Selasa, 23 Juni 2015

PERFECTO

DALAM diskusi interpersonal antara kamu-dan-saya di kantin Fakultas bertuliskan ‘PERFECTO’’ yang selalu saya tunggu-tunggu. Terselip kata yang selalu saya ulangi. Yang selalu saya eja berulang-ulang ketika saya pulang kerumah. Seusai kita melaksanakan beberapa menit ritual untuk saling tersenyum, saling tertawa, saling bercerita banyak hal dalam satu diskusi diatas meja.
‘Kangen…K-a-n-g-e-n!’


Kita, selalu menemukan satu topik yang menurutku menarik untuk dibicarakan. Apa saja. Kadang, saya juga tidak habis pikir dengan kecerdasan yang kamu miliki. Tentang betapa mudah bagimu menyelami topik yang sedang kita bicarakan. Entah topik yang kumulai atau dari kamu sendiri. Bahkan, jika berpikir lebih jauh, seharusnya kita tidak duduk bersama seperti ini. Dikursi berwarna hijau—berhadapan pula.
Betapa tidak. Saya berbeda denganmu. Saya tidak mudah menerima topik begitu saja. Pun topik yang mudah. Seperti apa resep gorengan yang sedang kita nikmati bersama segelas es teh yang terhidang di meja kita berdua. Kecuali topik tentang bulutangkis. Satu-satunya topik yang kuungguli darimu. Tentang Jonatan Christie. Tentang pertandingannya, tentang karirnya sejak kecil, tentang film yang pernah ia mainkan, KING. Tentang tanggal dan bulan lahirnya pun bahkan saya akan dengan mudah mengingatnya. Saya tidak pernah ketinggalan.
Tapi kamu. Kamu melahap semua topik. Yang bahkan terkadang saya pelajari betul-betul semalaman sebelum berjibaku didepanmu, berdebat bahkan berteriak marah karena kesal tidak bisa mensejajari kemampuanmu meramu dan menyerap topik diskusi kita.
Tapi…
Dua minggu ini. Saya menemukan kelemahanmu.
Dalam meramu dan menyerap cerita tentunya.
Tentu, dengan kondisi kita berdua. Kadang saya lupa bahwa kita sudah tidak lagi memiliki hubungan istimewa. Hubungan itu tandas begitu kamu mengatakan bahwa, ‘Saya dijodohkan. Kita nggak bisa bareng-bareng lagi.’
Karena meskipun kalimat itu tak pernah saya lupa. Tapi nyatanya kita selalu duduk berhadapan. Berjibaku pada ramuan cerita. Pemanis ketika saya patah hati, menyadari perasaan saya yang meluap-luap ingin di tampung oleh wadah darimu. Yang begitu saja memutuskan pergi. Meskipun tidak pergi sungguh-sungguh. Ragamu di depanku. Tapi hatimu kabur.
Mungkin karena alasan itu. Kamu jadi pendiam. Atau, karena memang ada yang kamu sembunyikan?
Dua minggu terakhir, kita membahas tentang buku yang baru saja saya tamatkan. Buku Sunshine Becomes You karya Ilana Tan. Waktu itu, kali pertamanya kamu gagu dalam percakapan. Kamu tak sepandai dulu dalam menyerap topik diskusi kita. Saya pikir, ketika itu saya menang. Karena saya berhasil membuatmu gagu dan diam tidak tahu. Namun belakangan, melihat matamu menatap kosong. Saya jadi curiga. Kebingungan. Saat itu saya pikir kamu terlalu lelah menyelesaikan tugas esai-mu. Atau pekerjaan paruh waktumu yang menyita banyak waktu istirahatmu.
Tapi saya salah. Ketika tiba-tiba kamu berkata, ‘Tiga hari lagi pernikahanku akan segera berlangsung.’ Yang seketika membuatku terkejut-kejut. Diam karena kebingungan merespon. Lalu diskusi kita hari itu kita tutup dengan kebisuan. Tepatnya, kebisuanku. Kamu melenggang jauh. Dan sejak saat itu hingga kini kita tidak terlibat lagi dalam diskusi hangat di kantin Fakultas bertuliskan ‘PERFECTO’’. Ketika itu seseorang memberitahuku alasan kenapa kamu tandas dari hadapan saya. Satu minggu, kamu buat untuk melakukan segalanya untuk lenyap. Kamu pindah universitas, kamu pindah rumah, pindah kota. Yang bahkan paling mengejutkan, kamu pindah kewarganegaraan.
Kamu tinggal di Tiongkok. Bersama istri bernama Ling Ling.
Dua tahun berlalu. Hari ini tanggal 23 Juni 2015. Hari ulangtahunku yang ke duapuluh tujuh. Saya masih sering ke kantin ini. Duduk dikursi hijau yang sama. Tentunya, tanpa ada kamu dihadapanku.
Kamu tentu akan terkejut mendengar kemajuan kuliah yang saya jalani. Saya sudah menginjak S3. Cita-cita mengenyam pendidikan lebih tinggi yang saya adopsi dari keinginan terbesarmu. Saya ingin menjadi Dosen. Yang sejak saya tahu kamu berkeinginan memiliki seorang istri yang berprofesi sebagai Dosen. Saya langsung membabi buta ingin cepat lulus S2. Yang meskipun mati-matian saya meraihnya. Tidak akan pernah menjadi nyata. Menjadi istrimu maksudku.
Tapi kamu sudah mati. Dalam arti yang sungguh-sungguh. Sepuluh hari lalu. Ketika usiamu menginjak 28 tahun. Meninggalkan seorang istri dan satu bocah cilik berusia tiga bulan.
Conseal! Don’t show it.
Seketika kalimat itu muncul dalam imajinasiku tentangmu. Kalimat yang kamu ucapkan ketika usia hubungan kita baru dua bulan. Katamu, kadang perasaan harus disembunyikan rapat-rapat. Tak perlu diumbar-umbar. Yang menurut pendapatmu, diumbar-umbar sama dengan ditawarkan. Tidak akan ada rasanya. Semakin sering diucapkan, semakin tidak terasa istimewa perasaan itu.
‘Adakalanya, entah kapan. Mungkin saya akan pergi darimu. Entah bagaimana alasan yang ada dibaliknya. Saya akan pergi. Tapi hati saya tertambat padamu. Saya tidak tahu kenapa. Saat itu, saya pasti akan bisu. Mendadak seperti, Conseal, and can’t show it.’
Saya kebingungan. Kamu tentu tahu. Saya selalu bodoh dalam mencerna suatu topik diskusi kita. Apalagi dengan usia hubungan kita yang begitu dini. Kamu mengagetkanku dengan kata pergi. Seolah-olah hubungan kita akan segera tandas diusianya yang baru dua bulan.
Namun, tiga tahun bersamamu. Membuatku mengerti banyak hal. Tentang kehambaran perasaan yang sering diumbar-umbar. Seperti cerita temanku. Pacarnya romantis, tak satu haripun absen mengatakan ‘saya cinta kamu, saya sayang kamu.’ Tapi nyatanya dia pergi bersama orang lain.
Saya jelas tahu, tentang perasaan yang harus disembunyikan. Yang ditunjukan bisa jadi hanya sebagian kecil. Seperti gunung es dalam samudera. Hanya memperlihatkan pucuk kecil dari betapa besar perasaan itu di bagian dalamnya, namun bagi yang suka mengumbar, maka yang diperlihatkan adalah semuanya. Itupun belum dikalikan kepalsuan. Kata Tere Liye. Penulis favoritku.
Show it! Don’t conseal.’ Saya pernah membalikkan kata-kata yang kamu ucapkan. Yang bodohnya. Hanya karena saya kesal, kamu tidak seromantis pacar teman-teman saya.
Dua hari lalu Ling Ling memberi saya sepucuk surat yang berisi tulisanmu. Kamu berujar banyak. Begitu juga tentang kita. Tentang diskusi yang tidak pernah kita lakukan lagi. Yang kemudian, membuat air mataku seketika tumpah.
Saya masih memiliki perasaan penuh padamu.’ Katamu dikalimat terakhir suratmu. Sejak itu, saya tahu arti diammu di dua minggu terakhir percakapan kita tentang buku Sunshine Becomes You. Kamu diam karena takut kehilangan. Kamu gagu karena takut mengatakan perpisahan. Yang pada akhirnya berujung buntu tanpa pamitan. Karena kamu terlalu takut.
Kamu begitu besar mencintaiku. Memilih diam bersembunyi untuk mencintai. Memilih untuk meramu, menjaga dan memupuk perasaan itu dengan tidak diumbar-umbar karena takut perasaan itu akan lenyap manisnya. Meski saya masih merasa, takutmu berlebihan. Hingga saya sendiri yang harus menanggung kehilangan.
Dibalik kata ‘Conseal’ saya tahu ada ‘Full feel’. Dibalik kata ‘Don’t show it’ saya tahu, ada kata ‘Im afraid.
Kamu lugu, begitu caramu mencintaiku.
Sekarang, saya hanya bisa kembali mengeja satu kata. ‘Kangen… K-a-n-g-e-n!’ kemudian beralih mengartikan kata yang bertengger dikantin ini. ‘PERFECTO
Dan saya menyadari, bahwa yang membuat kantin ini terasa ‘Perfect=sempurna’ adalah dirimu. Dengan diammu menyimpan rasa teramat besar kepadaku. Terimakasih. Saya juga cinta kamu.


Untuk yang bersembunyi
Dan kamu, yang kangen terus-terusan.

0 komentar:

Posting Komentar