Kamis, 21 Mei 2015

Moses

MATANYA masih menatap saya. Sesekali dengan mimik wajah yang entah mengapa asing, saya merasa ada hawa tak mengenakan ketika jemarinya dengan cekatan mematik korek api untuk membakar ujung batang rokoknya.

                Dilihat dari badannya yang kurus kering, kantung matanya yang menghitam serupa dengan bibir yang saya ingat terakhir kali masih ranum. Ia nampak tak kukenali lagi. Sepintas, saya seperti sedang berbicara pada laki-laki berusia empat puluhan. Padahal yang saya tahu, dua hari yang lalu usianya baru genap dua puluh tujuh tahun. Satu tahun lebih tua daripada saya.

                Saya tahu keterkejutannya melihat saya tak bisa dianggap tak beralasan. Namun seharusnya dia tahu bahwa saya benar-benar tidak pernah melangar janji; pun sumpah yang saya ucapkan.

                “Untuk apa kamu kemari?” tanyanya dengan penuh kebencian.

                “Untuk menepati janji.”

                “Janji yang mana?” suara paraunya bebarengan dengan batuk yang ditimbulkan asap rokok yang dihisapnya kuat-kuat. Rasa-rasanya, pertanyaan itu seolah menuduh bahwa banyak janji yang telah saya buat dan banyak pula janji yang telah saya langgar. Saya masih menatapnya prihatin—antara bingung dengan kecewa. Seharusnya tidak seperti ini kejadianya.

                “Setahu saya, kamu tak pernah serius menghisap benda mematikan itu, Moses.” Dia tertawa sinis. Lalu ia letakkan batang rokok itu. Mematahkannya di asbak kayu yang tergeletak di atas meja.

                “Tahu apa kamu tentang saya.”

                “Saya tahu semuanya.”

                “Omong kosong!”

                Kini, saya yang tengah duduk dihadapannya sedang mati-matian memendam takut. Moses benar-benar telah berubah menjadi pribadi yang tak saya kenali. Rasanya saya seperti sedang menemui makhluk dari planet asing.

          “Saya kemari sekaligus minta maaf.”

          Dia tidak merespon. Diam.

          “Saya memahami kekecewaanmu.” Entah mengapa mata saya terasa panas memerhatikan wajah gelisah di depan saya. Kini rambutnya panjang. Dikucir dengan karet gelang bekas nasi bungkus. Kamarnya yang sempit sedikit terasa melegakan. Biasanya, berbagai lukisan dan kuas serta cat minyak berserakan. Kini yang tersisa hanyalah lukisan bunga mawar putih; yang enam tahun lalu saya tahu telah ditawar dengan harga tiga ratus juta. Namun Moses menolak. Dia bilang, lukisan itu tak akan pernah ia berikan pada siapapun. Pun dijual dengan harga selangit. Itu lukisan pertamanya. Saya, sungguh tahu benar maksud dibaliknya.

          “Jika kamu marah. Marahlah. Saya tidak akan membalas apapun." Kataku.

          Korden dekat dengan Moses itu seolah ingin menyadarkan Moses dari lamunannya. Beterbangan menyentuh kulit Moses yang hanya dibalut kaos tipis dengan bekas noda cat minyak disana-sini. Moses masih suka melukis. Lalu, dimana ia letakkan semua lukisannya?

          “Dimana lukisan-lukisanmu Moses?” tanya saya ketika saya mulai bosan karena hampir tigapuluh enam menit pernyataan saya tak direspon.

          Dia masih diam. Kembali mematik api keujung batang rokoknya yang baru. Menghisapnya. Menyemburkan asapnya kesembarang arah. Seolah saya tidak ada.

          Saya masih ingin menata hati saya. Saya tahu, hati Moses jauh lebih berantakan daripada hati saya saat ini. Pun sofa yang robek-robek yang tengah saya duduki saat ini. Biarpun saya masih tak tahu harus bagaimana supaya Moses mau mendengarkan ucapan saya. Setidaknya dia harus tahu bahwa saya datang bukan untuk menggali lubang kekecewaannya lebih dalam. Dia harus tahu, saya datang justru untuk membantu menutupinya. Meski dengan sisa-sisa tenagaku yang lemah.

            “Bicaralah apa saja Moses.” Dada saya mulai sesak. “Apa saja asal saya tidak merasa berbicara dengan manusia patung yang bernapas.”

            “Saya hanya ingin kamu pergi.”

            “Saya kemari karena sesuatu.”

            “Tidak ada.”

            “Ada.”

            “Apa?”

            “Kenangan.”

            Matanya kembali menatap saya yang mulai bicara ngawur. Entah apa yang sedang saya bicarakan. Sejujurnya saya tidak benar-benar tahu. Pun dengan kata kenangan. Pantaskah, saya yang meninggalkannya menyebut ‘Kembali’ dengan alasan kenangan?

            “Kenangan macam apa yang kamu sebut-sebut Resa?”

            “Saya tidak tahu. Tapi saya hanya ingin kembali untuk kenangan. Meskipun kenangan dalam ingatanmu adalah hal buruk yang pahit. Saya masih berharap ada sedikit kenangan yang masih bisa saya dengar. Atau bisa saya perbaiki.”

            Dia tertawa sinis lagi. Menertawakan ucapan saya.

            “Jangan berfilosofi di depanku Resa. Saya muak dengan dramamu.”

            Angin semakin kencang diluar sana. Kulihat, gerimis mulai datang.

            “Saya minta maaf.”

            “Tidak perlu. Saya sudah melupakan semuanya.”

            Air mata saya seolah tak sabaran untuk jatuh. Begitu berkedip, rasanya semua sesakku keluar. Dada saya semakin sakit.

            “Saya tahu itu bohong.”

            “Saya tidak sepertimu!!”

            “Saya tahu.” Kataku lemah. “Saya hanya ingin menjadi waras.”

            “Sejak dahulu kamu memang tidak waras.”

            Seolah tak mau menghentikan perdebatan ini. Moses menatap tajam kearah saya. Sedang menunggu perkataan saya. Lalu akan menjawabnya dengan nada tajam.

            “Saya tidak waras karena kamu Moses.”

            Ia menatapku tak percaya. Sedetik, melihat tatapan Moses seperti itu mengingatkanku saat kali pertama kami berjumpa. Delapan tahu yang lalu. Ketika kami masih sama-sama memakai pakaian putih hitam. Berdandan semacam badut. Rambut saya dikucir tiga. Serta berkalungkan papan kardus dengan tulisan bunga kesukaan saya; mawar putih.

Saat itu, topi kertas miliknya jatuh, dan saya tidak sengaja menginjaknya. Dia menatap saya marah.

            “Semenjak kali pertama kita berjumpa. Saya memang merasa menjadi seorang yang tidak waras.”

            Moses diam. Saya tahu, dalam diamnya sekelabat cerita ‘masa lalu’ yang tak sengaja saya buka kembali membuat memorinya memutar peristiwa-peristiwa itu. Dan saya masih berharap, kenangan pahit itu tidak ikut serta.

            “Saya bahkan pernah mendatangi pskiater untuk menanyakan masalah saya ini. Dua minggu lalu. Itupun dibarengi perdebatan sengit dengan batin saya selama lebih tujuh tahun.”

            Moses tidak bergeming. Kini matanya berkeliaran tanda hatinya sudah tak sangup menatap saya. Air mata disudut matanya yang cokelat. Menunjukan betapa sakit hatinya.

            “Harap kamu tahu Moses. Saya hancur saat meninggalkanmu..” tangisku pecah lagi. “Saat ini saya sedang tidak membela diri saya atas kesalahan yang saya buat. Saya hanya ingin menepati janji saya. Meskipun bagi kamu, saya sudah tidak berarti lagi. Begitu juga dengan kedatangan saya yang terlambat dua hari. Saya minta maaf.”

            Beberapa detik sunyi. Dia masih tidak mengatakan apapun.

            “Selamat ulang tahun Moses.” Kata saya menahan sesak. Kuseka air mata saya yang berjatuhan.

            “Maaf sudah lancang.” Saya tidak tahan. Masih menatap prihatin terhadap Moses. Entah kenapa saya ingin meluapkan segalanya pada dia. Dia harus tahu kondisi saya juga sama kacaunya dengan dia. “Saya merutuki diri saya sendiri selama dua tahun belakangan. Saya ingin menyalahkan takdir. Namun saya tidak berhak.”

            Dia menangis lagi. Air matanya tumpah bersama matanya yang terus memandang jendela kaca yang telah basah oleh cucuran air hujan.

            “Maaf.” Air mataku dan air mata Moses seolah membanjiri ruangan yang pada dua tahun perkenalan kami selalu kami jadikan tempat berbagi cerita. Saya dan Moses. Ingatan itu seolah memukul saya. Sekaligus menjadi alasan saya menepati janji.


            “Pergilah Resa. Temui laki-laki yang orangtuamu inginkan.”
            “Kamu tak pernah peduli dengan keinginan saya?”

            “….”

            “Baik. Saya pergi…” saya mengusap pipi saya. Pipi yang saya ingat selalu disentuh jemari Moses yang hangat. Menghapus pilu didada saya.

            “Saya hanya ingin mengatakan….”

            “Saya sudah mendengar pengakuanmu. Begitu juga permohonan maafmu. Saya terima. Saya memaafkanmu. Pergilah sebelum saya berubah pikiran.”

            saya mencintai kamu’ kata saya melanjutkan perkataan yang dipotongnya. Dalam hati. Biarlah. Ini hanya masalah memiliki dan tidak memiliki. Yang pasti, saya masih cinta Moses.

0 komentar:

Posting Komentar