Selasa, 01 Mei 2018

MAU SAMPAI KAPAN?

JAKARTA hari ini cerah. Langit kota dengan pemandangan gedung pencakar langitnya seperti sebuah lukisan yang indah. Meski orang bilang, ibukota sudah tidak lagi perawan karena cuaca dan kondisinya yang terkontaminasi polusi, namun tidak pernah menghilangkan pamor sebagai kota tujuan nomor satu bagi para pencari kerja di Indonesia. Bahkan ribuan orang memuji dan rela mati demi bisa tinggal selamanya di sini.

Kata orang, Jakarta itu kota yang keras. Tak bekerja keras, maka bisa dipastikan tidak akan bisa bertahan. Inilah mengapa banyak kita jumpai orang-orang kota lebih sibuk mengejar karirnya daripada berkutat mencari ilmu agama. Inilah mengapa, potret kesibukan di kota lebih banyak terpusat untuk urusan dunia daripada urusan akhirat.

Padahal dunia ini fana. Akan hancur kapan saja Allah menginginkannya.
Di tengah kebisingan kota dan para pekerja yang haus akan kekayaan dunia, Gaza menjadi salah satu pemuda yang tidak pernah lupa akan Tuhannya. Semua kegiatan dalam hidupnya ia usahakan hanya untuk Allah ta'ala. Bangunnya, aktivitasnya dalam mencari rezeki, pendidikannya, hingga tidurnya ia niatkan untuk Allah.

Ia ingat pesan umminya ketika ia berusia empat tahun. "Gaza mau nggak ngasih hadiah ke ummi?"

"Mau. Ummi mau apa? Gaza pasti kasih. Kalau ummi mau mainan Gaza, pasti Gaza bolehin."

Ummi tersenyum, lalu mencium pipi tembam Gaza. Mereka baru saja menunaikan sholat dhuha bersama. Biasanya, ummi akan melanjutkan dengan mengajari Gaza mengaji. Kadang, ia juga akan membacakan Gaza suatu kisah dalam Sirah Nabawiyah atau Sirah Sahabiyah dan kisah perjuangan anak-anak Palestina agar ia termotivasi. 

"Hm, ummi mau cerita dulu boleh?"

Gaza berteriak riang. Ia langsung memeluk ummi dan duduk di pangkuan ummi meski umminya sedikit kesulitan karena masih memakai mukena. Ditambah lagi dengan kandungannya yang mulai membesar.

"Ummi mau cerita tentang anak-anak Palestina yang hebat, cerdas, pemberani, dan juga rajin menghafal Qur'an di usia muda seperti Gaza."

Mata bulat Gaza menatap wajah ummi dengan berbinar. Ia selalu suka ketika umminya bercerita tentang anak-anak Palestina. Apalagi tentang kota Gaza. Ia merasa bangga sekali namanya disebut.

"Di kota Gaza sana, listrik dan lampu adalah sesuatu yang langka. Lampu menyala hanya 2 jam saja. Itupun ketika mereka tidur. Jadi mereka seringnya gelap-gelapan. Tapi mereka tidak pernah patah semangat untuk belajar dan menghafal al-Qur'an. Gaza tahu kenapa anak-anak Palestina di sana begitu semangat untuk menghafal al-Qur'an?"

Gaza menggeleng dengan keras.

"Karena mereka tahu, nak. Untuk bisa tetap istiqomah dan terus semangat dalam menjaga tanah waqaf para Anbiya dan kiblat pertama umat Islam dunia yaitu masjidil Aqsa adalah dengan membentuk generasi Qur'ani. Mereka adalah para mujahid dan mujahidah pembela tanah air mereka. Mereka tahu, jika suatu saat mereka ditangkap dan dipenjara oleh tentara Israel, mereka tidak akan boleh belajar dan membaca al-Qur'an seperti Gaza, maka mereka akan murojaah, akan mengingat hafalannya. Itulah alasan mereka bersemangat dalam menghafal al-Qur'an. Selain itu, alasan kenapa mereka bersemangat dalam menghafal al-Qur'an adalah karena mereka ingin menghadiahkan ummi dan abi mereka sebuah mahkota di surga."

"Jadi, kalau menghafal al-Qur'an bisa ngasih hadiah mahkota untuk ummi dan abi? Mahkota kayak raja-raja itu ya ummi?"

Ummi menggangguk. Mata Gaza berbinar.

"Kalau Gaza menghafal al-Qur'an, Gaza bisa ngasih mahkota ke ummi dan papanya Gaza?"

Sekali lagi, ummi mengangguk.

"Jadi ummi mau kalau Gaza kasih mahkota?"

"Mau sayang, itu yang ummi mau dari Gaza." Ummi memeluk Gaza dengan gemas.

"Kalau gitu, Gaza mau menghafal al-Qur'an deh. Supaya Gaza bisa ngasih hadiah mahkota ke ummi dan papa. Biar ummi senyum, terus biar papa nggak pergi-pergi terus."

Ummi mencium dan mempererat pelukannya. Ia terharu. Matanya berkaca-kaca begitu melihat anak pertamanya itu paham maksud apa yang ia ceritakan.

"Tapi, nak. Papa pergi kan untuk kerja."

"Ya tapi Gaza jadi kesepian nggak ada yang ngajak main. Gaza mau papa di rumah aja."

☕☕☕


Mata Gaza terpejam. Kepalanya ia tundukkan dalam-dalam. Hatinya selalu merasa takut ketika melafalkan kalimat Allah. Al Waqiah, tentang sebuah peringatan hari kiamat. Bibirnya bergetar saat mengulang hafalannya.

Ia mengingat almarhumah ummi, papa, dan adik semata wayangnya, Ghazi. Masalah-masalah yang menimpanya di dunia ini mungkin bisa ia tahan, tapi siapa yang menjamin dirinya masuk surga? Meski orang bilang ia adalah pemuda shalih, hafal al-Qur'an, pintar dalam ilmu agama, tapi surga tetaplah kuasa Allah. Ia hanya bisa mengusahakan dengan amalan-amalan dan ibadah yang ia mampu. Setiap kali mengingat mati, Gaza selalu tak kuasa untuk menangis. Maka jadilah ia menangis sesenggukan.
 
Sampai seseorang menepuk pundaknya dengan pelan. Gaza seperti tersadar. Ia membuka matanya dan segera mengusap air mata yang sudah jatuh di pipi.

"Ustadz?"

Ustadz Hanafi tersenyum. Ia duduk di samping Gaza yang seketika mencium tangannya. Secara otomatis Gaza memutar tubuhnya agar menghadap gurunya. Murrobi yang selama ini membimbingnya agar terus istiqomah dalam beragama.
Dulu, mereka dikenalkan oleh Kyai Hussein Ayyubi di Malang. Mereka bertemu saat Gaza mengikuti lomba MTQ tingkat nasional. Setelah mengetahui bahwa mereka sama-sama berasal dari Jakarta, Gaza janji kalau sudah lulus dari pesantren akan menemuinya lagi. Dan Allah memang mentakdirkan mereka berjumpa lagi. Gaza yang sengaja mencari alamat Ustadz Hanafi ketika masuk kuliah dulu.

"Murojaah?"

Gaza mengangguk. Ia masih sibuk mengusap sisa air mata yang mungkin saja masih ada di pipinya. Ia malu kalau ketahuan menangis oleh Ustadznya.

"Udah sholat sunnah?" tanya Ustadz Hanafi, yang sebenarnya sudah memerhatikan Gaza sejak setengah jam lalu. Sejak Gaza melangkahkan kakinya untuk sholat dhuha dan memurojaah hafalannya. Hal yang biasa dilakukan Gaza hampir setiap hari. Ia akan pergi ke Masjid dekat kafe untuk sholat dan memurojaah hafalannya.

"Alhamdulillah sudah, Ustadz."

"Alhamdulillah," jawabnya. "Gimana perkembangan kafe dan kuliahmu?"
Gaza tersenyum. Senang ditanyai hal-hal sepele oleh gurunya. "Alhamdulillah. Sejauh ini lancar, Ustadz. Bulan ini ada rencana untuk mengadakan santunan anak Yatim rutinan. Doakan semoga lancar."

"Amiiin," ucap Ustadz Hanafi. Janggut tebalnya bergerak-gerak saat ia tersenyum. Sorban yang melilit lehernya membuat ia kelihatan sangat berwibawa.

"Mau sampai kapan, Za?" Ada jeda yang cukup panjang sebelum Ustadz Hanafi melemparkan pertanyaan itu. "Sampai kapan antum menunda waktu nikahmu?"

Gaza tertunduk. Ia sudah menduga kalau Ustadz Hanafi mendekatinya pasti ada hal yang ingin disampaikan. Pertanyaan kapan menikah memang sudah lama Ustadz Hanafi lontarkan. Sejak ia wisuda S1 dulu beliau sudah mewanti-wanti agar Gaza cepat menikah.
Zaman modern dengan kemajuan teknologi yang pesat membuat Ustadz Hanafi khawatir dengan diri Gaza. Apalagi pergaulan bebas yang marak di ibu kota. Menurutnya, laki-laki seperti Gaza tidak baik jika menunda pernikahan. Apalagi, sudah banyak perempuan yang ditolaknya dengan alasan sama. Kalau tidak cocok ya karena Gaza belum siap.

Pernah, dulu, Ustadz Hanafi menawarkan seorang perempuan cantik dan shalihah lulusan Madina. Namun sayang, Gaza tolak hanya karena istikharah Gaza mengatakan bahwa dia sebaiknya menolak. Padahal, Ustadz Hanafi sudah mempertimbangkan bahwa gadis itu sekufu dengannya. Meski bukan hafidz 30 juz, setidaknya 10 juz sudah dikantongi. Pendidikan juga sangat bagus. Tapi ia tidak bisa memaksa Gaza. Bagaimanapun yang menjalani adalah dirinya.

Ustadz Hanafi hanya menyayangkan. Selama empat tahun ini Gaza sudah puluhan kali menolak perempuan yang mempunyai keinginan atas dirinya. Ia khawatir, Gaza menolak bukan karena alasan syar'i tapi karena sesuatu yang disembunyikannya selama ini.

"Mau sampai kapan kamu menunda niatmu untuk menikah?" tanyanya. "Bukankah kamu cukup paham kalau menikah itu ibadah? Mencontoh Rasulullah? Bukankah, kamu sendiri yang bilang kalau kamu ingin jadi umat Rasulullah yang meneladani beliau selama mampu? Apalagi yang kamu tunggu? Duniawimu sudah cukup. Ilmu agamamu juga tidak diragukan. Cukup sekali sebagai bekal di kehidupan rumah tangga nanti. Jangan sampai alasanmu membuat Allah murka dan justru sengaja menghilangkan rezeki jodohmu."

"Astaghfirullah." Gaza beristighfar. Ia menghela napas dalam-dalam. Sebenarnya, ia juga sudah lama ingin menyempurnakan separuh agamanya. Namun ada alasan lain yang menunda keinginannya. Lebih tepatnya, dirinya sendiri yang memaksa untuk menundanya. Betapapun ia ingin.

"Aku ada seorang akhwat. Shalihah insya Allah. Sekufu denganmu juga. Kalau engkau berminat, akan segera kuatur jadwalnya. Bagaimana?"

Sekali lagi, Gaza menenggelamkan kepalanya. Ia tak bisa mengatakan sesuatu. Minggu lalu, Ustadz Hanafi juga menanyakan dan menawarkan seorang perempuan kepadanya. Namun hatinya masih tetap pada apa yang jadi tujuan dan prioritasnya saat ini. Ia memang ingin menunda pernikahannya.

"Bagaimana, Za?" Ustadz Hanafi memandang Gaza penuh harap.
Namun lagi-lagi ia harus membuat gurunya itu kecewa. Gaza menggeleng. Ia belum siap.

"Apa yang menjadi masalahmu? Ceritakanlah! Barangkali aku bisa bantu."
Gaza mengusap wajahnya. Matanya memejam. Lalu kembali membuka dan menatap wajah teduh gurunya. Ustadz Hanafi yang selama ini menjadi salah satu alasannya ia tetap kuat dalam menjalani kehidupan. Salah satu yang menyemanginya disaat ia sedang lemah imannya.

"Ada sesuatu yang ingin kuselesaikan, tadz. Dan aku ingin hal ini benar-benar selesai dahulu."

"Apa?"

"Aku ingin Ghazi menikah dahulu."

Ustadz Hanafi menghela napas. Ia tahu, Gaza begitu menyayangi adiknya. Meski kadang kala, permasalah keduanya tak pernah selesai-selesai.

Sejak umminya meninggal, Ustadz Hanafi tahu bahwa keluarga Gaza mengalami masa-masa sulit.
Papanya yang mengalami stres berat hingga di PHK, adiknya yang semakin liar dan terkena kasus narkoba, hingga rumah mereka disita. Masa-masa itu menjadi masa kelam bagi Gaza. Menjadi beban berat yang menimpanya bahkan saat ia tidak tahu menahu apa yang terjadi. Sejak usia tujuh tahun Gaza memang disekolahkan di pondok tahfidz di Jawa Barat. Hingga usianya sebelas tahun, Gaza baik-baik saja. Pun dengan keluarganya. Namun saat umminya kecelakaan dan meninggal, semuanya kemudian berubah. Keluarganya berantakan. Hal itu membuat ia sempat drop. Maka Ustadz Hanafi datang untuk menguatkan dan membuatnya bangkit hingga pada usia lima belas tahun, Gaza bisa menyelesaikan hafalannya yang sempat tertunda dan berantakan.

Meski begitu, hubungan keluarga Gaza. Terutama antara ia dengan Ghazi sudah tidak baik. Bahkan semakin hari semakin renggang.

Ghazi yang sejak kecil tinggal di rumah merasa dirinya dibanding-bandingkan dengan Gaza yang pintar, Gaza yang mau sekolah di pesantren, dan Gaza yang hebat di segala bidang.
Entah apa yang terjadi sebenarnya, Ustadz Hanafi tidak tahu. Yang pasti sejak ummi Gaza meninggal. Kebencian Ghazi kian terlihat.

Kini, ia mendengar bahwa Gaza ingin menunda pernikahannya karena ingin melihat Ghaza menikah dahulu? Sejak kapan Gaza yang pintar agama memutuskan seperti itu?

"Apa tidak ada alasan yang lebih syar'i, Za? Itu bukan alasan karena Allah..."

Gaza terdiam. Ia tahu alasannya sangat tidak berdasar. Tapi ia belum bisa menjelaskannya pada Ustadz Hanafi.

"Akan lebih baik kalau antum melupakan keinginan itu. Ini masalah besar. Kamu tidak boleh main-main."

"Aku paham dengan apa resikonya, tadz. Tapi aku mohon. Untuk saat ini aku minta keridhoan ustadz. Setidaknya sampai aku punya alasan lain yang lebih kuat. Tolong doakan aku agar pilihanku ini tidak salah. Sungguh, demi Allah. Aku ingin menikah, kalau bisa secepatnya. Tapi aku tidak ingin melepaskan tanggungjawab sebagai manusia yang wajib berdakwah kepada keluarga hanya demi tanggungjawab yang lain. Mohon dimengerti ustadz."

Ustadz Hanafi menghela napas. Kali ini ia mungkin masih memaafkan. Ia hanya berdoa agar Gaza segera dibukakan mata hatinya agar berpikir lebih rasional.


Cerita ini adalah penggalan bab 6 dari novel saya yang berjudul LA FADZ. Kalian bisa membaca secara gratis di wattpad DI SINI!

0 komentar:

Posting Komentar