Selasa, 23 Juni 2015 - 0 komentar

PERFECTO

DALAM diskusi interpersonal antara kamu-dan-saya di kantin Fakultas bertuliskan ‘PERFECTO’’ yang selalu saya tunggu-tunggu. Terselip kata yang selalu saya ulangi. Yang selalu saya eja berulang-ulang ketika saya pulang kerumah. Seusai kita melaksanakan beberapa menit ritual untuk saling tersenyum, saling tertawa, saling bercerita banyak hal dalam satu diskusi diatas meja.
‘Kangen…K-a-n-g-e-n!’


Kita, selalu menemukan satu topik yang menurutku menarik untuk dibicarakan. Apa saja. Kadang, saya juga tidak habis pikir dengan kecerdasan yang kamu miliki. Tentang betapa mudah bagimu menyelami topik yang sedang kita bicarakan. Entah topik yang kumulai atau dari kamu sendiri. Bahkan, jika berpikir lebih jauh, seharusnya kita tidak duduk bersama seperti ini. Dikursi berwarna hijau—berhadapan pula.
Betapa tidak. Saya berbeda denganmu. Saya tidak mudah menerima topik begitu saja. Pun topik yang mudah. Seperti apa resep gorengan yang sedang kita nikmati bersama segelas es teh yang terhidang di meja kita berdua. Kecuali topik tentang bulutangkis. Satu-satunya topik yang kuungguli darimu. Tentang Jonatan Christie. Tentang pertandingannya, tentang karirnya sejak kecil, tentang film yang pernah ia mainkan, KING. Tentang tanggal dan bulan lahirnya pun bahkan saya akan dengan mudah mengingatnya. Saya tidak pernah ketinggalan.
Tapi kamu. Kamu melahap semua topik. Yang bahkan terkadang saya pelajari betul-betul semalaman sebelum berjibaku didepanmu, berdebat bahkan berteriak marah karena kesal tidak bisa mensejajari kemampuanmu meramu dan menyerap topik diskusi kita.
Tapi…
Dua minggu ini. Saya menemukan kelemahanmu.
Dalam meramu dan menyerap cerita tentunya.
Tentu, dengan kondisi kita berdua. Kadang saya lupa bahwa kita sudah tidak lagi memiliki hubungan istimewa. Hubungan itu tandas begitu kamu mengatakan bahwa, ‘Saya dijodohkan. Kita nggak bisa bareng-bareng lagi.’
Karena meskipun kalimat itu tak pernah saya lupa. Tapi nyatanya kita selalu duduk berhadapan. Berjibaku pada ramuan cerita. Pemanis ketika saya patah hati, menyadari perasaan saya yang meluap-luap ingin di tampung oleh wadah darimu. Yang begitu saja memutuskan pergi. Meskipun tidak pergi sungguh-sungguh. Ragamu di depanku. Tapi hatimu kabur.
Mungkin karena alasan itu. Kamu jadi pendiam. Atau, karena memang ada yang kamu sembunyikan?
Dua minggu terakhir, kita membahas tentang buku yang baru saja saya tamatkan. Buku Sunshine Becomes You karya Ilana Tan. Waktu itu, kali pertamanya kamu gagu dalam percakapan. Kamu tak sepandai dulu dalam menyerap topik diskusi kita. Saya pikir, ketika itu saya menang. Karena saya berhasil membuatmu gagu dan diam tidak tahu. Namun belakangan, melihat matamu menatap kosong. Saya jadi curiga. Kebingungan. Saat itu saya pikir kamu terlalu lelah menyelesaikan tugas esai-mu. Atau pekerjaan paruh waktumu yang menyita banyak waktu istirahatmu.
Tapi saya salah. Ketika tiba-tiba kamu berkata, ‘Tiga hari lagi pernikahanku akan segera berlangsung.’ Yang seketika membuatku terkejut-kejut. Diam karena kebingungan merespon. Lalu diskusi kita hari itu kita tutup dengan kebisuan. Tepatnya, kebisuanku. Kamu melenggang jauh. Dan sejak saat itu hingga kini kita tidak terlibat lagi dalam diskusi hangat di kantin Fakultas bertuliskan ‘PERFECTO’’. Ketika itu seseorang memberitahuku alasan kenapa kamu tandas dari hadapan saya. Satu minggu, kamu buat untuk melakukan segalanya untuk lenyap. Kamu pindah universitas, kamu pindah rumah, pindah kota. Yang bahkan paling mengejutkan, kamu pindah kewarganegaraan.
Kamu tinggal di Tiongkok. Bersama istri bernama Ling Ling.
Dua tahun berlalu. Hari ini tanggal 23 Juni 2015. Hari ulangtahunku yang ke duapuluh tujuh. Saya masih sering ke kantin ini. Duduk dikursi hijau yang sama. Tentunya, tanpa ada kamu dihadapanku.
Kamu tentu akan terkejut mendengar kemajuan kuliah yang saya jalani. Saya sudah menginjak S3. Cita-cita mengenyam pendidikan lebih tinggi yang saya adopsi dari keinginan terbesarmu. Saya ingin menjadi Dosen. Yang sejak saya tahu kamu berkeinginan memiliki seorang istri yang berprofesi sebagai Dosen. Saya langsung membabi buta ingin cepat lulus S2. Yang meskipun mati-matian saya meraihnya. Tidak akan pernah menjadi nyata. Menjadi istrimu maksudku.
Tapi kamu sudah mati. Dalam arti yang sungguh-sungguh. Sepuluh hari lalu. Ketika usiamu menginjak 28 tahun. Meninggalkan seorang istri dan satu bocah cilik berusia tiga bulan.
Conseal! Don’t show it.
Seketika kalimat itu muncul dalam imajinasiku tentangmu. Kalimat yang kamu ucapkan ketika usia hubungan kita baru dua bulan. Katamu, kadang perasaan harus disembunyikan rapat-rapat. Tak perlu diumbar-umbar. Yang menurut pendapatmu, diumbar-umbar sama dengan ditawarkan. Tidak akan ada rasanya. Semakin sering diucapkan, semakin tidak terasa istimewa perasaan itu.
‘Adakalanya, entah kapan. Mungkin saya akan pergi darimu. Entah bagaimana alasan yang ada dibaliknya. Saya akan pergi. Tapi hati saya tertambat padamu. Saya tidak tahu kenapa. Saat itu, saya pasti akan bisu. Mendadak seperti, Conseal, and can’t show it.’
Saya kebingungan. Kamu tentu tahu. Saya selalu bodoh dalam mencerna suatu topik diskusi kita. Apalagi dengan usia hubungan kita yang begitu dini. Kamu mengagetkanku dengan kata pergi. Seolah-olah hubungan kita akan segera tandas diusianya yang baru dua bulan.
Namun, tiga tahun bersamamu. Membuatku mengerti banyak hal. Tentang kehambaran perasaan yang sering diumbar-umbar. Seperti cerita temanku. Pacarnya romantis, tak satu haripun absen mengatakan ‘saya cinta kamu, saya sayang kamu.’ Tapi nyatanya dia pergi bersama orang lain.
Saya jelas tahu, tentang perasaan yang harus disembunyikan. Yang ditunjukan bisa jadi hanya sebagian kecil. Seperti gunung es dalam samudera. Hanya memperlihatkan pucuk kecil dari betapa besar perasaan itu di bagian dalamnya, namun bagi yang suka mengumbar, maka yang diperlihatkan adalah semuanya. Itupun belum dikalikan kepalsuan. Kata Tere Liye. Penulis favoritku.
Show it! Don’t conseal.’ Saya pernah membalikkan kata-kata yang kamu ucapkan. Yang bodohnya. Hanya karena saya kesal, kamu tidak seromantis pacar teman-teman saya.
Dua hari lalu Ling Ling memberi saya sepucuk surat yang berisi tulisanmu. Kamu berujar banyak. Begitu juga tentang kita. Tentang diskusi yang tidak pernah kita lakukan lagi. Yang kemudian, membuat air mataku seketika tumpah.
Saya masih memiliki perasaan penuh padamu.’ Katamu dikalimat terakhir suratmu. Sejak itu, saya tahu arti diammu di dua minggu terakhir percakapan kita tentang buku Sunshine Becomes You. Kamu diam karena takut kehilangan. Kamu gagu karena takut mengatakan perpisahan. Yang pada akhirnya berujung buntu tanpa pamitan. Karena kamu terlalu takut.
Kamu begitu besar mencintaiku. Memilih diam bersembunyi untuk mencintai. Memilih untuk meramu, menjaga dan memupuk perasaan itu dengan tidak diumbar-umbar karena takut perasaan itu akan lenyap manisnya. Meski saya masih merasa, takutmu berlebihan. Hingga saya sendiri yang harus menanggung kehilangan.
Dibalik kata ‘Conseal’ saya tahu ada ‘Full feel’. Dibalik kata ‘Don’t show it’ saya tahu, ada kata ‘Im afraid.
Kamu lugu, begitu caramu mencintaiku.
Sekarang, saya hanya bisa kembali mengeja satu kata. ‘Kangen… K-a-n-g-e-n!’ kemudian beralih mengartikan kata yang bertengger dikantin ini. ‘PERFECTO
Dan saya menyadari, bahwa yang membuat kantin ini terasa ‘Perfect=sempurna’ adalah dirimu. Dengan diammu menyimpan rasa teramat besar kepadaku. Terimakasih. Saya juga cinta kamu.


Untuk yang bersembunyi
Dan kamu, yang kangen terus-terusan.
Selasa, 09 Juni 2015 - 0 komentar

Diam Diam Suka


Sesungguhnya dia ada didekatmu, tapi kau tak pernah menyadari itu
Yang selalu menunggumu untuk nyatakan cinta — Drive (Akulah Dia)

       “SAYA cinta kamu.” Katanya dengan ragu. Ia tatap wajah gadis itu lekat-lekat. Takut-takut. Sesungguhnya, ia ingin gadis itu bereaksi atas pengakuannya—yang sedikit mendadak. Tapi gadis itu hanya diam. Takzim menyeruput jus sirsaknya, sembari tersenyum lebar. Sayangnya, dia sama sekali tidak mendengar pengakuan pria didepannya. Bagaimana tidak, dia—pria dengan hidung mancung itu hanya meneriakan tiga kata itu dalam hati. Ia hanya melamun. Berharap. Sayang sekali, kalimat indah itu harus jauh tertinggal di kerongkongannya. Bibirnya tak sanggup berucap. Setelah mendengar pengakuan gadis dengan senyum manis itu. Rasanya bumi runtuh seketika. Berton-ton serpihan bangunan ada di punggungnya. Mencekat suaranya begitu saja.
       “Kamu kenapa Mam?” kata gadis itu khawatir.
       Pria yang di panggil itu menggeleng. “Nggak apa-apa.”
Gadis itu ber-Oh. Lalu dengan cekatan mengambil buku menu. “Kayaknya nggak ada menu yang spesial buat berita yang sepesial hari ini.” matanya cekatan membaca daftar menu. “Semua sudah pernah kita coba, Mam.” Dia sama sekali tidak mengalihkan tatapan kepada mata yang sejak empatpuluh menit itu menatapnya. Bukan tatapan yang biasa ia tunjukan. Entah bagaimana tatapan itu berubah. Mungkin sejak gadis didepannya itu menelponnya dua jam lalu. Menyuruh ia segera datang ke kafe HÔo-Land ini.
       “Kamu, nggak bermaksud berhenti kuliahkan?” ia berkata pelan. Lebih baik membicarakan sesuatu yang lain dari pada harus panjang lebar menanyai perasaan gadis itu. Tentu, karena jawabannya yang entah kenapa akan terdengar menakutkan. Terutama bagi kondisi otak dan jantungnya saat ini.
       Pertanyaan itu membuat mata gadis itu seketika menatapnya. Ia tersenyum lebar. Menggeleng.
       “Tentu saja tidak akan Imam. Saya akan terus kuliah. Meskipun status saya akan berubah.”
       Pria itu; Imam menelan ludah mendengar jawaban terus terang gadis di depannya. Ia salah. Pertanyaan itu justru membuat dadanya semakin sesak saja. Yang dilakukannya kali ini adalah menatap kesembarang arah. Atau menatap atap kafe HÔo-Land ini untuk membendung air matanya yang hampir jatuh. Celakalah ia, jika gadis didepannya itu tahu kondisinya saat ini. Ia pasti tak akan sungkan menanyakan segalanya. Lebih tepatnya mendesak. Dan pada akhirnya, ia terpaksa menangis atau bahkan mengatakan rahasianya sendiri. Rahasia yang tak pernah ingin ia bagi-bagi. Cukup ia dan Tuhan yang tahu.
Untung saja, gadis itu kembali sibuk dengan menu makanan. Tidak percaya kepada daftar menu-menu disana. Tidak berubah. Sehingga tidak ada makanan baru yang harus ia dan Imam cicipi untuk perayaan kecil tentang berita spesialnya.
“Prima akan menjadi pria yang sangat beruntung.”
Sepertinya, Imam orang yang nekat. Meskipun basa-basinya itu membuat dadanya sesak. Entah kenapa ia justru perlu melakukannya. Mungkin, menghargai senyum yang terkembang di bibir gadis berparas ayu itu memang diperlukan.
Gadis itu menoleh lagi. Iya mengangguk dengan cepat.
“Saya yang lebih beruntung Mam.”
Imam tersenyum.
“Mas dan Mbak saya di Solo sudah setuju. Juga Paman dan Bibi saya di Lampung. Semua keluarga saya senang mendengar berita ini.” ia bercerita lagi. Meletakkan buku menu di ujung meja dekat dinding. Mungkin menu itu memang tidak akan pernah berubah. “Paman Muhammad. Yang sering kuceritakan itu, yang kuhormati dan kusebut sebagai ayah kedua saya. Dia juga yang menyakinkan keputusan saya.”
Imam tersenyum kembali.
“Dia bilang, daripada pacaran nggak ada ujungnya. Lebih baik meresmikannya dengan konsep cinta yang lebih jelas.” Dia tertawa. “Paman memang lucu. Sejak dulu saya memang tidak menyebut Prima sebagai pacar kan.”
Imam mengangguk. Mungkin, itu juga diperlukan.
“Kapan pernikahan itu dilangsungkan Vi?” sebenarnya, Imam takut menyanyakan ini. Namun dia harus berani. Bukankah semuanya memang sudah terlambat? Sudah dihancurkan sebelum dibangun?
“Kamu bakalan tahu nanti. Prima pasti akan bercerita padamu.”
Vi tersenyum. Akhirnya, dia memutuskan untuk memesan menu yang sama seperti dulu-dulu. Mie Ayam Level 7 dengan satu gelas jus sirsak (lagi).


###

Dua minggu lalu.

“Vi, kamu bisa datang ke HÔo-Land?” Imam sedang duduk menatap jalanan dibalik kaca. Ia senang bukan main. Hari ini dia mendapat kekuatan berkat teman satu tim di BEM. Dia bagai punya keberanian amat mengagumkan. Dia punya kekuatan untuk menyatakan cinta. Untuk seorang gadis yang diam-diam ia sukai sejak SMP. Sejak duduk dibangku kelas sembilan. Gadis yang pernah menjadi tempatnya curhat. Gadis yang menurutnya sangat enak diajak bicara. Apapun masalahnya, dia adalah tempat yang cocok untuk membagi cerita.
“Ada apa?” Vi bertanya diujung telepon.
“Ada yang harus saya bicarakan. Penting! Lima belas menit ya Vi.” Imam tersenyum. Tiba-tiba saja dia merasa seperti perampok yang meminta tebusan uang ratusan juta. Tapi hatinya kali ini begitu gembira. Ia tak mampu menahan ledakan bahagia dihatinya.
Vi mengeluh. Tapi dia tak bisa menolak permintaan Imam.
Lima belas menit tepat. Vi sampai didepan HÔo-Land. Membuka helm kuningnya. Segera masuk. Ia sudah melihat Imam dari kaca jendela. Ia tersenyum amat lebar. Membuat Vi kebingugan.
“Kenapa sih?” Vi bahkan belum duduk.
“Duduk dulu.” Imam tertawa. Terlihat jelas menyukai ekspresi Vi yang kebingunan.
“Lamaran diterima?” Vi bertanya tentang lamaran yang Imam ajukan disalah satu perusahaan percetakan Jakarta. Dia tahu, meski mereka masih berada di semester empat. Mereka berjanji akan mendapatkan pekerjaan sebelum wisuda.
Imam menggeleng. Jelas sekali bukan soal pekerjaan ataupun projek BEM. Dia sama sekali tidak ingin membahas itu. Kali ini dia ingin sedikit egois dengan hanya berbicara tentang perasaannya. Perasaan yang meluap-luap kepada gadis didepannya. Dia bukanlah pria yang suka menyembunyikan perasaannya. Meskipun perasaan itu tumbuh ketika masih SMP. Tapi sejak berpisah di SMA, Imam bukan orang yang hanya menyimpan satu cinta. Dia justru menganggap bahwa perasaannya pada Vi hanyalah cinta monyet. Lusa lupa. Kembali jatuh cinta beberapa tahun kemudian. Sudah pernah berpacaran dengan dua orang gadis di SMA. Imam pikir. Dia tidak akan jatuh cinta lagi pada Vi.
Tapi dia salah besar ketika kali pertama akhirnya takdir bertemu dengan Vi tiba. Ia justru masih menyukai Vi yang apa adanya. Awalnya hanya perasaan tertarik. Suka dengan sikap supel Vi pada semua orang. Ia salah besar tentang perasaannya. Ia kira ia baik-baik saja. Tapi perasaan itu jauh tumbuh lebih besar. Dan kali ini ia tak bisa menahannya.
“Oke, sebelum cerita. Pesen jus sirsak yuk.” Dia tersenyum. Memanggil pelayan tanpa persetujuan Imam.
“Vi, saya jatuh cinta.”
Vi terkejut. Ia menatap Imam. Tiba-tiba dia terasa lemas. Menatap Imam yang sedang tersenyum lebar kearahnya. Jangan-jangan…
“Saya jatuh cinta. Sudah lama saya ingin bercerita tentang ini.”
Vi diam. Entah kenapa tiba-tiba hatinya tak enak.
“Vi..”
“Sebentar,” Vi memotong kata-kata Imam. “Ponsel saya bergetar. Ada panggilan masuk. Boleh saya angkat?”
Imam ragu. Hei, kata-katanya belum selesai. Tapi, menatap wajah Vi. Rasanya dia harus menahannya sedikit lagi. Sebentar saja. Kata Vi dibalik tatapannya. Imam mengangguk. Baiklah.
Vi menjauhkan diri. Ia berjalan ke pintu keluar sebelah kiri kafe. Yang mengarah pada sebuah rumah sakit. Mengatakan kata ‘Halo’ ketika tepat ponsel itu berada ditelinganya. Imam menghela napas berat. Ia perlu merenggangkan tubuhnya setelah tadi sempat menahan napas. Mengatakan perasaan begitu membuatnya tegang.
Tujuh menit berlalu. Kemudian Vi sudah masuk. Dia tidak tersenyum. Dia cemberut. Seperti kecewa. Ada apa dengan Vi? Batin Imam bertanya.
“Kenapa?”
Vi kembali duduk. Sudah ada dua jus sirsak diatas mejanya. Pesanannya datang tepat empat menit ia pergi.
Vi tertunduk. Ia seperti sangat sedih. Membuat Imam khawatir.
“Kenapa Vi?”
Vi diam.
“Vi?”
“Tadaaaaa!!!” Vi mengejutkan Imam. Dia tertawa saat melihat ekspresi terkejut ditambah ekspresi bingung  milik Imam. Dia bercanda.
“Kejutan Mam.” Katanya tanpa merasa bersalah.
“Kejutan?” Imam menyesal mengindahkan ekspresi Vi. Kadang, saat-saat sedang jahil. Vi memang suka bersikap membingungkan dan membuat Imam kesal. Vi masih tertawa. Membuat pengunjung kafe menatap bingung kearahnya.
“Emangnya telpon dari siapa sih?” Imam bertanya kesal. Vi justru tidak memedulikannya.
“Dari Prima.”
Seketika saja, wajah Imam padam.
“Tadi dia telpon. Katanya, buku yang saya tulis keren banget. Dia baru membelinya di toko buku. Dia pembeli pertama.” Vi tersenyum lebar. Sesekali masih tertawa melihat ekspresi Imam.
“Kamu tahu kan buku Fly? Buku kuduaku? Baru saja diterbitkan dua hari lalu. Dan kata Prima. Ini adalah hari pertama Fly dikeluarkan dari gudang setelah kemarin dikirim penerbit ke toko itu.”
Vi menyeruput jus sirsaknya. Tidak ngeh dengan ekspresi kecewa yang terukir diwajah Imam. Dia tidak tahu harus bagaimana. Apakah dia harus teriak marah atau diam memang lebih baik? Vi jelas-jelas tidak tahu perubahan itu.
“Jadi, kamu jatuh cinta dengan siapa?”

###

Dua bulan setelahnya.

Suasana ramai. Berbagai peralatan hajatan telah siap ditempat masing-masing. Kursi, tenda, pelayan dan para tamu bahkan sudah dandan dengan rapih. Berjalan sembari berbicara apa saja. Terdengar gelak tawa dari beberapa tamu yang datang menggunakan pakaian kebaya. Tata acara ini mengagumkan. Mengambil tema White Party di malam hari dan Red Party di siang hari membuat semua peralatan menjadi manis. Bunga-bunga sudah tertata. Harumnya semerbak.
Vi berada di ruang rias pengantin. Sedang di makeup oleh penata rias ternama. Tampak anggun dengan gaun putihnya. Makeupnya natural. Sangat pas dengan wajahnya yang manis.
Beberapa menit berlalu. Dia sebenarnya sudah siap satu jam lalu. Hanya memastikan tidak ada yang kurang pada riasannya. Hari istimewanya, tidak akan dihancurkan dengan satu kesalahapun. Pun hal kecil seperti salah menggunakan warna lipstick.
Pintu diketuk. Vi menoleh.
“Lima belas menit lagi Vi.” Itu Ibu Vi. Menyuruhnya sesegera mungkin turun. Tamu sudah menunggu. Begitu juga para kerabat dan mempelai pria; Prima.
Vi mengangguk. Ia bergegas. Penata rias pamit undur diri. Vi mengangguk mengucapkan banyak terimakasih. Sebelum Vi sampai diganggang pintu. Pintu itu sudah didorong masuk. Vi terkejut. Tapi melihat siapa yang datang. Bibirnya terangkat. Tersenyum.
“Saya ingin bicara Vi. Penting!” Imam. Dia terlihat sangat gugup. Dipelipisnya bercucuran keringat jatuh. Membuat Vi bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang mau dia katakan? Kenapa terlihat seperti seorang yang membawa berita buruk. Ada gempa bumi? Vi menggeleng. Tidak mungkin!
“Ada apa Mam?”
“Saya hanya mengatakan ini sekali. Tidak akan saya ulangi. Jadi, kumohon dengarkanlah.”
“Tapi saya sudah ditunggu. Nggak ada waktu Mam.”
“Sebentar Vi. Saya janji.”
“Kamu bisa mengatakannya setelah acara selesai.”
“Tapi saya tidak bisa.”
Vi menggeleng. Dia menolak. Tidak mau membuat ratusan orang menunggu. Apalagi Prima.
“Lima menit.” Imam memohon.
“Tidak bisa. Saya harus sesegera mungkin Imam. Maafkan saya.”
“Tiga menit! Saya mohon!”
Vi menghela napas. Baiklah. “Tidak lebih.” Imam mengangguk mengerti.
Dia mengambil napas dalam-dalam. Ia tak mau tiba-tiba menjadi gagu. Meskipun tidak akan pernah ada kesempatan lagi. Dia tidak bisa berbohong.
“Saya cinta kamu.” Imam tidak basa-basi. Waktunya singkat.
“Saya tidak punya waktu untuk bercanda Mam.” Vi beranjak. Namun segera dicegah Imam. “Saya serius Vi. Disituasi genting seperti ini saya tidak mungkin berbohong.”
“Tapi itu percuma Imam.”
Imam terdiam.
“Saya akan menikah.” Vi akan beranjak lagi.
“Jika kamu mencintai saya. Kamu bisa membatalkannya sekarang.”
Vi melotot kearah Imam. Dia benar-benar gila.
“Tidak mungkin. Maaf saya harus segera turun!”
Imam tiba-tiba memeluk Vi. Mengunci langkah Vi.
“Lepaskan Imam! Atau saya akan teriak.”
Imam diam. Ia mulai menangis. Memohon.
Disituasi seperti ini. Vi hanya bisa menahan kesedihan dihati. Dia tahu apa yang dirasakan Imam jauh-jauh hari. Ketika itu, tepat ketika Imam ingin menyatakan perasaannya padanya. Ia sudah tahu. Ia tahu hari dimana Imam akan mengatakan perasaannya akan tiba. Dia tahu. Dan ia tak mau itu terjadi.
“Lepaskan Imam. Saya mohon!”
Vi tidak memberontak. Karena ia tahu, Imam bukan orang yang suka menghancurkan hal-hal penting. Ia tahu, di hati Imam paling dalam. Masih ada akal sehat.
“Dengarkan saya Imam.” Imam masih menangis dalam diam. Berharap begitu besar pada keadaan yang amat menyulitkan ini. “Saya mencintai Prima. Kakak kandungmu. Saya tidak mungkin melarikan diri dengan calon adik ipar saya. Itu sangat lucu Imam.” Ia menjelaskan. Tidak dengan nada tinggi.
Telpon ketika Imam ingin menyatakan cinta hanya akal-akalan Vi. Dia hanya ingin mencegah Imam menyatakan cinta. Dia ingin menyadarkan bahwa Vi hanya mencintai Prima. Kakak kandung Imam.
“Saya mohon lepaskan, Imam. Kamu akan belajar banyak.”
Imam masih terdiam. Tetesan air matanya berjatuhan. Dia harus merelakan (lagi). Dan saat pelukan Imam melemah. Vi mulai melepaskan pelukan itu.
“Kita sahabat. Akan begitu selamanya. Tidak berubah.” Vi membalikan tubuhnya. Lupa dengan lima belas menitnya. Lupa dengan tiga menit yang ia berikan pada Imam.
“Saya pernah mencintai kamu Imam. Tapi itu jauh tertinggal. Beberapa tahun lalu. Saya melepaskan. Itulah hal besar yang saya lakukan. Orang bijak bilang. Cinta sejati itu bukan hanya tentang kebersamaan. Cinta sejati justru berbicara tentang melepaskan dan merelakan.”
“Kita tidak berjodoh. Saya justru mencintai kakakmu, Prima. Maaf. Cinta saya kali ini hanya untuk Prima. Mengertilah.”
Imam menunduk.
Ia tahu akan seperti ini jadinya. Sejak kali pertama bertemu di depan gedung kampus dengan Vi. Ia sudah lebih dulu bersama Prima. Ia menatapnya sama seperti tatapan Imam pada Vi. Dia tahu, akhirnya ia harus melupakan.
“Mungkin perkataan saya serba menyulitkan bagimu. Saya menghargai persahabatan kita. Saya menyayangimu seperti menyayangi Prima. Tapi bukan lantas sama dengan perasaan cinta saya. Itu hal berbeda. Mengertilah. Waktu akan membantumu. Ini sulit. Tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Saya tahu betul kamu orang yang kuat.”
Setidaknya Imam sudah bercerita. Ia cinta Vi.
Vi menghapus air mata Imam. Matanya juga berkaca. Ia berbalik. Kembali melangkah. Sudah lebih duapuluh menit. Dia terlambat.