DALAM
diskusi interpersonal antara kamu-dan-saya di kantin Fakultas bertuliskan ‘PERFECTO’’ yang selalu saya
tunggu-tunggu. Terselip kata yang selalu saya ulangi. Yang selalu saya eja
berulang-ulang ketika saya pulang kerumah. Seusai kita melaksanakan beberapa menit ritual untuk
saling tersenyum, saling tertawa, saling bercerita banyak hal dalam satu
diskusi diatas meja.
Kita,
selalu menemukan satu topik yang menurutku menarik untuk dibicarakan. Apa saja.
Kadang, saya juga tidak habis pikir dengan kecerdasan yang kamu miliki. Tentang
betapa mudah bagimu menyelami topik yang sedang kita bicarakan. Entah topik
yang kumulai atau dari kamu sendiri. Bahkan, jika berpikir lebih jauh,
seharusnya kita tidak duduk bersama seperti ini. Dikursi berwarna
hijau—berhadapan pula.
Betapa
tidak. Saya berbeda denganmu. Saya tidak mudah menerima topik begitu saja. Pun
topik yang mudah. Seperti apa resep gorengan yang sedang kita nikmati bersama
segelas es teh yang terhidang di meja kita berdua. Kecuali topik tentang bulutangkis.
Satu-satunya topik yang kuungguli darimu. Tentang Jonatan Christie. Tentang
pertandingannya, tentang karirnya sejak kecil, tentang film yang pernah ia
mainkan, KING. Tentang tanggal dan bulan lahirnya pun bahkan saya akan dengan
mudah mengingatnya. Saya tidak pernah ketinggalan.
Tapi
kamu. Kamu melahap semua topik. Yang bahkan terkadang saya pelajari betul-betul
semalaman sebelum berjibaku didepanmu, berdebat bahkan berteriak marah karena
kesal tidak bisa mensejajari kemampuanmu meramu dan menyerap topik diskusi
kita.
Tapi…
Dua
minggu ini. Saya menemukan kelemahanmu.
Dalam
meramu dan menyerap cerita tentunya.
Tentu,
dengan kondisi kita berdua. Kadang saya lupa bahwa kita sudah tidak lagi
memiliki hubungan istimewa. Hubungan itu tandas begitu kamu mengatakan bahwa,
‘Saya dijodohkan. Kita nggak bisa bareng-bareng lagi.’
Karena
meskipun kalimat itu tak pernah saya lupa. Tapi nyatanya kita selalu duduk
berhadapan. Berjibaku pada ramuan cerita. Pemanis ketika saya patah hati,
menyadari perasaan saya yang meluap-luap ingin di tampung oleh wadah darimu. Yang begitu saja
memutuskan pergi. Meskipun tidak pergi sungguh-sungguh. Ragamu di depanku. Tapi
hatimu kabur.
Mungkin
karena alasan itu. Kamu jadi pendiam. Atau, karena memang ada yang kamu
sembunyikan?
Dua
minggu terakhir, kita membahas tentang buku yang baru saja saya tamatkan. Buku Sunshine Becomes You karya Ilana Tan.
Waktu itu, kali pertamanya kamu gagu dalam percakapan. Kamu tak sepandai dulu
dalam menyerap topik diskusi kita. Saya pikir, ketika itu saya menang. Karena
saya berhasil membuatmu gagu dan diam tidak tahu. Namun belakangan, melihat
matamu menatap kosong. Saya jadi curiga. Kebingungan. Saat itu saya pikir kamu
terlalu lelah menyelesaikan tugas esai-mu.
Atau pekerjaan paruh waktumu yang menyita banyak waktu istirahatmu.
Tapi
saya salah. Ketika tiba-tiba kamu berkata, ‘Tiga hari lagi pernikahanku akan
segera berlangsung.’ Yang seketika membuatku terkejut-kejut. Diam karena
kebingungan merespon. Lalu diskusi kita hari itu kita tutup dengan kebisuan.
Tepatnya, kebisuanku. Kamu melenggang jauh. Dan sejak saat itu hingga kini kita
tidak terlibat lagi dalam diskusi hangat di kantin Fakultas bertuliskan ‘PERFECTO’’. Ketika itu seseorang
memberitahuku alasan kenapa kamu tandas dari hadapan saya. Satu minggu, kamu
buat untuk melakukan segalanya untuk lenyap. Kamu pindah universitas, kamu
pindah rumah, pindah kota. Yang bahkan paling mengejutkan, kamu pindah
kewarganegaraan.
Kamu
tinggal di Tiongkok. Bersama istri bernama Ling Ling.
Dua
tahun berlalu. Hari ini tanggal 23
Juni 2015. Hari ulangtahunku yang ke duapuluh tujuh. Saya masih sering ke
kantin ini. Duduk dikursi hijau yang sama. Tentunya, tanpa ada kamu
dihadapanku.
Kamu
tentu akan terkejut mendengar kemajuan kuliah yang saya jalani. Saya sudah
menginjak S3. Cita-cita mengenyam pendidikan lebih tinggi yang saya adopsi dari
keinginan terbesarmu. Saya ingin menjadi Dosen. Yang sejak saya tahu kamu
berkeinginan memiliki seorang istri yang berprofesi sebagai Dosen. Saya langsung
membabi buta ingin cepat lulus S2. Yang meskipun mati-matian saya meraihnya.
Tidak akan pernah menjadi nyata. Menjadi istrimu maksudku.
Tapi
kamu sudah mati. Dalam arti yang sungguh-sungguh. Sepuluh hari lalu. Ketika
usiamu menginjak 28 tahun. Meninggalkan seorang istri dan satu bocah cilik
berusia tiga bulan.
‘Conseal! Don’t show it.’
Seketika
kalimat itu muncul dalam imajinasiku tentangmu. Kalimat yang kamu ucapkan
ketika usia hubungan kita baru dua bulan. Katamu, kadang perasaan harus
disembunyikan rapat-rapat. Tak perlu diumbar-umbar. Yang menurut pendapatmu,
diumbar-umbar sama dengan ditawarkan. Tidak akan ada rasanya. Semakin sering
diucapkan, semakin tidak terasa istimewa perasaan itu.
‘Adakalanya,
entah kapan. Mungkin saya akan pergi darimu. Entah bagaimana alasan yang ada
dibaliknya. Saya akan pergi. Tapi hati saya tertambat padamu. Saya tidak tahu
kenapa. Saat itu, saya pasti akan bisu. Mendadak seperti, Conseal, and can’t
show it.’
Saya
kebingungan. Kamu tentu tahu. Saya selalu bodoh
dalam mencerna suatu topik diskusi kita. Apalagi
dengan usia hubungan kita yang begitu dini. Kamu mengagetkanku dengan kata
pergi. Seolah-olah hubungan kita akan segera tandas diusianya yang baru dua
bulan.
Namun,
tiga tahun bersamamu. Membuatku mengerti banyak hal. Tentang kehambaran
perasaan yang sering diumbar-umbar. Seperti cerita temanku. Pacarnya romantis,
tak satu haripun absen mengatakan ‘saya cinta kamu, saya sayang kamu.’ Tapi nyatanya dia pergi bersama
orang lain.
Saya
jelas tahu, tentang perasaan yang harus disembunyikan. Yang ditunjukan bisa
jadi hanya sebagian kecil. Seperti gunung
es dalam samudera. Hanya
memperlihatkan pucuk kecil dari betapa besar perasaan itu di bagian dalamnya,
namun bagi yang suka mengumbar, maka yang
diperlihatkan adalah semuanya. Itupun belum dikalikan kepalsuan. Kata Tere Liye. Penulis favoritku.
‘Show it! Don’t conseal.’ Saya pernah membalikkan
kata-kata yang kamu ucapkan. Yang bodohnya. Hanya karena saya kesal, kamu tidak seromantis pacar
teman-teman saya.
Dua
hari lalu Ling Ling memberi saya sepucuk surat yang berisi tulisanmu. Kamu
berujar banyak. Begitu juga tentang kita. Tentang diskusi yang tidak pernah
kita lakukan lagi. Yang kemudian, membuat air mataku seketika tumpah.
‘Saya masih memiliki perasaan penuh padamu.’
Katamu dikalimat terakhir suratmu. Sejak itu, saya tahu arti diammu di dua
minggu terakhir percakapan kita tentang buku Sunshine Becomes You. Kamu diam karena takut kehilangan. Kamu gagu
karena takut mengatakan perpisahan. Yang pada akhirnya berujung buntu tanpa
pamitan. Karena kamu terlalu takut.
Kamu begitu besar mencintaiku. Memilih diam
bersembunyi untuk mencintai. Memilih untuk meramu, menjaga dan memupuk perasaan
itu dengan tidak diumbar-umbar karena takut perasaan itu akan lenyap manisnya.
Meski saya masih merasa, takutmu berlebihan. Hingga saya sendiri yang harus
menanggung kehilangan.
Dibalik
kata ‘Conseal’ saya tahu ada ‘Full feel’. Dibalik kata ‘Don’t show it’ saya tahu, ada kata ‘Im afraid’.
Kamu
lugu, begitu caramu mencintaiku.
Sekarang,
saya hanya bisa kembali mengeja satu kata. ‘Kangen… K-a-n-g-e-n!’ kemudian
beralih mengartikan kata yang bertengger dikantin ini. ‘PERFECTO’
Dan
saya menyadari, bahwa yang membuat kantin ini terasa ‘Perfect=sempurna’ adalah dirimu. Dengan diammu menyimpan rasa teramat besar kepadaku.
Terimakasih. Saya juga cinta kamu.
Untuk yang
bersembunyi
Dan kamu,
yang kangen terus-terusan.
0 komentar:
Posting Komentar