"Kita putus, Reno!"
Bian berkata dengan sorot mata yang cukup tajam. Tegas, jelas dan tanpa
embel-embel ingin dibantah.
"Kenapa?" tanya
Reno dengan air muka yang bertempias-- akibat mendengar kata mengerikan dari
Bian; kekasihnya.
"Kita putus, Reno!"
tandas Bian sekali lagi. Ia tak suka dicela atau dibantah. Perkataannya adalah
hukum.
Reno tak tahu harus berkata
apa lagi untuk menjawab perkataan Bian. Tubuhnya sudah limbung terlebih dahulu
sejak Bian bicara kata mematikan itu. Pu-tus.
"Baik. Kita ...
Putus," kata Reno yang masih menelungkupkan kepalanya. Ia belum berani
menatap mata Bian. Takut terjerat cinta. Bisa-bisa, ia tak kuat mengatakan kata
pisah. Ia terlalu cinta. Atau mungkin boleh dikatakan terlanjur sayang.
Kau tahu kan bagaimana
rasanya jika kau terpaksa mengatakan pisah pada seseorang
yang teramat kau sayangi? Atau kehilangan sesuatu yang sudah menjadi candu
buatmu? Kalau belum, bisa jadi kau sedang akan mengalaminya. Tidak lama lagi.
Jadi yang harus kau lakukan hanya percaya kalau rasanya sangat menyakitkan.
Nyaris sama dengan ketika kau tak sengaja melukai jemarimu dengan pisau yang
amat tajam. Bedanya mungkin pada kedalamannya. Perih.
"Kamu tahu kan kenapa
aku minta putus?" Mata Bian menusuk ke arah Reno yang terlihat tak
bertenaga. Bahkan ketika Bian mengajak adu tatapan pun, ia tak mau. Barangkali,
tak sanggup.
"Kamu itu ngebosenin
tahu nggak! Kamu sukanya diem. Aku capek." Bian yang sudah kesal bertambah
kesal ketika hingga kini Reno tak menatap dia.
"Kamu itu pengecut. Coba
kamu hitung, berapa kali kamu bilang sayang sama aku? Coba kasih tau
aku?!" Bian meninggikan volume suaranya.
"Hampir tiga belas bulan
kita bareng-bareng. Tapi aku cuma denger kamu bilang cinta dan sayang sama aku
nggak lebih dari sepuluh jariku. Kamu tahu kan aku suka perhitungan?" Bian
bertanya.
"Kamu tuh nggak seru!
Tiap kali cerita aku terus yang mulai. Bahkan ketika menghubungimu pun aku yang
mulai! Kamu nggak pernah denger ya kalau cewek punya gengsi yang lebih tinggi
buat nyapa duluan?! Dimana-mana cewek itu minta di chat dulu, bukan ngechat
dulu.
"Kamu itu terlalu bisu.
Aku capek, Reno! Kapan kamu bisa bikin aku ketawa?" Bian bukan menuntut,
ia hanya ingin mengoreksi Reno.
"Kamu tau nggak sih,
cewek itu lebih suka ditanya daripada ditanya. Nggak ada sejarahnya cowok diem
itu menyenangkan. Kalau pun ada yang bertahan, pada akhirnya cewek bakalan
mikir, cowok pendiem apa menyenangkannya? Apa yang bisa dijadian alasan buat
bertahan? Yang ada si cewek mati kebosanan!"
"Aku lebih suka cowok
yang bisa diajak rame, Reno. Kalau kamu bertanya kenapa tidak dari dulu aku
minta putus, itu karena aku berpikir mungkin waktu bakalan ngajarin kamu buat
terbiasa sama kita. Tapi
kayaknya aku salah. Ini bukan soal waktu, tapi soal pribadi masing-masing.
Meski waktu, kutahu adalah tolak ukur kita belajar. Tapi kamu enggak,
Reno." Bian menghela napas. Ia sudah merasa sedikit lega mengatakan
unek-uneknya.
Beberapa detik mereka saling
diam. Detik ke dua ratus lima puluh, Bian kembali bersuara. "Kamu nggak
mau bilang sesuatu sebelum aku lenyap?" tanya Bian kepada Reno yang masih
menundukan kepalanya.
"..."
"Nggak apa-apa. Lagian
kita udah putus. Aku udah ngeluarin amarah yang kupendam selama ini. Mungkin
kamu bakal jengkel denganku. Tapi inilah keluh kesahku."
Bian menghela napas sekali
lagi. Tangannya secara sembarang mengambil tas tangan berwarna cokelat yang ada
di sampingnya. Saatnya ia pergi; lenyap segera dari hadapan Reno.
"Maaf," kata Reno
membuat Bian terkejut.
"Maaf, aku terlalu
pendiam. Bahkan untuk mengatakan seluruh perasaanku kepadamu."
Bian tercenung. Ia kembali
duduk setelah mendengar tutur kata Reno.
"Aku hanya tidak tahu
caranya. Aku bodoh, Bi."
"..."
"Kamu boleh pergi. Tapi
aku masih mau tetap di sini."
Bian mendongakkan kepalanya
menatap Reno.
"Aku cuma mau bilang,
aku sayang kamu. Melebihi sayang seluruh makhluk di bumi. Tapi aku nggak tahu
caranya bilang. Karena semua kata, tidak bisa mewakilinya."
0 komentar:
Posting Komentar