau
fisik dulu hati kemudian?
▪▪▪
credit characters from La Fadz
:Nae & Medina:
"NAE, nanti sore jadi kan
ikut kajian bareng aku dan temen-temen?" tanya Medina, yang baru saja
duduk di samping Nae. Siang itu, Nae tiba-tiba menelepon Medina dan memintanya
untuk menemuinya di taman dekat masjid.
Tidak menjawab
pertanyaan Medina, Nae justru bertanya, "Mei, menurut lo perubahan gue ini
terlalu buru-buru nggak sih?"
Kening Medina
mengernyit, ia sudah menduga ada sesuatu yang ingin diungkapkan Nae.
Sudah dua bulan ini Nae memutuskan untuk
mengenakan kerudung. Perubahan yang sangat disyukuri Medina sebagai sahabat
barunya. Meski dua bulan ini, Nae hampir ingin melepas kerudungnya berkali-kali
karena nggak tahan dengan perkataan teman-temannya. Medina sampai hafal tiap
kali Nae murung dan tiba-tiba memintanya untuk bertemu seperti ini, pasti hati
Nae sedang tidak tenang memikirkan perubahannya.
Sebenarnya, Nae hanya perlu diyakinkan saja.
"Kan aku udah bilang kalau...."
"Tapi gue ngerasa emang perubahan gue
terlalu mendadak, Mei. Temen-temen gue bilang kalau gue terlalu memaksakan
diri. Apalagi, ya... apalagi karena gue tiba-tiba deket sama lo."
Medina tersenyum. Tidak ada yang salah dengan
perkataan Nae. Ia tahu betul lingkungan Nae.
Medina menghela napas, ia tersenyum menatap
Nae.
"Gini, Nae... sebelum kamu bertanya apakah
perubahanmu itu terlalu mendadak atau enggak, coba kamu tanya sama diri kamu
sendiri. Apa yang membuat kamu berubah? Dan apakah perubahan yang kamu alami
itu ditunjukan buat seseorang?"
Nae menggeleng, "Demi Allah, perubahan gue pure karena
gue emang ngerasa kehidupan dulu gue itu salah. Nggak ada maksud buat caper
atau gimana-gimana."
Medina tersenyum. Mengangguk.
"Satu pertanyaan lagi."
Nae kini mulai fokus pada Medina.
"Menurut kamu lebih baik mana, hijrah hati
dulu atau hijrah fisik dulu?"
Nae terdiam, menggigit bibir bawahnya.
"Eum, apa ya. Kalau gue bilang hati dulu, nanti kayak kebanyakan orang. Basi banget.
Jadi ya... mungkin fisik dulu kali ya. Kayak gue ini. Ya, sembari pelan-pelan
belajar yang lainnya."
Medina mengangguk-angguk. "Bener banget
sih, Nae. Tapi kalau menurutku dua-duanya itu penting."
Kening Nae mengernyit, tanda ia penasaran.
"Berapa banyak orang yang menunda-nunda
perubahan fisik yang lebih baik, hanya karena mengaku ingin mengubah hatinya
dulu? Berapa banyak orang yang fisiknya sudah baik. Sudah berkerudung misalnya.
Tapi... sholat aja lewat terus. Padahal amalan yang pertama kali dihisab adalah
sholat. Pakai kerudung, tapi pacaran, berdua-duaan. Bahkan kerudung jaman
sekarang bukan lagi digunakan sebagai identitas seorang muslimah--bisa
melindunginya dari fitnah. Fungsinya udah berubah jadi fashion
trend aja. Jadi antara perubahan hati maupun fisik itu penting. Nggak
bisa salah satu aja."
Nae mengangguk-angguk.
"Pernah dengar istilah berilmu sebelum
berkata dan beramal?"
"Eum, kayaknya sih pernah."
"Yap, itu adalah perkataan dari perawi
hadist terkemuka, Imam Al Bukhori. Al ilmu qobla al qauli wal amali. Ilmu
sebelum ucapan dan perbuatan. Menurutku, semua jenis perubahan itu pasti
didasari atas sebuah pemikiran. Sama seperti ketika kamu berubah jadi mau pakai
kerudung. Bukannya kamu pernah bilang kalau sejak dulu, keluargamu ingin sekali
kamu mengenakan kerudung? Nah, dari situ lah kamu jadi berpikir emang kenapa
harus berkerudung, emang kerudung itu apa? Emang manfaat kerudung itu kayak
apa? Sehingga pada titik tertentu hati kamu benar-benar siap melakukan
perubahan secara fisik.
"Benar. Kalau hati itu perlu disiapkan.
Tapi menunggu hingga hati benar-benar seratus persen siap itu akan sangat
banyak membuang waktu. Jangan-jangan itu hanya alasan kita aja buat menunda
kebaikan. Jadi, akan jauh lebih baik kalau kita cepat menerjemahkan kode dari
Allah. Seperti yang kamu lakukan, Nae.
"Bagiku, perubahanmu nggak terburu-buru
atau tiba-tiba. Justru kamu harus bersyukur. Di antara ribuan muslimah di
luaran sana yang menunggu hatinya mantap untuk berkerudung, di antara ribuan
muslimah yang sudah berkerudung tapi suka buka tutup apalagi sampai
menjadikannya sekedar fashion trend, kamu digerakkan oleh Allah
untuk menjalani keduanya dengan seimbang. Masih mau belajar pelan-pelan,
sembari memperbaiki hati dan diri. Memperbanyak ilmu agama."
Nae tersenyum. Ia diam-diam membenarkan apa
yang Medina katakan.
"Muslim itu harus bergerak berdasarkan
pemahaman. Bukan hanya sekedar apa kata perasaan. Apalagi gampang baper sama
perkataan orang lain. Kebenaran itu nggak diukur dari seberapa banyak orang
lain mengatakan benar lho, Nae. Islam punya standar kebenaran yang mutlak,
al-Qur'an dan hadist. Kalau orang lain menilai kita tidak berdasarkan kedua
standar itu ya... cuekin aja. Jadikan sebagai ujian kesabaran."
Nae terkekeh. "Iya ih. Kok gue jadi
gampang baper sih akhir-akhir ini. Biasanya juga cuek-cuek aja sama apa kata
orang. Bego emang."
Medina tertawa.
"Mau tahu nggak rahasia besar bagaimana
caranya supaya apapun yang kita lakukan jadi semakin membuat kita bersemangat.
Bahkan kalau tidak diapresiasi orang, nggak ada yang mau bayar kita, dan jadi
membuat kita ikhlas terus?"
"Apa?"
"Ilmu agama."
"Hah?"
"Iya, seperti yang Imam Al Bukhori bilang.
Ilmu sebelum berkata dan beramal. Bayangin deh, ketika kita kuliah misalnya.
Kalau kita pikir kuliah biar dapet ilmu dan biar cepet lulus dan dapet kerjaan
doang, saat kita nggak dapet apa yang kita inginkan kita pasti kecewa. Tapi
kalau kita tahu, ketika kita kuliah kita sedang memperbaiki sebuah
peradaban--karena seorang muslimah juga harus cerdas, dan secara otomatis
mendapat pahala dari Allah, dapet surga. Kita pasti nggak setengah-setengah
kuliahnya.
"Bayangin, jika ada seorang ibu tahu kalau
ketika dia menjadi istri yang taat, melahirkan anak dan mendidik anak itu
pahalanya setara seperti seorang laki-laki yang berjihad di medan perang, pasti
nggak ada ibu-ibu yang malu kalau profesinya adalah ibu rumah tangga padahal
dia lulusan S3. Iya nggak?"
Kali ini anggukan Nae lebih mantap.
"Kok iya, ya, Mei. Gue jadi malu nih usia
udah kepala dua lebih tapi cetek banget soal agama. Bahkan gue selalu
mempertanyakan apa-apa yang jadi kewajiban gue sebagai muslimah. Astaghfirullah
gueee."
"Nggak apa-apa, Nae. Bagus malahan. Bahkan
dalam al-Qur'an sudah disebutkan bahwa orang-orang yang berpikir itu
beruntung."
Nae tersenyum. Kali ini hatinya lebih tenang.
"Jadi gimana, udah nemu jawabannya belum
atas pertanyaan-pertanyaan kamu? Apa perubahan kamu ini buru-buru dan tiba-tiba
banget?"
Nae tertawa. Ia bahagia bisa beremu dengan
Medina.
"Thanks, Mei. Udah ngeyakinin gue dan ngasih
tahu banyak ilmu hari ini."
"Never mind. Lain kali gantian,
ya?"
"Ah, gue mah apa sih. Cuma remukan biskuit
Kong Guan."
"Yeee, itu juga enak kok."
Mereka tertawa bersama.
"Jadi gimana? Mau ikut kajian nggak nanti
sore? Temanya bagus lho. Muhasabah Diri."
"Eum, oke deh. Eh tapi... kerudung gue
belum bisa sepanjang elo, Mei. Nggak apa-apa?"
"Ih apa sih? Keshalihahan seseorang nggak
diukur dari seberapa panjang kerudungnya aja tahuuu. Perubahan itu pelan-pelan.
Oke?"
Nae mengangguk. Dalam hatinya semakin tumbuh
kemantapan dan keinginan untuk berubah lebih baik lagi.
◽️◽️◽️
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang
bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
(QS.Al-Baqarah:164)
◽️◽️◽️