ADA
sebuah kotak; kardus berwarna cokelat yang terletak di bawah jendela kamarku.
Permukaannya sedikit kotor—mungkin akibat gerimis tadi malam. Air yang
berbenturan dengan tanah berdebu bercampur, mencipratinya. Aku yakin bahwa
kardus itu sudah berada disana semalaman. Terakhir aku membuka jendela kamarku
kemarin; pagi hari—ketika aku ingin menghirup udara segar setelah bangun dan aku
yakin bahwa tidak ada satu karduspun yang tergeletak disana. Mungkin tadi sore
atau malam hari diletakannya. Aku tak tahu, yang pasti aku penasaran dengan isi
kotak itu.
Aku mengambilnya. Lalu kubawa kotak
kardus itu ke dalam rumah dan kubuka. Betapa terkejutnya aku ketika membukanya.
Isinya hanyalah sepotong kertas lusuh, berwarna buram. Itupun tak disertai
petunjuk orang yang mengirim. Dalam hati aku bertanya-tanya, siapa orang yang
tidak punya kerjaan sehingga mengirimiku kertas lusuh dengan robekan di
sisi-sinya ini?
Entahlah!!
Seminggu berlalu, kemudian aku
menemukan hal yang sama. Sebuah kardus tergeletak dibawah jendela kamarku. Tepat
setelah semalaman hujan. Kali ini bukan gerimis. Yang aku tahu, semalam hujan
cukup deras. Dan seperti biasa, kardus itu—kotak berwarna cokelat itu penuh dengan
kotoran debu yang bercampur air. Anehnya, kardus itu tak pernah benar-benar
basah. Kau tahu isinya? Tentu. Benar sekali. Sebuah kertas robekan. Sepotong. Hanya
sepotong.
Aku menghela napas. Agak kesal. Kenapa
pula harus mengirim kertas ini? Kurasa orang yang mengirimnya benar-benar tak
punya pekerjaan.
###
Beberapa minggu ini, hujan tak
turun. Seperti dugaanku. Kardus itu tidak ada, tidak muncul di bawah jendela
kamaku. Lalu aku menunggu dan bertanya. Pengirim kotak kardus itu berhasil
membuatku bertanya. Lalu aku berdoa—berharap bahwa Tuhan mengirimi hujan
diwaktu dekat. Supaya aku bisa mengerti maksud si pengirim kotak kardus
berwarna cokelat itu. Dan doaku terjawab tiga hari selanjutnya. Semalaman hujan
dengan deras. Disertai petir yang menyambar. Aku menunggu ia—si pengirim kotak
kardus. Berharap bisa bertemu. Atau setidaknya mengetahui sosoknya yang
misterius.
Semalaman—sepanjang hujan aku
tunggui ia di depan jendela kamar. Meski sebenarnya aku amat takut dengan
petir. Aku tak menutup jendela kamarku. Tak mengapa angin dan air hujan masuk,
tak mengapa air itu membasahi tubuhku yang berdiri menungguinya. Rasa penasaranku
sudah di ubun-ubun. Tak bisa aku hidup dengan penuh tanda tanya seperti ini. Awalnya
kupikir ini hanyalah hal kecil—orang iseng yang tak sengaja membuang sebuah
kardus dibawah jendela kamarku. Tapi, menemui kardus kedua, tak mungkin tak
kesengajaan itu. Aku yakin, si pengirim ingin aku mengetahuinya secara sengaja.
Namun, hingga pukul sebelas malam. Ketika
hujan sudah reda. Dan kantukku datang, ia tak datang bersama kotak kardus itu. Aku
ingin menyerah. Tapi di pikiranku, aku masih ingin menungguinya. Tak sengaja,
tiba-tiba petir kembali menyerang. Membuatku reflek menutup jendela kamarku. Menutup
kordennya, kemudian dengan cepat melompat ke atas kasur.
Esok hari ketika kubuka jendela
kamarku, aku sudah menemui kotak kardus itu. Terdiri dari dua kardus kecil. Masing-masing
dalam keadaan sama seperti dua kardus sebelumnya. Dengan segera aku ambil dan
kubuka. Isinya sama-sama kertas lusuh berwarna buram. Dan setelah kuteliti dengan
seksama, ada satu huruf disetiap potongan kertas robek itu. Ejaannya aku rakit
bersama kertas sebelumnya. Sesuai dengan urutan pemberian kardus itu, aku
memperoleh satu kata; MAAF.
Aku menghela napas. Kerutan dahiku
bertambah. Aku benar-benar tak mengerti. Tapi kau tahu? Di sela-sela kotak
kardus itu aku menemukan sebuah surat. Dengan segenap perasaan penasaran dan
takut yang berpautan aku membacanya.
MAAF.
Kau mungkin bertanya-tanya tentang maksud dari ke
empat kardus yang aku kirim untukmu. Kau mungkin menerka—mengira-ngira
maksudku.
Jangan khawatir Kanaya, aku hanya ingin menyampaikan
sebuah pesan. Meskipun ketika aku memberinya, aku sedikit memberimu sebuah
teka-teki. Kupikir kau akan mengerti dengan cepat. Ternyata tidak. Tak apa Kanaya.
Aku mengerti, selalu mengerti.
Kau sudah mengerti arti dari keempat kardus itu, kau
pandai merangkai huruf Kanaya.
Kau tahu kenapa aku mengirimnya empat kardus? Saat
hujan tiba dan pada malam hari?
Selain kata maaf, empat menunjukan waktu yang kulalui
bersama perasaanku Kanaya. Kau tahu, sudah empat tahun aku mencintaimu. Maaf aku
baru berani mengatakannya. Aku menyimpan perasaan ini. Tak berani aku
mengatakannya. Dulu, aku terlalu bodoh. Dan sekarang tinggalah aku bersamaan
dengan penyesalanku. Aku laki-laki, aku hanya tak ingin mencintaimu tanpa
memiliki sesuatu yang bisa membanggakanmu. Tapi aku salah, menunggu sejatinya
tak akan pernah usai. Menunggu bukan sikap kesatriya. Kata membanggakan itu
seharusnya terjadi ketika aku berani mencintaimu secara terang-terangan. Bukan diam
dengan kesunyian—sendiri, seperti arti kata malam ketika aku mengirimimu kotak
kardus itu.
Kanaya, tahukah kau bahwa hidupku seperti di derai
hujan? Ramai, tapi terasa dingin. Tak ada kehangatan kecuali dengan bantuan
selimut. Selimut itu adalah kekuatan cintaku Kanaya. Perasaanku, entah kenapa
membuatku seperti seorang bodoh dan dungu. Laki-laki yang memendam perasaannya
pada seorang perempuan. Tapi tak sanggup mengungkapkannya.
Sejatinya, aku hanya ingin kau berpikir Kanaya, bahwa
ada orang yang mencintaimu dalam diam. Bahwa ada yang mencintaimu ketika kau
merasa tak seorangpun menyayangimu. Kanaya, meskipun tak dikatakan, perasaanku
padamu tetaplah cinta.
MAAF, aku baru berani mengatakannya, meskipun
sejatinya aku terlambat. Kau sudah dengan dia. Berbahagialah, aku tetap
mencintaimu. Hatiku untukmu. Aku menjaganya seperti aku menjaga kertas lusuhku
didalam kardus dari hujan. Kertas lusuh dan buram itu adalah serpihan hatiku—yang
robek disisi-sisinya. Meski kotaknya sedikit kotor dan basah. Aku sudah
berusaha menjaganya. Untukmu yang hatinya untuk dia.Kanaya...
-Sosok misterius ini sesungguhnya tidak penting,
Karena yang terpenting adalah hatiku. suatu saat kau
akan tahu-
0 komentar:
Posting Komentar