Senin, 13 Juli 2020

Perubahan Hati atau Fisik Dulu?

Kita sering bertanya, manakah yang lebih dulu harus diperbaiki, hati dulu baru fisik atau fisik dulu hati kemudian?

▪▪▪


credit characters from La Fadz
:Nae & Medina:



 

"NAE, nanti sore jadi kan ikut kajian bareng aku dan temen-temen?" tanya Medina, yang baru saja duduk di samping Nae. Siang itu, Nae tiba-tiba menelepon Medina dan memintanya untuk menemuinya di taman dekat masjid.

Tidak menjawab pertanyaan Medina, Nae justru bertanya, "Mei, menurut lo perubahan gue ini terlalu buru-buru nggak sih?"

Kening Medina mengernyit, ia sudah menduga ada sesuatu yang ingin diungkapkan Nae.

Sudah dua bulan ini Nae memutuskan untuk mengenakan kerudung. Perubahan yang sangat disyukuri Medina sebagai sahabat barunya. Meski dua bulan ini, Nae hampir ingin melepas kerudungnya berkali-kali karena nggak tahan dengan perkataan teman-temannya. Medina sampai hafal tiap kali Nae murung dan tiba-tiba memintanya untuk bertemu seperti ini, pasti hati Nae sedang tidak tenang memikirkan perubahannya.

Sebenarnya, Nae hanya perlu diyakinkan saja.

"Kan aku udah bilang kalau...."

"Tapi gue ngerasa emang perubahan gue terlalu mendadak, Mei. Temen-temen gue bilang kalau gue terlalu memaksakan diri. Apalagi, ya... apalagi karena gue tiba-tiba deket sama lo."

Medina tersenyum. Tidak ada yang salah dengan perkataan Nae. Ia tahu betul lingkungan Nae.

Medina menghela napas, ia tersenyum menatap Nae.

"Gini, Nae... sebelum kamu bertanya apakah perubahanmu itu terlalu mendadak atau enggak, coba kamu tanya sama diri kamu sendiri. Apa yang membuat kamu berubah? Dan apakah perubahan yang kamu alami itu ditunjukan buat seseorang?"

Nae menggeleng, "Demi Allah, perubahan gue pure karena gue emang ngerasa kehidupan dulu gue itu salah. Nggak ada maksud buat caper atau gimana-gimana."

Medina tersenyum. Mengangguk.

"Satu pertanyaan lagi."

Nae kini mulai fokus pada Medina.

"Menurut kamu lebih baik mana, hijrah hati dulu atau hijrah fisik dulu?"

Nae terdiam, menggigit bibir bawahnya. "Eum, apa ya. Kalau gue bilang hati dulu, nanti kayak kebanyakan orang. Basi banget. Jadi ya... mungkin fisik dulu kali ya. Kayak gue ini. Ya, sembari pelan-pelan belajar yang lainnya."

Medina mengangguk-angguk. "Bener banget sih, Nae. Tapi kalau menurutku dua-duanya itu penting."

Kening Nae mengernyit, tanda ia penasaran.

"Berapa banyak orang yang menunda-nunda perubahan fisik yang lebih baik, hanya karena mengaku ingin mengubah hatinya dulu? Berapa banyak orang yang fisiknya sudah baik. Sudah berkerudung misalnya. Tapi... sholat aja lewat terus. Padahal amalan yang pertama kali dihisab adalah sholat. Pakai kerudung, tapi pacaran, berdua-duaan. Bahkan kerudung jaman sekarang bukan lagi digunakan sebagai identitas seorang muslimah--bisa melindunginya dari fitnah. Fungsinya udah berubah jadi fashion trend aja. Jadi antara perubahan hati maupun fisik itu penting. Nggak bisa salah satu aja."

Nae mengangguk-angguk.

"Pernah dengar istilah berilmu sebelum berkata dan beramal?"

"Eum, kayaknya sih pernah."

"Yap, itu adalah perkataan dari perawi hadist terkemuka, Imam Al Bukhori. Al ilmu qobla al qauli wal amali. Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Menurutku, semua jenis perubahan itu pasti didasari atas sebuah pemikiran. Sama seperti ketika kamu berubah jadi mau pakai kerudung. Bukannya kamu pernah bilang kalau sejak dulu, keluargamu ingin sekali kamu mengenakan kerudung? Nah, dari situ lah kamu jadi berpikir emang kenapa harus berkerudung, emang kerudung itu apa? Emang manfaat kerudung itu kayak apa? Sehingga pada titik tertentu hati kamu benar-benar siap melakukan perubahan secara fisik.

"Benar. Kalau hati itu perlu disiapkan. Tapi menunggu hingga hati benar-benar seratus persen siap itu akan sangat banyak membuang waktu. Jangan-jangan itu hanya alasan kita aja buat menunda kebaikan. Jadi, akan jauh lebih baik kalau kita cepat menerjemahkan kode dari Allah. Seperti yang kamu lakukan, Nae.

"Bagiku, perubahanmu nggak terburu-buru atau tiba-tiba. Justru kamu harus bersyukur. Di antara ribuan muslimah di luaran sana yang menunggu hatinya mantap untuk berkerudung, di antara ribuan muslimah yang sudah berkerudung tapi suka buka tutup apalagi sampai menjadikannya sekedar fashion trend, kamu digerakkan oleh Allah untuk menjalani keduanya dengan seimbang. Masih mau belajar pelan-pelan, sembari memperbaiki hati dan diri. Memperbanyak ilmu agama."

Nae tersenyum. Ia diam-diam membenarkan apa yang Medina katakan.

"Muslim itu harus bergerak berdasarkan pemahaman. Bukan hanya sekedar apa kata perasaan. Apalagi gampang baper sama perkataan orang lain. Kebenaran itu nggak diukur dari seberapa banyak orang lain mengatakan benar lho, Nae. Islam punya standar kebenaran yang mutlak, al-Qur'an dan hadist. Kalau orang lain menilai kita tidak berdasarkan kedua standar itu ya... cuekin aja. Jadikan sebagai ujian kesabaran."

Nae terkekeh. "Iya ih. Kok gue jadi gampang baper sih akhir-akhir ini. Biasanya juga cuek-cuek aja sama apa kata orang. Bego emang."

Medina tertawa.

"Mau tahu nggak rahasia besar bagaimana caranya supaya apapun yang kita lakukan jadi semakin membuat kita bersemangat. Bahkan kalau tidak diapresiasi orang, nggak ada yang mau bayar kita, dan jadi membuat kita ikhlas terus?"

"Apa?"

"Ilmu agama."

"Hah?"

"Iya, seperti yang Imam Al Bukhori bilang. Ilmu sebelum berkata dan beramal. Bayangin deh, ketika kita kuliah misalnya. Kalau kita pikir kuliah biar dapet ilmu dan biar cepet lulus dan dapet kerjaan doang, saat kita nggak dapet apa yang kita inginkan kita pasti kecewa. Tapi kalau kita tahu, ketika kita kuliah kita sedang memperbaiki sebuah peradaban--karena seorang muslimah juga harus cerdas, dan secara otomatis mendapat pahala dari Allah, dapet surga. Kita pasti nggak setengah-setengah kuliahnya.

"Bayangin, jika ada seorang ibu tahu kalau ketika dia menjadi istri yang taat, melahirkan anak dan mendidik anak itu pahalanya setara seperti seorang laki-laki yang berjihad di medan perang, pasti nggak ada ibu-ibu yang malu kalau profesinya adalah ibu rumah tangga padahal dia lulusan S3. Iya nggak?"

Kali ini anggukan Nae lebih mantap.

"Kok iya, ya, Mei. Gue jadi malu nih usia udah kepala dua lebih tapi cetek banget soal agama. Bahkan gue selalu mempertanyakan apa-apa yang jadi kewajiban gue sebagai muslimah. Astaghfirullah gueee."

"Nggak apa-apa, Nae. Bagus malahan. Bahkan dalam al-Qur'an sudah disebutkan bahwa orang-orang yang berpikir itu beruntung."

Nae tersenyum. Kali ini hatinya lebih tenang.

"Jadi gimana, udah nemu jawabannya belum atas pertanyaan-pertanyaan kamu? Apa perubahan kamu ini buru-buru dan tiba-tiba banget?"

Nae tertawa. Ia bahagia bisa beremu dengan Medina.

"Thanks, Mei. Udah ngeyakinin gue dan ngasih tahu banyak ilmu hari ini."

"Never mind. Lain kali gantian, ya?"

"Ah, gue mah apa sih. Cuma remukan biskuit Kong Guan."

"Yeee, itu juga enak kok."

Mereka tertawa bersama.

"Jadi gimana? Mau ikut kajian nggak nanti sore? Temanya bagus lho. Muhasabah Diri."

"Eum, oke deh. Eh tapi... kerudung gue belum bisa sepanjang elo, Mei. Nggak apa-apa?"

"Ih apa sih? Keshalihahan seseorang nggak diukur dari seberapa panjang kerudungnya aja tahuuu. Perubahan itu pelan-pelan. Oke?"

Nae mengangguk. Dalam hatinya semakin tumbuh kemantapan dan keinginan untuk berubah lebih baik lagi.

 

 

◽️◽️◽️

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”

 (QS.Al-Baqarah:164)

◽️◽️◽



referensi bacaan:
Al Jauziyyah, Ibnu Qayyim dkk. 2001. Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama' Salaf. Pustaka Arafah: Solo.