Senin, 17 April 2017

Surat Cinta untuk Mujadilah



“HAURA, apa yang akan kamu lakukan ketika ada seorang yang tidak terlalu kamu kenal tiba-tiba bilang, ‘boleh tahu alamat rumahnya? Saya berniat mau melamar.’
            Haura mengernyitkan kening ketika tiba-tiba saja Dila bertanya seperti itu. Ketika itu mereka sedang sibuk mengerjakan tugasnya masing-masing di sekretariat UKM Lembaga Dakwah Kampus, project Seminar Hari Kartini yang tinggal beberapa hari lagi membuat beberapa anggota LDK sibuk. Tak terkecuali mereka.
            “Kenapa tanyanya gitu? Tumben,” kata Haura. Ia seolah tak memusingkan pertanyaan Dila. Hanya saja sedikit aneh mendengar Dila—yang anti membicarakan perihal menikah— tiba-tiba tertarik menanyakannya pada Haura.
            Dila tersenyum, nyaris kebingungan mencari alasan. “Yah, enggak,” katanya. “Aku cuma penasaran aja sama jawabanmu.” Dila yang tadinya berharap mendapat sedikit penjelasan dari Haura kini harus mengurungkan niatnya. Sepertinya, Haura tidak tertarik dengan topik ini. “Kan sepertinya kamu itu sudah jauh lebih siap daripada aku. Barangkali ketika ada seorang yang tak dikenal tiba-tiba melamar, bisa mempersiapkan jawabannya. Yah... minimal punya referensi supaya tidak terlihat kebingungan,” sambung Dila.
            Tangan Haura yang tadinya sibuk memberi stempel pada proposal kini berhenti. Matanya beralih fokus ke Dila. “Ada yang bilang ke kamu gitu, ya?”
            “Eh—eng... gak, kok.” Dila terlihat salah tingkah. Sepertinya Dila memang tipe perempuan yang mudah dibaca gerak-geriknya.
            “Bohong dosa, lho....” Haura tersenyum. Merasa lucu dengan ekspresi Dila yang wajahnya kini memerah; tanda bahwa tebakan Haura benar.
            “Siapa?” tanya Haura jahil. “Cerita, dong!”
            Dila tersenyum malu. Lebih tepatnya kini ia jadi salah tingkah. Pasalnya, ini kali pertama ia berurusan dengan laki-laki. Apalagi perihal menikah. Belum pernah ia memikirkan hal ini sebelumnya. Memang, topik pernikahan menjadi topik yang ia hindari. Ia merasa, masa depannya masih jauh. Ia ingin menamatkan kuliahnya terlebih dahulu. Namun ternyata Allah memang maha cepat dalam membolak-balikkan hati. Kini, ia merasa bahwa kejadian ini adalah cambuknya untuk tidak menunda dalam mempersiapkan diri.
            “Dila nggak mau cerita? Ya udah. Aku jadi nggak bisa ngasih jawaban atas pertanyaan kamu.” Haura pura-pura kembali melanjutkan tugasnya.
            “Iya, aku cerita. Tapi jangan bilang-bilang, ya?” Haura pun mengangguk, tersenyum.
            “Sebenernya aku udah kenal sama orang ini, Ra,” kata Dila mulai bercerita. “Dia temen aku pas SMA. Ya... tapi sebelumnya kami memang tidak dekat. Bahkan saling sapa aja jarang. Tapi... beberapa bulan ini kami sering ketemu.”
            “Di mana?”
            “Di beberapa tempat. Kadang di jalan, kadang toko supermarket, pernah juga di pertemuan reuni sekolah. Terakhir ketemu di pameran buku. Lalu... dia bilang kayak gitu, Ra. Aku harus gimana nih? Kemarin saking bingungnya aku malah kayak orang dungu. Diem doang.”
            Haura nyaris tertawa mendengar pernyataan Dila. Memang wajar kalau Dila bereaksi sedemikian bingungnya. Haura sendiri sebenarnya tidak bisa membayangkan kalau berada di posisi Dila saat itu.
            “Jadi kamu cuma diem aja? Lalu sekarang gimana? Udah ketemu dia lagi?”
            Dila menggeleng. “Belum. Dan sampai sekarang aku masih kepikiran, Ra.”
            Haura diam; berpikir. Sepertinya, kali ini Dila memiliki masalah yang cukup serius.
            “Kamu tadi bilang dia temen SMA kamu, kan?” tanya Haura. Dila pun mengangguk. “Kalau gini aja gimana?” Dila menyimak. “Kamu tunggu sampai besok. Kalau sampai besok kalian belum ketemu lagi, kamu ikhtiar tanya temen kamu yang kenal sama dia. Tanya lebih rinci tentang laki-laki itu. Kalau ada informasi positif yang mengindikasikan bahwa dia serius sama kamu, kemungkinan besar saat ini dia sedang berusaha nyari alamat kamu. Tapi kalau enggak....” Haura berhati-hati, “mungkin dia hanya sekedar bertanya.”
            Dila mengangguk. Sebenarnya hal terakhir yang dikatakan Haura lah yang paling ia takuti. Jujur saja, ia belum siap patah hati.

***
            Apa yang disarankan oleh Haura sudah Dila laksanakan. Namun sampai sekarang, belum ada informasi lanjut dari teman-temannya mengenai laki-laki itu. Dila cemas, hatinya tidak tenang memikirkan laki-laki itu. Atas saran Haura kembali, Dila akhirnya memutuskan untuk memikirkan hal-hal yang positif saja. Ia mulai berikhtiar dengan cara lain. Sholat istikharah, rajin mengunjungi majelis ilmu dan mulai menyibukkan diri di LDK.
            Meski begitu, ada sedikit harapan akan informasi tentang laki-laki itu. Bagaimanapun, ia adalah tipe perempuan yang tidak mudah melupakan masalahnya. Baginya, permasalahan apapun harus ada kejelasan ending-nya. Tidak boleh menggantung pada satu titik saja.
Sampai suatu hari, ia bertemu dengan laki-laki itu lagi. Di tempat tak terduga.
            “Assalamu’alaikum, Dila,” sapa seorang laki-laki.
            “Wa’alaikumsalam....” Dila terkejut. Tiba-tiba saja jantungnya berdegub kencang. Ia nyaris kehilangan keseimbangan saking gugupnya.
            “Akhirnya kita ketemu lagi,” katanya lagi. “Saya sudah menunggu momen ini.”
            Dila menunduk malu, ia berusaha tidak menunjukkan seluruh ekspresi yang diakibatkan oleh hatinya.
            “Saya ingin mengatakan sesuatu yang cukup penting. Mungkin kamu juga sudah menunggu ini sejak lama.” Laki-laki itu tersenyum. Meski begitu, ia berusaha tetap menjaga jarak di antara keduanya.
            Di tengah suasana yang cukup ramai, ia berusaha untuk mengatakannya secara cepat sehingga tidak terjadi salah persepsi orang lain terhadap pertemuan mereka. Laki-laki itu tahu betul batasan-batasan yang harus ia jaga.
            “Untuk pertanyaanku beberapa waktu lalu, saya serius. Saya sudah pernah mengunjungi rumahmu tiga hari setelah kita bertemu terakhir kali.”
            Dila mengernyitkan keningnya.
            “Iya... tapi kamu tidak ada di rumah. Kata Ayahmu, kamu sedang menginap di rumah sahabatmu untuk mengerjakan tugas. Jadi waktu itu saya langsung menyampaikan maksudku kepada Ayahmu tanpa kamu di sana,” sambungnya.
            “Ayahmu... menyetujuinya.” Laki-laki itu tersenyum. “Lamaranku diterima.”
            “Tapi Ayah tidak mengatakan apapun kepadaku.” Dila menanggapi. “Bahkan sampai sekarang.”
            Laki-laki itu tersenyum. “Afwan, itu keinginan saya. Karena saya sedang sibuk mempersiapkan pernikah saya.”
            Dila kembali mengernyitkan keningnya. Sekarang, Dila merasa gagal memahami maksud laki-laki ini. Dia mengatakan bahwa dia melamar Dila, namun dia sedang sibuk mempersiapkan pernikahan? Bukankah, harus ada persetujuan atau musyawarah terkait hal ini dengan dirinya? Sebenarnya... yang menikah siapa?
            “Pesta pernikahan yang sedang kamu hadiri ini adalah pesta pernikahan saya, Dila.”
            Tubuh Dila seketika melemas. Rasa kebingungan tadi tergantikan oleh perasaan sakit yang tiba-tiba. Matanya memanas. Sejujurnya, saat itu juga ia ingin menangis, entah mengapa.
***
           
            Beberapa hari Dila masih memikirkan perkataan laki-laki itu. Namun entah mengapa yang menjadi fokus utamanya adalah tentang pernikahan laki-laki itu. Ia masih belum bisa menghubungkan kepingan-kepingan cerita yang –bagi Dila— masih belum jelas.
            Pertanyaan-pertanyaan besar kini berputar di otaknya. Ia menduga-duga, sebenarnya yang dilamar siapa? Kenapa laki-laki itu justru menikah dengan orang lain? Sejujurnya rasionalnya tidak menerima. Ia sudah terlanjur menaruh harapan kepada laki-laki itu. Ia terlanjur jatuh cinta.
            Dila mencoba mengurangi pikiran-pikiran itu dengan membaca buku di kamar. Tiba-tiba seseorang menyembul dari balik pintu, ia tersenyum ketika Dila justru menunjukkan ekspresi kebingungan.
            “Boleh masuk?”
            Dila mengangguk.
            “Kok ekspresinya aneh gitu?” tanya Haura yang saat itu mengenakan khimar berwarna cokelat.
            “Kamu mikirin apa lagi?”
            Dila menggeleng, enggan bercerita.
            Mengembuskan napas, Haura memilih tidak membahasnya lagi. Ia tahu bahwa sahabatnya kini sedang patah hati. Dila beberapa waktu lalu sudah bercerita tentang pertemuannya dengan laki-laki yang melamarnya tempo hari.
            “Tadi kebetulan Ayah kamu nyuruh aku ngasih amplop ini.” Haura menyodorkan amplop cokelat berukuran besar.
            “Amplop apa?” tanya Dila penasaran.
            Haura mengedikkan bahunya tidak tahu. “Buka aja, gimana?”
            Penasaran, Dila membuka amplop itu.

Assalamu’alaikum warahmatullah,
Apa kabar Maryamal Mujadilah?
Izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Shifr.
Beberapa bulan lalu, saya dan kakak saya—Ghifar datang ke rumahmu untuk mengajukan permohonan khitbah. Suatu kebanggaan sekaligus kebahagiaan bagi saya ketika Ayahmu justru menerima kedatangan kami dengan baik, bahkan permohonan khitbah saya diterima; Alhamdulillah.
Namun beliau menyarankan agar kita melakukan ta’aruf terlebih dahulu sebelum kita melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Afwan, saya mengirimkan datanya dengan jeda waktu cukup lama sehingga terkesan kurang serius dan membuatmu kebingungan. Waktu itu saya harus bersabar karena minggu lalu kakak saya baru saja melangsungkan pernikahan.
Semoga kamu berkenan membaca proposal dari saya.
Wassalamu’alaikum warahmatullah

Tertanda,
Muhammad Shifr.

            “Cieee, surat cinta!” Haura yang ternyata ikut membaca menyenggol bahu Dila. Tanpa sadar, sejak tadi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan sedikit gemetar, tangan kanannya membuka amplop tempat surat tadi berasal. Di dalamnya sudah ada map merah dengan sampul bertuliskan Proposal Ta’aruf; Muhammad Shifr.

0 komentar:

Posting Komentar