Senin, 11 April 2016 - , 0 komentar

Berdua Saja

-kita di antara kata yang tak terucapkan. Mungkinkah kau tahu jawabnya?-

---


"KUE nastar bikinan kamu enak, Dre. Apa resep rahasianya?"

Ketika itu, kamu bertanya untuk kali pertama. 
Satu tanganmu terus bergerilya mencomot kue nastar dari kotak yang penutupnya kuberi pita merah. Matamu tersenyum ke arahku.

Malam itu, kue nastar rasa pisang yang kubuat kusajikan dengan secangkir teh hijau favoritmu.

"Kenapa harus pisang? Biasanya kan keju? Kamu bereksperimen terlalu lucu. Pasti karena pisang makanan favorit monyet ya? Makanya kamu suka."

Aku hanya tersenyum. Mendapati dirimu yang suka menebak sembarangan. Apa hubungannya monyet dengan aku? Dia pikir aku mirip monyet?

"Kamu terlalu sensitif, Dre," katanya.

Ia menyingkap rambut agak panjangnya, kemudian kembali memakan kue nastar. "Dulu siapa yang bilang kalau monyet itu lucu?"

Aku mengangguk. Tersenyum. Dia... stalker hebat. Pasti dia sering mengikuti perbaruan postinganku di twitter.

***

Teras rumah, angin malam pertengahan bulan, aku dan kamu;berdua saja. Ditemani dua cangkir teh hijau kental dan satu kotak kue nastar rasa pisang. Sederhana, begitulah pertemuan kami. Dia sering menyebutnya sebagai amunisi cerita karena di dalamnya terdapat ledakan-ledakan yang tersembunyi, tak terucap dengan sebuah cerita saja.

***

Malam ini, aku menunggu di teras rumah. Sudah menyiapkan secangkir teh hijau kental dan dua kotak kue nastar.

Dia sangat menggemari kue nastar rasa pisang buatanku, oleh karenanya aku suka menyediakan banyak untuknya. Aku tidak ingin dia menghisap jari-jarinya ketika potongan kue nastar terakhirnya telah tertelan menuju ke perutnya.

Satu cangkir, kupikir cukup. Karena aku sudah merasa hangat ketika berada dekat dengannya. Menikmati angin malam yang dingin bersama ledakan-ledakan yang tak terdefinisikan. Sebenarnya ledakan apa? Aku bertanya.

Setengah jam berlalu, angin berembus makin kencang. Kurapikan khimar yang melekat di kepalaku. Aku tersenyum ketika dia datang dengan wajah serius.

"Aku serius denganmu, Drea." Dia berkata. Aku tersenyum. Kutahu, sejak awal dia datang kepadaku, ia sudah mengatakan bahwa ia ingin serius kepadaku. Maka dengan senang hati, kubalas keseriusannya dengan ketulusanku. Kubuat kue nastar rasa pisang hanya untuknya. Tidak ada satu orang pun yang bisa mencicipi kue nastar rasa pisang buatanku, kecuali orang rumah. Itulah salah satu bukti penebusan keseriusannya kepadaku.

Aku mengangguk kecil. Lalu apa? Aku melihat ada perkataan yang ingin ia sampaikan, hanya saja serasa tersangkut di tenggorokan.

Menunduk, melihat ke arah ubin teras rumahku, aku mencoba menetralisir ledakan spekulasi yang berdesakan di otaku. Ada yang berbeda. Atmosfir malam ini terasa lebih pekat. Kupikir ini hanya perasaanku saja.

"Sejak awal kamu tahu kan, bahwa aku datang kepadamu untuk menjadikanmu pendamping hidupku? Seorang yang kelak akan menjadi ibu untuk anak-anakku?" Ia akhirnya menghela napas.

Aku menelan ludah. Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin? Ketika aku menolak untuk diajak menonton film di bioskop berdua saja?

Ah, apa yang sebenarnya akan terjadi?

"Kamu takut kepada Allah, Dre?"

Aku mengangguk. Tentu saja, itu tak diragukan lagi. Belajar takut kepada Allah telah kurasakan sejak dahulu. Namun sayangnya, baru kulakukan dan kuterapkan akhir-akhir ini. Ketika beberapa kali aku mendengar seruan seseorang tentang batasan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Aku menolak pergi berdua dengan seseorang yang bukan mahramku hanya untuk tujuan hiburan. Ini bukan penolakanku karena tak mempercayainya, justru karena aku percaya dia orang baik, maka aku ingin menjaga kehormatannya.

Apa jadinya, seorang yang bersekolah di perguruan tinggi Agama, terlihat berdua keluar rumah untuk menikmati hiburan?

Setidaknya, itulah yang menjadi rujukanku.

Aku kembali mengembuskan napas. Sunyi.

Tunggu? Apakah dia...

"Aku ingin mengakhiri ini semua, Drea," katanya. "Kamu benar. Tak sepantasnya seseorang yang mengaku takut dengan aturan Tuhannya, tapi masih melakukan perbuatan yang dilarang. Termasuk pertemuan haram kita. Kita hanya berdua. Meski kita hanya diam, hanya mengobrol sembari menikmati secangkir teh hijau dan kue nastar, itu termasuk ke dalam hal yang dilarang. Bukankah, berkhalwat dengan non muhrim itu haram. Maafkan aku, Drea. Aku baru menyadarinya."

Ada rasa sakit dan rasa sedih mendalam ketika dia mengatakan itu. Meski di hatiku yang lain membenarkan perkataannya.

"Aku mencintaimu. Itu sudah pasti. Maka demi apa yang menjadi keinginan kita, aku harus menjauhimu." Ia mengusap wajahnya. Rasanya aku seperti melihat ketidakrelaan dia. Namun aku harus mengakui, bahwa dia telah belajar dengan baik.

Maafkan aku yang telah membuat pemahamanmu menjadi rancu. Aku... turut andil dalam semua kekafiran ini.

"Aku harus memperbaiki semua. Ketika persiapanku telah mantap. Aku ingin bertemu denganmu di pelaminan. Tentu aku dan kamu, berdua dalam amunisi cerita atas landasan yang diridhai Allah. Semoga kamu memahamiku."

Tentu saja.

Lalu, ketika ia berdiri dari kursi rotan di seberang sana, tanpa menyentuh kue nastar rasa pisang buatanku, satu tetes air mata keluar dari kedua bola mataku.

Aku mengamini, namun hatiku tetap saja berat melepas ia.

"Aku ingin menikmati kue nastar rasa pisang buatanmu dengan anak-anak kita kelak, Drea. Semoga malaikat mengamini dan Allah mengabulkan."

Sejak saat itu, aku ingin mencintainya karena Allah. Karena dengan begitu, kelak jika kami berjodoh, Allah mempertemukan kami dengan cara yang lebih romantis dari sekedar menikmati angin malam di teras rumah.

Dia yang kucintai saat ini akan kurelakan hanya untuk melihat bahwa janji Allah dalam al-quran tidak pernah ingkar. Insya Allah.

0 komentar:

Posting Komentar