MATANYA masih menatap saya.
Sesekali dengan mimik wajah yang entah mengapa asing, saya merasa ada hawa tak
mengenakan ketika jemarinya dengan cekatan mematik korek api untuk membakar
ujung batang rokoknya.
Dilihat dari badannya yang kurus kering, kantung matanya yang menghitam serupa
dengan bibir yang saya ingat terakhir kali masih ranum. Ia nampak tak kukenali
lagi. Sepintas, saya seperti sedang berbicara pada laki-laki berusia empat
puluhan. Padahal yang saya tahu, dua hari yang lalu usianya baru genap dua
puluh tujuh tahun. Satu tahun lebih tua daripada saya.
Saya tahu keterkejutannya melihat saya tak bisa dianggap tak beralasan. Namun
seharusnya dia tahu bahwa saya benar-benar tidak pernah melangar janji; pun
sumpah yang saya ucapkan.
“Untuk apa kamu kemari?” tanyanya dengan penuh kebencian.
“Untuk menepati janji.”
“Janji yang mana?” suara paraunya bebarengan dengan batuk yang ditimbulkan asap
rokok yang dihisapnya kuat-kuat. Rasa-rasanya, pertanyaan itu seolah menuduh
bahwa banyak janji yang telah saya buat dan banyak pula janji yang telah saya
langgar. Saya masih menatapnya prihatin—antara bingung dengan kecewa.
Seharusnya tidak seperti ini kejadianya.
“Setahu saya, kamu tak pernah serius menghisap benda mematikan itu, Moses.”
Dia tertawa sinis. Lalu ia letakkan batang rokok itu. Mematahkannya di asbak
kayu yang tergeletak di atas meja.
“Tahu apa kamu tentang saya.”
“Saya tahu semuanya.”
“Omong kosong!”
Kini, saya yang tengah duduk dihadapannya sedang mati-matian memendam takut.
Moses benar-benar telah berubah menjadi pribadi yang tak saya kenali. Rasanya
saya seperti sedang menemui makhluk dari planet asing.
“Saya kemari sekaligus minta maaf.”
Dia tidak merespon. Diam.
“Saya memahami kekecewaanmu.” Entah mengapa mata saya terasa panas memerhatikan
wajah gelisah di depan saya. Kini rambutnya panjang. Dikucir dengan karet gelang
bekas nasi bungkus. Kamarnya yang sempit sedikit terasa melegakan. Biasanya,
berbagai lukisan dan kuas serta cat minyak berserakan. Kini yang tersisa
hanyalah lukisan bunga mawar putih; yang enam tahun lalu saya tahu telah ditawar
dengan harga tiga ratus juta. Namun Moses menolak. Dia bilang, lukisan itu tak
akan pernah ia berikan pada siapapun. Pun dijual dengan harga selangit. Itu
lukisan pertamanya. Saya, sungguh tahu benar maksud dibaliknya.
“Jika kamu marah. Marahlah. Saya tidak akan membalas apapun." Kataku.
Korden dekat dengan Moses itu seolah ingin menyadarkan Moses dari lamunannya.
Beterbangan menyentuh kulit Moses yang hanya dibalut kaos tipis dengan bekas
noda cat minyak disana-sini. Moses masih suka melukis. Lalu, dimana ia letakkan
semua lukisannya?
“Dimana lukisan-lukisanmu Moses?” tanya saya ketika saya mulai bosan karena hampir
tigapuluh enam menit pernyataan saya tak direspon.
Dia masih diam. Kembali mematik api keujung batang rokoknya yang baru.
Menghisapnya. Menyemburkan asapnya kesembarang arah. Seolah saya tidak ada.
Saya masih ingin menata hati saya. Saya tahu, hati Moses jauh lebih berantakan
daripada hati saya saat ini. Pun sofa yang robek-robek yang tengah saya duduki
saat ini. Biarpun saya masih tak tahu harus bagaimana supaya Moses mau
mendengarkan ucapan saya. Setidaknya dia harus tahu bahwa saya datang bukan
untuk menggali lubang kekecewaannya lebih dalam. Dia harus tahu, saya datang
justru untuk membantu menutupinya. Meski dengan sisa-sisa tenagaku yang lemah.
“Bicaralah
apa saja Moses.” Dada saya mulai sesak. “Apa saja asal saya tidak merasa
berbicara dengan manusia patung yang bernapas.”
“Saya
hanya ingin kamu pergi.”
“Saya
kemari karena sesuatu.”
“Tidak
ada.”
“Ada.”
“Apa?”
“Kenangan.”
Matanya
kembali menatap saya yang mulai bicara ngawur. Entah apa yang sedang saya
bicarakan. Sejujurnya saya tidak benar-benar tahu. Pun dengan kata kenangan. Pantaskah,
saya yang meninggalkannya menyebut ‘Kembali’
dengan alasan kenangan?
“Kenangan
macam apa yang kamu sebut-sebut Resa?”
“Saya
tidak tahu. Tapi saya hanya ingin kembali untuk kenangan. Meskipun kenangan
dalam ingatanmu adalah hal buruk yang pahit. Saya masih berharap ada sedikit
kenangan yang masih bisa saya dengar. Atau bisa saya perbaiki.”
Dia
tertawa sinis lagi. Menertawakan ucapan saya.
“Jangan
berfilosofi di depanku Resa. Saya muak dengan dramamu.”
Angin
semakin kencang diluar sana. Kulihat, gerimis mulai datang.
“Saya
minta maaf.”
“Tidak
perlu. Saya sudah melupakan semuanya.”
Air
mata saya seolah tak sabaran untuk jatuh. Begitu berkedip, rasanya semua
sesakku keluar. Dada saya semakin sakit.
“Saya
tahu itu bohong.”
“Saya
tidak sepertimu!!”
“Saya
tahu.” Kataku lemah. “Saya hanya ingin menjadi waras.”
“Sejak
dahulu kamu memang tidak waras.”
Seolah
tak mau menghentikan perdebatan ini. Moses menatap tajam kearah saya. Sedang menunggu
perkataan saya. Lalu akan menjawabnya dengan nada tajam.
“Saya
tidak waras karena kamu Moses.”
Ia
menatapku tak percaya. Sedetik, melihat tatapan Moses seperti itu
mengingatkanku saat kali pertama kami berjumpa. Delapan tahu yang lalu. Ketika kami
masih sama-sama memakai pakaian putih hitam. Berdandan semacam badut. Rambut saya
dikucir tiga. Serta berkalungkan papan kardus dengan tulisan bunga kesukaan
saya; mawar putih.
Saat itu, topi kertas miliknya
jatuh, dan saya tidak sengaja menginjaknya. Dia menatap saya marah.
“Semenjak
kali pertama kita berjumpa. Saya memang merasa menjadi seorang yang tidak
waras.”
Moses
diam. Saya tahu, dalam diamnya sekelabat cerita ‘masa lalu’ yang tak sengaja
saya buka kembali membuat memorinya memutar peristiwa-peristiwa itu. Dan saya
masih berharap, kenangan pahit itu tidak ikut serta.
“Saya
bahkan pernah mendatangi pskiater untuk menanyakan masalah saya ini. Dua minggu
lalu. Itupun dibarengi perdebatan sengit dengan batin saya selama lebih tujuh
tahun.”
Moses
tidak bergeming. Kini matanya berkeliaran tanda hatinya sudah tak sangup
menatap saya. Air mata disudut matanya yang cokelat. Menunjukan betapa sakit
hatinya.
“Harap
kamu tahu Moses. Saya hancur saat meninggalkanmu..” tangisku pecah lagi. “Saat
ini saya sedang tidak membela diri saya atas kesalahan yang saya buat. Saya hanya
ingin menepati janji saya. Meskipun bagi kamu, saya sudah tidak berarti lagi. Begitu
juga dengan kedatangan saya yang terlambat dua hari. Saya minta maaf.”
Beberapa
detik sunyi. Dia masih tidak mengatakan apapun.
“Selamat
ulang tahun Moses.” Kata saya menahan sesak. Kuseka air mata saya yang berjatuhan.
“Maaf
sudah lancang.” Saya tidak tahan. Masih menatap prihatin terhadap Moses. Entah kenapa saya ingin meluapkan segalanya pada dia. Dia harus tahu kondisi saya juga sama kacaunya dengan dia. “Saya merutuki diri saya sendiri selama dua
tahun belakangan. Saya ingin menyalahkan takdir. Namun saya tidak berhak.”
Dia
menangis lagi. Air matanya tumpah bersama matanya yang terus memandang jendela
kaca yang telah basah oleh cucuran air hujan.
“Maaf.”
Air mataku dan air mata Moses seolah membanjiri ruangan yang pada dua tahun
perkenalan kami selalu kami jadikan tempat berbagi cerita. Saya dan Moses. Ingatan
itu seolah memukul saya. Sekaligus menjadi alasan saya menepati janji.
“Pergilah
Resa. Temui laki-laki yang orangtuamu inginkan.”
“Kamu tak pernah peduli dengan
keinginan saya?”
“….”
“Baik.
Saya pergi…” saya mengusap pipi saya. Pipi yang saya ingat selalu disentuh
jemari Moses yang hangat. Menghapus pilu didada saya.
“Saya
hanya ingin mengatakan….”
“Saya
sudah mendengar pengakuanmu. Begitu juga permohonan maafmu. Saya terima. Saya memaafkanmu.
Pergilah sebelum saya berubah pikiran.”
‘saya mencintai kamu’ kata saya
melanjutkan perkataan yang dipotongnya. Dalam hati. Biarlah. Ini hanya masalah
memiliki dan tidak memiliki. Yang pasti, saya masih cinta Moses.
0 komentar:
Posting Komentar