Sesungguhnya dia ada didekatmu, tapi kau tak pernah
menyadari itu
Yang selalu menunggumu untuk nyatakan cinta — Drive
(Akulah Dia)
“SAYA
cinta kamu.” Katanya dengan ragu. Ia tatap wajah gadis itu lekat-lekat.
Takut-takut. Sesungguhnya, ia ingin gadis itu bereaksi atas pengakuannya—yang
sedikit mendadak. Tapi gadis itu hanya diam. Takzim menyeruput jus sirsaknya,
sembari tersenyum lebar. Sayangnya, dia sama sekali tidak mendengar pengakuan
pria didepannya. Bagaimana tidak, dia—pria dengan hidung mancung itu hanya
meneriakan tiga kata itu dalam hati. Ia hanya melamun. Berharap. Sayang sekali,
kalimat indah itu harus jauh tertinggal di kerongkongannya. Bibirnya tak
sanggup berucap. Setelah mendengar pengakuan gadis dengan senyum manis itu. Rasanya
bumi runtuh seketika. Berton-ton serpihan bangunan ada di punggungnya. Mencekat
suaranya begitu saja.
“Kamu kenapa Mam?” kata gadis itu
khawatir.
Pria yang di panggil itu menggeleng.
“Nggak apa-apa.”
Gadis
itu ber-Oh. Lalu dengan cekatan
mengambil buku menu. “Kayaknya nggak ada menu yang spesial buat berita yang sepesial hari ini.” matanya cekatan
membaca daftar menu. “Semua sudah pernah kita coba, Mam.” Dia sama sekali tidak
mengalihkan tatapan kepada mata yang sejak empatpuluh menit itu menatapnya.
Bukan tatapan yang biasa ia tunjukan. Entah bagaimana tatapan itu berubah. Mungkin
sejak gadis didepannya itu menelponnya dua jam lalu. Menyuruh ia segera datang
ke kafe HÔo-Land ini.
“Kamu, nggak bermaksud berhenti
kuliahkan?” ia berkata pelan. Lebih baik membicarakan sesuatu yang lain dari
pada harus panjang lebar menanyai perasaan gadis itu. Tentu, karena jawabannya
yang entah kenapa akan terdengar menakutkan.
Terutama bagi kondisi otak dan jantungnya saat ini.
Pertanyaan itu membuat mata gadis itu seketika
menatapnya. Ia tersenyum lebar. Menggeleng.
“Tentu saja tidak akan Imam. Saya akan
terus kuliah. Meskipun status saya akan berubah.”
Pria itu; Imam menelan ludah mendengar
jawaban terus terang gadis di depannya. Ia salah. Pertanyaan itu justru membuat
dadanya semakin sesak saja. Yang dilakukannya kali ini adalah menatap
kesembarang arah. Atau menatap atap kafe HÔo-Land
ini untuk membendung air matanya yang hampir jatuh. Celakalah ia, jika gadis
didepannya itu tahu kondisinya saat ini. Ia pasti tak akan sungkan menanyakan
segalanya. Lebih tepatnya mendesak. Dan pada akhirnya, ia terpaksa menangis
atau bahkan mengatakan rahasianya sendiri. Rahasia yang tak pernah ingin ia
bagi-bagi. Cukup ia dan Tuhan yang tahu.
Untung
saja, gadis itu kembali sibuk dengan menu makanan. Tidak percaya kepada daftar
menu-menu disana. Tidak berubah.
Sehingga tidak ada makanan baru yang harus ia dan Imam cicipi untuk perayaan
kecil tentang berita spesialnya.
“Prima
akan menjadi pria yang sangat beruntung.”
Sepertinya,
Imam orang yang nekat. Meskipun basa-basinya
itu membuat dadanya sesak. Entah kenapa ia justru perlu melakukannya. Mungkin, menghargai senyum yang terkembang di
bibir gadis berparas ayu itu memang diperlukan.
Gadis
itu menoleh lagi. Iya mengangguk dengan cepat.
“Saya
yang lebih beruntung Mam.”
Imam
tersenyum.
“Mas
dan Mbak saya di Solo sudah setuju. Juga Paman dan Bibi saya di Lampung. Semua
keluarga saya senang mendengar berita ini.” ia bercerita lagi. Meletakkan buku
menu di ujung meja dekat dinding. Mungkin menu itu memang tidak akan pernah berubah. “Paman Muhammad. Yang sering kuceritakan
itu, yang kuhormati dan kusebut sebagai ayah kedua saya. Dia juga yang menyakinkan
keputusan saya.”
Imam
tersenyum kembali.
“Dia
bilang, daripada pacaran nggak ada ujungnya. Lebih baik meresmikannya dengan konsep cinta yang lebih jelas.” Dia tertawa.
“Paman memang lucu. Sejak dulu saya memang tidak menyebut Prima sebagai pacar
kan.”
Imam
mengangguk. Mungkin, itu juga
diperlukan.
“Kapan
pernikahan itu dilangsungkan Vi?” sebenarnya, Imam takut menyanyakan ini. Namun
dia harus berani. Bukankah semuanya memang sudah terlambat? Sudah dihancurkan
sebelum dibangun?
“Kamu
bakalan tahu nanti. Prima pasti akan bercerita padamu.”
Vi
tersenyum. Akhirnya, dia memutuskan untuk memesan menu yang sama seperti dulu-dulu. Mie Ayam Level 7
dengan satu gelas jus sirsak (lagi).
###
Dua minggu lalu.
“Vi,
kamu bisa datang ke HÔo-Land?” Imam
sedang duduk menatap jalanan dibalik kaca. Ia senang bukan main. Hari ini dia
mendapat kekuatan berkat teman satu tim di BEM. Dia bagai punya keberanian amat
mengagumkan. Dia punya kekuatan untuk menyatakan cinta. Untuk seorang gadis
yang diam-diam ia sukai sejak SMP. Sejak duduk dibangku kelas sembilan. Gadis
yang pernah menjadi tempatnya curhat. Gadis yang menurutnya sangat enak diajak
bicara. Apapun masalahnya, dia adalah tempat yang cocok untuk membagi cerita.
“Ada
apa?” Vi bertanya diujung telepon.
“Ada
yang harus saya bicarakan. Penting! Lima belas menit ya Vi.” Imam tersenyum.
Tiba-tiba saja dia merasa seperti perampok yang meminta tebusan uang ratusan
juta. Tapi hatinya kali ini begitu gembira. Ia tak mampu menahan ledakan
bahagia dihatinya.
Vi
mengeluh. Tapi dia tak bisa menolak permintaan Imam.
Lima
belas menit tepat. Vi sampai didepan HÔo-Land.
Membuka helm kuningnya. Segera masuk. Ia sudah melihat Imam dari kaca jendela.
Ia tersenyum amat lebar. Membuat Vi kebingugan.
“Kenapa
sih?” Vi bahkan belum duduk.
“Duduk
dulu.” Imam tertawa. Terlihat jelas menyukai ekspresi Vi yang kebingunan.
“Lamaran
diterima?” Vi bertanya tentang lamaran yang Imam ajukan disalah satu perusahaan
percetakan Jakarta. Dia tahu, meski mereka masih berada di semester empat.
Mereka berjanji akan mendapatkan pekerjaan sebelum wisuda.
Imam
menggeleng. Jelas sekali bukan soal pekerjaan ataupun projek BEM. Dia sama
sekali tidak ingin membahas itu. Kali ini dia ingin sedikit egois dengan hanya berbicara tentang perasaannya. Perasaan
yang meluap-luap kepada gadis didepannya. Dia bukanlah pria yang suka
menyembunyikan perasaannya. Meskipun perasaan itu tumbuh ketika masih SMP. Tapi
sejak berpisah di SMA, Imam bukan orang yang hanya menyimpan satu cinta. Dia
justru menganggap bahwa perasaannya pada Vi hanyalah cinta monyet. Lusa lupa. Kembali jatuh cinta beberapa tahun
kemudian. Sudah pernah berpacaran dengan dua orang gadis di SMA. Imam pikir.
Dia tidak akan jatuh cinta lagi pada Vi.
Tapi
dia salah besar ketika kali pertama akhirnya takdir bertemu dengan Vi tiba. Ia
justru masih menyukai Vi yang apa adanya. Awalnya hanya perasaan tertarik. Suka
dengan sikap supel Vi pada semua orang. Ia salah besar tentang perasaannya. Ia
kira ia baik-baik saja. Tapi perasaan itu jauh tumbuh lebih besar. Dan kali ini
ia tak bisa menahannya.
“Oke,
sebelum cerita. Pesen jus sirsak yuk.” Dia tersenyum. Memanggil pelayan tanpa
persetujuan Imam.
“Vi,
saya jatuh cinta.”
Vi
terkejut. Ia menatap Imam. Tiba-tiba dia terasa lemas. Menatap Imam yang sedang
tersenyum lebar kearahnya. Jangan-jangan…
“Saya
jatuh cinta. Sudah lama saya ingin bercerita tentang ini.”
Vi
diam. Entah kenapa tiba-tiba hatinya tak enak.
“Vi..”
“Sebentar,”
Vi memotong kata-kata Imam. “Ponsel saya bergetar. Ada panggilan masuk. Boleh
saya angkat?”
Imam
ragu. Hei, kata-katanya belum
selesai. Tapi, menatap wajah Vi. Rasanya dia harus menahannya sedikit lagi. Sebentar saja. Kata Vi dibalik
tatapannya. Imam mengangguk. Baiklah.
Vi
menjauhkan diri. Ia berjalan ke pintu keluar sebelah kiri kafe. Yang mengarah
pada sebuah rumah sakit. Mengatakan kata ‘Halo’ ketika tepat ponsel itu berada
ditelinganya. Imam menghela napas berat. Ia perlu merenggangkan tubuhnya
setelah tadi sempat menahan napas. Mengatakan perasaan begitu membuatnya
tegang.
Tujuh
menit berlalu. Kemudian Vi sudah masuk. Dia tidak tersenyum. Dia cemberut.
Seperti kecewa. Ada apa dengan Vi? Batin Imam bertanya.
“Kenapa?”
Vi
kembali duduk. Sudah ada dua jus sirsak diatas mejanya. Pesanannya datang tepat
empat menit ia pergi.
Vi
tertunduk. Ia seperti sangat sedih. Membuat Imam khawatir.
“Kenapa
Vi?”
Vi
diam.
“Vi?”
“Tadaaaaa!!!”
Vi mengejutkan Imam. Dia tertawa saat melihat ekspresi terkejut ditambah
ekspresi bingung milik Imam. Dia
bercanda.
“Kejutan
Mam.” Katanya tanpa merasa bersalah.
“Kejutan?”
Imam menyesal mengindahkan ekspresi Vi. Kadang, saat-saat sedang jahil. Vi
memang suka bersikap membingungkan dan membuat Imam kesal. Vi masih tertawa.
Membuat pengunjung kafe menatap bingung kearahnya.
“Emangnya
telpon dari siapa sih?” Imam bertanya kesal. Vi justru tidak memedulikannya.
“Dari
Prima.”
Seketika
saja, wajah Imam padam.
“Tadi
dia telpon. Katanya, buku yang saya tulis keren banget. Dia baru membelinya di
toko buku. Dia pembeli pertama.” Vi tersenyum lebar. Sesekali masih tertawa
melihat ekspresi Imam.
“Kamu
tahu kan buku Fly? Buku kuduaku? Baru
saja diterbitkan dua hari lalu. Dan kata Prima. Ini adalah hari pertama Fly dikeluarkan dari gudang setelah
kemarin dikirim penerbit ke toko itu.”
Vi
menyeruput jus sirsaknya. Tidak ngeh dengan ekspresi kecewa yang terukir
diwajah Imam. Dia tidak tahu harus bagaimana. Apakah dia harus teriak marah atau
diam memang lebih baik? Vi jelas-jelas tidak tahu perubahan itu.
“Jadi,
kamu jatuh cinta dengan siapa?”
###
Dua bulan setelahnya.
Suasana
ramai. Berbagai peralatan hajatan telah siap ditempat masing-masing. Kursi, tenda,
pelayan dan para tamu bahkan sudah dandan dengan rapih. Berjalan sembari
berbicara apa saja. Terdengar gelak tawa dari beberapa tamu yang datang
menggunakan pakaian kebaya. Tata acara ini mengagumkan. Mengambil tema White Party di malam hari dan Red Party di siang hari membuat semua peralatan
menjadi manis. Bunga-bunga sudah tertata. Harumnya semerbak.
Vi
berada di ruang rias pengantin. Sedang di makeup
oleh penata rias ternama. Tampak anggun dengan gaun putihnya. Makeupnya
natural. Sangat pas dengan wajahnya yang manis.
Beberapa
menit berlalu. Dia sebenarnya sudah siap satu jam lalu. Hanya memastikan tidak
ada yang kurang pada riasannya. Hari istimewanya, tidak akan dihancurkan dengan
satu kesalahapun. Pun hal kecil seperti salah menggunakan warna lipstick.
Pintu
diketuk. Vi menoleh.
“Lima
belas menit lagi Vi.” Itu Ibu Vi. Menyuruhnya sesegera mungkin turun. Tamu
sudah menunggu. Begitu juga para kerabat dan mempelai pria; Prima.
Vi
mengangguk. Ia bergegas. Penata rias pamit undur diri. Vi mengangguk
mengucapkan banyak terimakasih. Sebelum Vi sampai diganggang pintu. Pintu itu
sudah didorong masuk. Vi terkejut. Tapi melihat siapa yang datang. Bibirnya
terangkat. Tersenyum.
“Saya
ingin bicara Vi. Penting!” Imam. Dia terlihat sangat gugup. Dipelipisnya
bercucuran keringat jatuh. Membuat Vi bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang mau dia katakan? Kenapa terlihat seperti seorang
yang membawa berita buruk. Ada gempa bumi? Vi menggeleng. Tidak mungkin!
“Ada
apa Mam?”
“Saya
hanya mengatakan ini sekali. Tidak akan saya ulangi. Jadi, kumohon dengarkanlah.”
“Tapi
saya sudah ditunggu. Nggak ada waktu Mam.”
“Sebentar
Vi. Saya janji.”
“Kamu
bisa mengatakannya setelah acara selesai.”
“Tapi
saya tidak bisa.”
Vi
menggeleng. Dia menolak. Tidak mau membuat ratusan orang menunggu. Apalagi
Prima.
“Lima
menit.” Imam memohon.
“Tidak
bisa. Saya harus sesegera mungkin Imam. Maafkan saya.”
“Tiga
menit! Saya mohon!”
Vi
menghela napas. Baiklah. “Tidak
lebih.” Imam mengangguk mengerti.
Dia
mengambil napas dalam-dalam. Ia tak mau tiba-tiba menjadi gagu. Meskipun tidak
akan pernah ada kesempatan lagi. Dia tidak bisa berbohong.
“Saya
cinta kamu.” Imam tidak basa-basi. Waktunya singkat.
“Saya
tidak punya waktu untuk bercanda Mam.” Vi beranjak. Namun segera dicegah Imam.
“Saya serius Vi. Disituasi genting seperti ini saya tidak mungkin berbohong.”
“Tapi
itu percuma Imam.”
Imam
terdiam.
“Saya
akan menikah.” Vi akan beranjak lagi.
“Jika
kamu mencintai saya. Kamu bisa membatalkannya sekarang.”
Vi
melotot kearah Imam. Dia benar-benar gila.
“Tidak
mungkin. Maaf saya harus segera turun!”
Imam
tiba-tiba memeluk Vi. Mengunci langkah Vi.
“Lepaskan
Imam! Atau saya akan teriak.”
Imam
diam. Ia mulai menangis. Memohon.
Disituasi
seperti ini. Vi hanya bisa menahan kesedihan dihati. Dia tahu apa yang
dirasakan Imam jauh-jauh hari. Ketika itu, tepat ketika Imam ingin menyatakan
perasaannya padanya. Ia sudah tahu. Ia tahu hari dimana Imam akan mengatakan
perasaannya akan tiba. Dia tahu. Dan ia tak mau itu terjadi.
“Lepaskan
Imam. Saya mohon!”
Vi
tidak memberontak. Karena ia tahu, Imam bukan orang yang suka menghancurkan
hal-hal penting. Ia tahu, di hati Imam paling dalam. Masih ada akal sehat.
“Dengarkan
saya Imam.” Imam masih menangis dalam diam. Berharap begitu besar pada keadaan
yang amat menyulitkan ini. “Saya mencintai Prima. Kakak kandungmu. Saya tidak
mungkin melarikan diri dengan calon adik ipar saya. Itu sangat lucu Imam.” Ia menjelaskan. Tidak dengan
nada tinggi.
Telpon
ketika Imam ingin menyatakan cinta hanya akal-akalan Vi. Dia hanya ingin
mencegah Imam menyatakan cinta. Dia ingin menyadarkan bahwa Vi hanya mencintai
Prima. Kakak kandung Imam.
“Saya
mohon lepaskan, Imam. Kamu akan belajar banyak.”
Imam
masih terdiam. Tetesan air matanya berjatuhan. Dia harus merelakan (lagi). Dan saat pelukan Imam melemah. Vi
mulai melepaskan pelukan itu.
“Kita
sahabat. Akan begitu selamanya. Tidak berubah.” Vi membalikan tubuhnya. Lupa
dengan lima belas menitnya. Lupa dengan tiga menit yang ia berikan pada Imam.
“Saya
pernah mencintai kamu Imam. Tapi itu jauh tertinggal. Beberapa tahun lalu. Saya
melepaskan. Itulah hal besar yang saya lakukan. Orang bijak bilang. Cinta
sejati itu bukan hanya tentang kebersamaan. Cinta sejati justru berbicara
tentang melepaskan dan merelakan.”
“Kita
tidak berjodoh. Saya justru mencintai kakakmu, Prima. Maaf. Cinta saya kali ini
hanya untuk Prima. Mengertilah.”
Imam
menunduk.
Ia
tahu akan seperti ini jadinya. Sejak kali pertama bertemu di depan gedung
kampus dengan Vi. Ia sudah lebih dulu bersama Prima. Ia menatapnya sama seperti
tatapan Imam pada Vi. Dia tahu, akhirnya ia harus melupakan.
“Mungkin
perkataan saya serba menyulitkan bagimu. Saya menghargai persahabatan kita.
Saya menyayangimu seperti menyayangi Prima. Tapi bukan lantas sama dengan
perasaan cinta saya. Itu hal berbeda. Mengertilah. Waktu akan membantumu. Ini
sulit. Tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Saya tahu betul kamu orang yang
kuat.”
Setidaknya
Imam sudah bercerita. Ia cinta Vi.
Vi
menghapus air mata Imam. Matanya juga berkaca. Ia berbalik. Kembali melangkah.
Sudah lebih duapuluh menit. Dia terlambat.
0 komentar:
Posting Komentar