"Kupantaskan
diri, kugantung harapanku di malam-malam penuh doa. Aku tak pernah
ragu, karena Allah selalu tahu. Kita jauh, namun dekat dalam doa."
---
"YA AMPUUUN,
Drea! Kamu ngapain sih?" tanya Mbak Rana ketika menemuiku tengah
kesakitan akibat terpeleset. Tadinya ekspresi Mbak Rana terlihat kasihan
melihatku, namun dua detik kemudian ia malah cekikikan menertawaiku.
Menyebalkan!
Mengerucutkan bibir, ku usap-usap punggungku. Gara-gara lompat-lompat aku jadi seperti ini. Mbak Rana muncul tiba-tiba sih.
"Mbak
nggak ada niat buat bantuin Drea?" kataku ketika Mbak Rana malah diam
menertawai posisiku yang terduduk dengan punggung kesakitan di lantai.
Mbak
Rana yang nyaris tertawa kencang itu akhirnya menghampiriku.
Mengulurkan tangannya sembari berkata, "kamu sih, ngapain siang bolong
gini lompat-lompat nggak jelas? Kamu masih waras kan, Re?"
Mendengar
candaan Mbak Rana yang semakin tak manusiawi membuatku bertambah kesal.
Bibirku mengerucut, sementara hatiku bertambah kesal. Mbak Rana itu
kalau udah jahil ngeselinnya kebangetan!
"Ih, Mbak Rana ya." Menghentakkan kaki, kujauhi Mbak Rana dan duduk di sofa kamarku dengan hati yang bertambah kesal.
Iya,
kenalin nih ya... namanya Rana Ayunda, kakak ipar yang sudah kuanggap
sebagai pengganti almarhumah Ummi. Meski jahil, tapi dia adalah pemberi
solusi terbaik saat aku butuh manusia untuk berbagi cerita dan meminta
saran.
Sejak
Ummi meninggal, aku diberi dua pilihan oleh Abi, aku harus sekolah di
pesantren atau rela dibina dalam naungan abangku yang juga nyebelin,
Bang Reza. Kemudian, pilihanku jatuh kepada opsi kedua. Meski ngeselin
dan suka kontra dengan aku, aku masih sayang abangku. Setidaknya, Bang
Reza nggak sekolot Abi.
Sayangnya setelah dua tahun di sini, Abi wafat. Jadilah aku dan abang yatim piatu.
Saat
itulah, aku bersyukur masih diberi keluarga seperti Mbak Rana dan Bang
Reza. Mereka yang membimbingku dalam segala hal, termasuk dalam
beragama. Alhamdulillah, Bang Reza guru agama yang paling baik untukku.
"Re...
kamu belum jawab pertanyaan Mbak lho!" Seketika lamunanku buyar. Mbak
Rana mencubit pipiku hingga kemerahan. Mengaduh, kuusap-usap pipiku yang
menjadi korban kejahilan Mbak Rana.
Mbak Rana tersenyum, mengejek. "Kamu ditanya malah ngelamun. Ada apa sih? Ada masalah?" tanyanya.
Sebenarnya...
iya! Aku sedang ada masalah. Lebih tepatnya batinku yang bermasalah.
Pikiranku dipenuhi seseorang yang akhir-akhir ini berusaha kulupakan.
Sampai-sampai aku berharap dengan melompat-lompat setiap saat pikiranku
tentang dia akan lebur, berjatuhan ke tanah atau hilang bersama udara
yang tengah kuhirup. Namun cara itu tidak berhasil. Yang ada aku malah
terpeleset.
Mungkin
ini bukan masalah besar, namun ketika aku tahu bahwa aku harus menjaga
hatiku sampai waktu yang tepat, aku tahu aku sedang menghadapi masalah
yang lebih besar dari yang kukira.
"Cerita aja kayak biasa, Re," kata Mbak Rana.
Ragu,
aku terdiam sejenak. Apa yang akan dikatakan Mbak Rana ketika adik
gadisnya ini ternyata terjangkit masalah yang besar dan belum bisa
mengtasinya hingga sekarang?
"Hmm... Mbak Rana, boleh nggak sih seorang muslimah itu jatuh cinta?"
Seketika
Mbak Rana mengernyitkan kening. Beberapa detik ia sempat terdiam
membuatku berpikir bahwa ia akan marah. Jangan-jangan dia berpikir aku
tidak bisa menjaga hati dan suka jelalatan nggak jaga pandangan?
"Drea
nggak jelalatan kok. Drea masih inget apa kata Mbak Rana tentang
menundukkan pandangan saat bicara sama lawan jenis. Drea juga masih
ingat kalau Drea ini muslimah, Drea...."
"Kamu kena virus merah jambu ya, Re?" potong Mbak Rana sambil tersenyum.
***
Jadi... namanya Adam. Seorang ikhwan yang
pertama kalinya membuatku berpikir tentang satu kalimat yang dia
ucapkan dalam pidato singkat saat ia diminta untuk menyambut kader LDK
(Lembaga Dakwah Kampus) yang baru.
"Menjadi bagian yang terasingkan itu suatu keberuntungan."
Sebenarnya,
bukan itu satu-satunya alasan mengapa aku selalu memikirkannya. Demi
Allah, aku tak pernah menaruh perasaan lebih kepadanya pada awal
perjumpaan kami. Bahkan dalam dua sampai tiga pertemuan berikutnya.
Anehnya,
aku memikirkannya ketika aku mengkaji beberapa perkataannya dalam
pidato singkatnya. Terutama kalimatnya yang satu itu. Aku berpikir, apa
enaknya menjadi yang terasingkan? Bukannya terasingkan itu menjadi yang
tersisih dan tidak dianggap? Kemudian, beberapa kali aku mencari
jawabannya, ternyata aku membenarkan apa yang pernah dia katakan.
Bukankah itu adalah bagian dari sabda Rasulullah?
Dari
Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah bersabda, "Islam bermula dalam
keadaan asing, dan akan kembali terasing seperti semula, maka
beruntunglah orang-orang yang terasing."
Aku tersenyum, saat itu aku mulai berpikir... masyaallah, cerdas sekali ikhwan itu. Siapa ya namanya?
Singkat
cerita setelah beberapa kali kucari nama dan data pribadinya, aku mulai
mencari beberapa akun social medianya. Mulai mengikuti setiap
postingannya. Tersenyum, semakin hari aku semakin mengagumi sosoknya
ketika kutahu ternyata ia pernah beberapa kali menjadi pemimpin dalam
organisasi yang berlandaskan keislaman.
Mulai dari hal-hal kecil dan besar mengenai dirinya aku nyatakan bahwa aku jatuh hati.
***
"Jadi,
kamu jatuh cinta sama dia?" tanya Mbak Rana begitu ku akhiri ceritaku
dengan satu pertanyaan, bolehkah aku jatuh cinta pada seorang ikhwan yang jelas-jelas pintar dalam agama, yang kukagumi atas ketaatannya pada ilahi?
"Boleh," jawab Mbak Rana sembari tersenyum.
Awalnya
kupikir Mbak Rana akan marah. Pasalnya, aku sudah merasa berdosa karena
tidak menjaga hatiku dan telah gagal menjaga hijabku.
"Tapi
aku merasa tidak menjaga hatiku, Mbak. Aku malu sama Allah. Mengaku
muslimah yang mencoba taat tapi mudah jatuh hati hanya karena aku
menganggap dia memesona karena terlihat taat sama Allah."
Mbak
Rana tersenyum lagi, kemudian tangannya segera melingkar ke tubuhku. Ia
memelukku. Saat itu, aku menangis entah untuk alasan mana.
"Dengar,
Drea. Mbak tahu apa yang kamu rasakan. Kamu jatuh cinta. Itu tidak
salah. Karena bertemu dengan seseorang yang membuat kita jatuh cinta
adalah ketetapan Allah, qodo' ilahi. Tapi, memilih untuk menjaga hati,
tidak membuat rasa cinta itu melebihi cintamu pada Rabb-mu, itu
mukhayyar, pilihan."
Mbak
Rana mengusap air mata di pipiku setelah pelukannya lepas. "Wajar kok
ketika kita jatuh cinta dengan seseorang karena kepandaiannya,
ketaatannya pada Allah. Daya tarik bagi muslimah karena kita menganggap
kelak imam kita dalam keluarga akan seperti itu. Yang terpenting saat
ini, jaga iffah kamu. Manejemen hati adalah kuncinya."
Aku tersenyum, tuh kan kalau cerita sama Mbak Rana terasa seperti dapat pencerahan.
"Kamu boleh lho Re mengharapkan ia jadi suamimu kelak. Hehehe."
Aku tersenyum. Rasanya jantungku ingin loncat.
"Caranya adalah dengan memantaskan diri."
Aku terdiam, apa maksudnya memantaskan diri?
"Memantaskan
diri itu memperbaiki diri kita menjadi lebih baik. Ingat kan janji
Allah dalam Qur'an? surat An-Nur ayat 26, bahwa Laki-laki yang baik
adalah untuk wanita yang baik, dan laki-laki yang keji adalah untuk
wanita yang keji. Kalau kamu mau dia yang taat, kamu juga harus taat.
Janji Allah itu pasti. Karena yang baik menurutmu belum tentu yang
terbaik di mata Allah. Doa, rahasia ampuh untuk kegalauanmu."
Tersenyum,
kupeluk Mbak Rana sambil berbisik terima kasih. "Jadi Drea harus
menyimpannya dalam doa?" tanyaku. Mbak Rana mengangguk.
"Tapi Mbaaakkk...."
"Kenapa?"
"Kalau aku kepikiran terus sama dia gimana?"
Mbak Rana seketika tertawa dan aku kembali mengerucutkan bibirku.
"Banyak-banyak
istighfar, hati-hati setan diam-diam masuk merusak hati kamu. Ingat
selalu sama janji Allah, kalau jodoh insyaallah pasti bertamu."
0 komentar:
Posting Komentar